Sebuah Akhir

By Astri Soeparyono, Kamis, 27 November 2014 | 17:00 WIB
Sebuah Akhir (Astri Soeparyono)

Mama tersenyum sedikit dan membelai tanganku dalam genggamannya, "Yang jelas dia tahu lebih banyak daripada kita." Setelah Mama mengatakan demikian Dr. Lau masuk dan aku langsung datang menghampirinya.

Aku merasakan diriku bergetar saat aku bertanya, "Apakah...apakah dia akan menderita? Menjelang kematiannya?"

Sebuah Akhir

"Mama masih ingat, enggak, sama Shine?"

Mama mengangguk. Aku bisa mendengar setiap tarikan napas Mama, betapa ia berusaha untuk tetap menghirup udara dan usahanya terpatri jelas pada suara tarikan napasnya yang lemah. "Tentu saja. Dia adalah anjing favorit kita, bukan?"

Air mata mulai jatuh di pipiku, dan kali ini aku tidak menahannya. "Mama tahu mengapa Nadia sangat terpukul?" Aku ingat selama tiga hari setelah kematian Shine aku tidak masuk sekolah karena sakit.

Mama mengangkat alis matanya menanti jawaban. Aku menarik napas panjang. "Karena Nadia tidak sempat mengatakan selamat tinggal padanya. Nadia tidak sempat mengatakan padanya bahwa dia adalah binatang peliharaan terkeren yang pernah ada. Nadia tidak sempat berterima kasih padanya karena sudah setia pada kita, karena selalu ada kapan pun Nadia butuh teman main," aku terdiam sejenak. "Dan terlebih lagi karena Nadia tidak sempat mengatakan kalau Nadia sayang padanya."

"Oh, Sayang, percayalah," setetes air mata jatuh dari mata Mama, "Dia tahu. Meskipun Nadia tidak pernah mengatakan itu semua padanya, dia tahu."

Dan dengan itu aku yakin Mama tidak bicara tentang Shine, ia bicara mewakili dirinya sendiri.

Aku meletakkan kepalaku di atas dada Mama dengan lembut. Aku sering melakukan hal seperti ini dulu waktu kecil. Saat aku takut dan tubuh kecilku masih bisa muat di atas tubuh Mama, aku akan tidur di atas tubuh Mama dan meletakkan telingaku di atas dadanya. Mendengar detak jantungnya selalu menenangkanku, karena aku tahu selama jantung Mama masih bergendang, Mama masih tetap di sini untuk menjagaku dari segala macam bahaya.

Aku menangis sesenggukan di atas dada Mama. Namun detak jantung Mama yang lemah masih menenangkanku, meskipun bahuku berguncang hebat dan aku menahan diri agar tidak menangis lebih keras lagi, meskipun aku tahu aku tidak akan bisa mendengar detak jantung Mama lagi untuk selamanya dalam waktu dekat.

Saat Mama mencium ubun-ubunku dan membelai rambutku-seperti yang selalu dilakukannya dulu saat aku meletakkan kepalaku di atas dadanya-aku menutup mataku dan selama beberapa saat, aku berhenti menangis. Aku meyakinkan diriku bahwa semuanya baik-baik saja karena Mama masih ada di sini dan jantungnya masih berdentum di telingaku.

Kenyataan kembali menimpaku saat aku tidak merasakan hembusan lemah lagi di ubun-ubunku, saat alat-alat di kamar Mama mulai berbunyi, saat dokter dan beberapa suster berlari terburu-buru ke kamar Mama. Aku tahu aku tidak akan mendengar detak jantung Mama lagi, bahwa semuanya telah berakhir. Namun aku tetap tidak mengangkat kepalaku dari dada Mama.

(Oleh: Katiya Sebayang, foto ilustrasi: giphy.com)