Bukan Enggak Melawan, Korban Kekerasan Seksual Alami Tonic Immobility!

By Salsabila Putri Pertiwi, Minggu, 13 Juni 2021 | 14:30 WIB
Ilustrasi pelecehan seksual (foto: dramaswithasiadeofkimchi.com)

CewekBanget.ID - Kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, adalah sesuatu yang serius dan pelakunya harus mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

Pasalnya, bukan hanya menyakiti korban secara fisik, kekerasan seksual juga meninggalkan luka psikis seperti trauma bagi korban.

Sayangnya, victim blaming atau kecenderungan menyalahkan korban atas peristiwa yang menimpanya masih marak terjadi di kalangan masyarakat.

Masih banyak orang bertanya-tanya mengenai alasan korban enggak menghindar atau melawan serangan dari pelaku kekerasan seksual, serta menganggap korban yang enggak menolak atau melawan sebagai bentuk persetujuan dari korban yang membuat pelaku seakan enggak bersalah.

Padahal, dalam kasus kekerasan seksual, enggak semua korban dapat melawan, berteriak, atau melakukan usaha apapun untuk menghentikan pelaku karena banyak yang mengalami tonic immobility atau kelumpuhan sementara saat diserang.

Yuk, kepoin apa itu tonic immobility supaya kita enggak lagi menyalahkan korban kekerasan seksual dengan atau tanpa kita sadari!

Baca Juga: Remaja Harus Tahu tentang Consent untuk Cegah Kekerasan Seksual!

Tonic Immobility

Hasil riset tim peneliti dari Swedia membuahkan temuan tentang tonic immobility, yang mematahkan salah satu mitos perkosaan atau kekerasan seksual pada umumnya, bahwa sebuah kasus enggak dapat disebut sebagai perkosaan apabila korban enggak melawan saat diserang dan hubungan seksual terjadi.

Tonic immobility adalah gejala kelumpuhan sementara yang dialami sebagian korban perkosaan ketika mereka diserang pelaku, dan ditemukan oleh Dr. Anna Moller, salah satu peneliti yang terlibat dalam riset tersebut.

Dilansir dari LiveScience, kelumpuhan sementara yang dialami korban perkosaan tersebut merupakan reaksi defensif dari tubuh yang bersifat alami dan biasanya timbul di bawah ketakutan yang luar biasa.

Riset Moller dan tim peneliti juga menunjukkan bahwa kelumpuhan sementara ini mirip dengan kondisi katatonia atau keadaan ketika seseorang enggak bisa bergerak, berbicara, dan merespon apa pun yang diterima tubuhnya.

 

 

Kelumpuhan hingga Depresi

 

Tonic immobility atau kelumpuhan sementara yang dialami sebagian korban perkosaan berhubungan dengan aktivasi hormon tertentu, salah satunya corticostereoid yang mengambil peran besar dalam mereduksi energi yang mereka miliki.

 

Makanya, pada sebagian kasus, tubuh korban kaku sepenuhnya dan mereka enggak bisa melawan.

Selain kelumpuhan sementara, Moller dan tim juga menemukan potensi depresi akut hingga gangguan stres pascatrauma (post-trauma stress disorder; PTSD) yang lebih besar pada korban perkosaan yang mengalami tonic immobility dibanding mereka yang enggak mengalaminya.

Baca Juga: Awas, 6 Hal Ini Termasuk Aktivitas Kekerasan Berbasis Gender Online!

Menghadapi Stigma

Nah, sayangnya, korban sendiri juga kadang enggak menyadari bahwa kelumpuhan yang mereka rasakan dan membuat mereka enggak berdaya saat diserang itu sebetulnya bersifat alami dan spontan.

Akhirnya korban justru menyalahkan diri sendiri dan enggan melapor pada orang terdekat maupun pihak berwajib karena takut dihakimi.

Belum lagi, berbagai omongan orang lain yang mempertanyakan kenapa korban enggak menghindar atau melawan masih sering terdengar ketika korban sudah berniat untuk speak up.

Hal tersebut ironis, mengingat bahwa dari penelitian Moller dan tim, ditemukan 7 dari 10 perempuan korban perkosaan yang mereka teliti merasakan kelumpuhan sementara saat kejadian.

Baca Juga: Awas Kekerasan Berbasis Gender Online, Jaga Privasi Kita di Medsos Ya!

Bahkan, jika korban berbicara setelah kejadian berlalu cukup lama, orang-orang masih saja menyalahkan korban karena enggak mengungkapkan kasus tersebut sejak awal.

Akibatnya, stigma dan upaya menyalahkan korban masih terus berlangsung dan dianggap lumrah.

Nah, kalau ada di antara kita yang pernah mengalami hal tersebut, laporkan ke pihak berwajib atau konsultasi ke berbagai komunitas konseling, penyintas, dan lembaga bantuan hukum (LBH) terdekat.

Atau kita bisa menghubungi hotline berbagai lembaga perlindungan seperti Yayasan Pulih (021-78842580, pulihcounseling@gmail.com), LBH Apik Jakarta (081388822669, apiknet@centrin.net.id), SAPA Indonesia (021-5853849, sapa.indo@gmail.com), Komnas Perempuan (021-3903963), dan Komnas Perempuan dan Anak RI (082125751234).

Ingat kalau kita enggak sendirian dan sebaiknya selalu saling mendukung ya, girls!

 

(*)