Being Me

By Astri Soeparyono, Kamis, 4 Desember 2014 | 17:00 WIB
Being Me (Astri Soeparyono)

                  "Lol aku hanya ingin kamu tahu kalau aku datang padamu bukan karena aku putus dengan Alex. Sudah lama aku ingin bebas. Apa yang aku bayangkan dulu semua salah. Kupikir aku bisa mendapat pengakuan diri jika bergabung dengan mereka, tapi kenyataannya aku malah kehilangan diri. Popularitas itu hanyalah ilusi. Mereka bahkan tidak jujur dengan diri mereka sendiri. Aku iri padamu karena kamu tetap memilih untuk menjadi dirimu sendiri. Aku ingin kembali seperti dulu. Dan yang terpenting kamu bukan rongsokan. Jangan pernah bilang seperti itu. Maafkan aku, Lol. Sungguh."

                  Lolita menghela napas panjang. Dia menatap mata Endita yang bersinar tulus. Mungkin Endita memang telah menyakitinya tapi dia sudah minta maaf dan itu butuh nyali yang besar.

                  "Meskipun kamu tidak memaafkanku, ketahuilah aku tidak takut sendiri. Aku masih ingat kata-katamu, Lol. Jadilah seperti rajawali, meski dia soliter tapi dia lebih bijaksana daripada seribu burung gereja. Dia berani terbang tinggi karena dia tahu cara terbang dengan menjadi sahabat angin. Rajawali bisa memperpanjang umurnya dua kali umurnya saat dia sekarat dengan berdiam diri dan menunggu dengan sabar sampai matahari menyembuhkannya. Aku masih ingat semuanya, Lol."

                  "Tapi kamu lupa, Dit. Meski seekor rajawali dengan sabar berdiam diri saat dia sekarat tapi dia tetap butuh seorang sahabat untuk memberinya makan," imbuh Lolita dengan menyelipkan senyum yang tipis. Endita tersenyum lebar.

                  "Kamu memaafkanku?"

                  "Yah, kenapa tidak? Lagipula aku sudah bosan ke sana-sini sendiri."

                  "Terima kasih, Lol."

                  Mereka terdiam. Sedikit canggung.

                  "Kamu ada acara minggu pagi?" tanya Endita berusaha mencairkan suasana. Lolita menggeleng.

                  "Ayo kita ke Jalan Baru."

                  "Ngapain?"

                  "Jalan-jalan, makan, dan menertawakan perseteruan besar kedua geng yang tak punya otak itu. Isunya akan ada adu pamer lagi. Kita lihat seberapa bodohnya mereka." Lolita mengangguk.

"Kenapa tidak? Toh menertawakan kebodohan orang lain lebih mudah daripada menyadari kebodohan sendiri." Mereka berdua tertawa. Senang rasanya ada sahabat di sisi untuk tertawa bersama.

(Oleh: Ruwi Meita, foto: favim.com)