Sebuah Akhir

By Astri Soeparyono, Kamis, 27 November 2014 | 17:00 WIB
Sebuah Akhir (Astri Soeparyono)

Aku menggeleng tanpa mengatakan apa-apa, karena aku tahu pasti ada sesuatu yang disembunyikan Mama. Saat aku diam seolah menunggu pernyataan selanjutnya dari Mama, Mama membelai rambutku dan berkata, "Mama punya berita buruk, Sayang. Anjing kita...um...Shine...meninggal beberapa jam yang lalu."

Aku mengangguk sambil tertawa, "Ya, dan hamster Nadia meninggal tadi pagi."

Mama memandangku dengan bingung, "Nadia, kan, tidak punya hamster."

Aku memutar bola mataku dan melanjutkan makan siang. "Ayolah, Ma. Itu seharusnya lucu. Maksudnya Nadia membalas kebohongan gila Mama dengan kebohongan yang lebih gila lagi," aku menaikkan bahuku, "Mungkin Mama tidak mengerti candaannya."

Mama diam beberapa saat di sampingku. Aku melihat ia sama sekali tidak menyentuh makanannya. Aku mulai panik dan pergi ke halaman belakang rumah tempat Shine biasa bermain, "Mama bercanda, kan? Waktu Nadia pergi sekolah tadi pagi Shine masih baik-baik saja, kok." Aku berlari menyusuri halaman belakang dan memanggil-manggil namanya, "Shine! Shine!"

"Nadia! Masuk ke dalam rumah! Shine...sudah tidak ada lagi di sana!" teriakan Mama bagai terdengar dari kejauhan. Aku berlari tergopoh-gopoh ke dalam rumah, "Kok...kok bisa? Tadi pagi...waktu..." Aku tidak mengerti mengapa aku kesusahan mencari kata-kata, apakah karena aku kehabisan napas mencari Shine atau karena kaget tidak menemukan apa-apa di halaman belakang.

Mama tidak berani melihat mataku saat berkata, "Dia terlindas mobil tadi pagi saat sedang menyeberang, Sayang. Mama...Mama juga tidak menyangka hal itu akan terjadi. Dia...dia seperti biasa ingin keluar untuk buang air dan...dan...semuanya cepat sekali. Rem berdecit, tangisan kesakitan seekor anjing, Mama bahkan butuh beberapa saat untuk mencerna apa yang Mama lihat."

Aku merasakan diriku bergetar saat aku bertanya, "Apakah dia menderita? Sesaat sebelum dia meninggal?"

Kira-kira itulah yang kurasakan saat Dr. Lau mendiagnosa Mama menderita acute promyelocytic leukemia-kanker tulang dan sumsum-empat tahun yang lalu saat aku berusia 15 tahun. Kebingungan yang sama, kesedihan yang sama, rasa terguncang yang sama, hanya seratus kali lebih parah.

Aku ingat betapa paniknya aku saat bertanya pada Dr. Lau apa artinya penyakit Mama. Aku ingat raut wajah Mama yang tidak terbaca saat mendengarkan dokter menjelaskan bahwa penyakit yang diderita Mama sangat langka dan bahwa kami sudah terlambat karena kanker yang menyerang tubuh Mama sudah ganas. Aku ingat saat menawarkan sumsum tulang belakangku untuk dicangkok ke Mama - karena itu adalah satu-satunya hal yang aku tahu tentang leukemia - dan Dr. Lau menggeleng dan mengatakan tidak akan semudah itu. Mereka harus memastikan bahwa sumsum tulang belakangku cocok dengan Mama dan bahwa kemungkinannya kecil karena  tidak semua keturunan memiliki sumsum tulang belakang yang sama. Dan saat hasilnya keluar dan ternyata sumsum tulang belakangku tidak sesuai dengan Mama, kami mencari segala cara untuk menemukan donor. Namun sepertinya Tuhan berkata lain.

"Sudah waktunya, Nadia," kata Mama suatu hari di ranjang rumah sakit. Saat itu kondisi Mama sudah benar-benar lemah. "Mama tanya Dr. Lau berapa lama lagi, dan beliau menjawab tinggal hitungan hari...."

Aku menggenggam tangan Mama. "Ma, Nadia enggak mau dengar perkataan semacam itu lagi. Dr. Lau tidak tahu apa-apa. Mama harus kuat." Bahkan aku bisa mendengar keraguan dalam suaraku sendiri.