CewekBanget.ID - Menjaga jarak dengan orang lain setidaknya sejauh dua meter telah menjadi bagian dari protokol kesehatan yang diterapkan untuk membatasi penyebaran COVID-19.
Sayangnya, jarak dua meter ini pada kondisi tertentu mungkin enggak selalu cukup untuk menekan penyebaran virus.
Kok bisa, ya?
Baca Juga: Seberapa Sering Kita Harus Mencuci Baju Selama Masa Pandemi?
Awal Mula 'Dua Meter'
Dilansir dari Kompas.com, Aturan jaga jarak dua meter berasal dari tahun 1800an, ketika ilmuwan Jerman Carl Flügge menemukan bahwa patogen hadir dalam tetesan besar yang dikeluarkan dari hidung dan mulut.
Sebagian besar tetesan ini jatuh ke tanah dalam jarak satu hingga dua meter dari orang yang terinfeksi.
Pada tahun 1940-an, kemajuan fotografi memungkinkan para peneliti menangkap gambar tetesan ekspirasi yang tersebar ketika seseorang bersin, batuk, atau berbicara.
Studi lain pada periode itu menemukan bahwa partikel besar dengan cepat jatuh ke tanah di dekat orang yang mengeluarkannya.
Studi itu memperkuat aturan dua meter, terlepas dari batasan akurasi studi awal ini dan cenderung mengelompokkan tetesan ekspirasi menjadi dua kategori, yakni besar dan kecil.
Para ilmuwan mengira tetesan besar akan jatuh dengan cepat ke tanah dan tetesan kecil akan menguap sebelum mereka terbang jauh, kecuali jika didorong oleh aliran udara lain.
Namun, Jesse Capecelatro, PhD, asisten profesor teknik mesin di Universitas Michigan di Ann Arbor, yang enggak terlibat dalam penelitian baru tersebut mengatakan bahwa dalam 90 tahun terakhir, kita sudah belajar banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi ketika kita bicara, batuk atau bersin.