Sebuah Akhir

By Astri Soeparyono, Kamis, 27 November 2014 | 17:00 WIB
Sebuah Akhir (Astri Soeparyono)

Aku ingin mengingatkannya bahwa ia sudah merelakan Nenek pergi beberapa bulan menjelang ajalnya. Bahwa Mama sudah tahu kepergian Nenek akan menjadi jalan yang terbaik dan bahwa Mama sudah mempersiapkan kepergian Nenek. Aku ingin mengingatkannya bahwa Mama sendiri yang bilang bahwa jika Nenek pergi, ia pasti akan mendapat tempat yang spesial di surga. Aku ingin mengingatkannya bahwa Mama tidak harus memikul beban ini sendirian, bahwa ia selalu punya aku.

Namun yang keluar dari mulutku hanyalah keheningan. Hampa seperti yang aku rasakan saat bahu Mama berguncang di pelukanku dan aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk menghentikannya.

"Selamat pagi, Ma."          

Aku membuka gorden di kamar rumah sakit itu dan membiarkan cahaya matahari pagi masuk.

"Nadia bawa bunga untuk Mama. Mawar putih, kesukaannya Mama."

Tidak ada balasan. Mama masih terbaring tidak berdaya di atas ranjang. Aku menghampiri Mama dan meletakkan seikat bunga di atas meja di samping kepalanya.

"Semalam Nadia kehujanan, Ma," kataku sambil menggengam tangannya. "Masih ingat, enggak, waktu Mama selalu ngomel saat Nadia sengaja main hujan sambil mengeringkan kepala Nadia dengan handuk? Nadia rindu, Ma."

Kelopak matanya bergerak sedikit. Kemudian dengan sangat perlahan Mama membuka matanya. "Hai, Sayang. Bagaimana kabar gadis favorit Mama?" Aku memaksakan diri untuk senyum. "Baik," kataku sambil menelan ludah, hal yang selalu kulakukan saat aku berbohong.

Sebuah Akhir

Saat aku berumur sepuluh tahun, aku dan Mama memelihara seekor anjing betina yang cantik. Kami menamainya Shine, karena bulunya yang berwarna coklat keemasan selalu bersinar di bawah cahaya matahari. Shine tahu betul dirinya cantik-atau setidaknya aku berpikir begitu-karena setiap kali aku dan Mama mengajaknya jalan-jalan sore, ia selalu mengibaskan ekor dan bulunya yang panjang di samping kami. "Dasar tukang pamer," ledek Mama selalu. Tapi mungkin dia tidak berusaha mengibaskannya, namun karena bulunya yang panjang selalu menjuntai. Entahlah.

Aku baru pulang sekolah suatu hari dan seperti biasa menyantap makan siangku dengan Mama. Namun aku tahu ada yang beda hari ini dengan Mama. "Hai, Sayang. Bagaimana hari pertama SMP? Tidak buruk, kan?"