Sebuah Akhir

By Astri Soeparyono, Kamis, 27 November 2014 | 17:00 WIB
Sebuah Akhir (Astri Soeparyono)

Pemakaman pertama yang kuhadiri adalah pemakaman Kakek. Waktu itu aku berumur enam tahun, terlalu muda untuk mengerti apa yang sesungguhnya sedang terjadi, namun dapat merasakan bahwa saat itu suasana berduka sedang bergantung pekat di udara, layaknya ampas kopi yang mengental di dasar cangkir.

"Nadia," Mama memangkuku dan aku merasakan kakinya gemetar. "Apakah kamu tahu apa yang sedang terjadi?"

Aku mengangguk. "Ya. Kakek...Kakek sudah meninggal."

Mama memelukku dengan erat dan membelai rambutku dengan penuh kasih sayang. Ada keheningan yang menjuntai antara aku dan Mama selama beberapa detik. Aku membalikkan wajahku dan menghadapnya. "Ma, apakah ini juga yang terjadi pada Papa?"

Ia tersenyum dengan ujung bibirnya. "Apa yang membuatmu berpikir demikian, Sayang? Papa kamu meninggal saat kamu masih di kandungan. Kamu tidak pernah datang ke upacara pemakamannya."

Aku menaikkan bahuku. "Karena Papa tidak pernah kembali. Dan Nadia yakin Kakek juga tidak akan kembali lagi." Dan dengan itu, Mama kembali menangis. Mama mencium kepalaku tanpa berkata apa-apa, meninggalkanku dengan sesenggukannya.

Pemakaman kedua yang kuhadiri adalah pemakaman Nenek saat aku berumur tiga belas tahun. Aku ingat benar apa yang terjadi saat upacara pemakaman Nenek. Saat itu gerimis dan semua orang yang hadir memakai busana hitam. Tidak banyak orang yang hadir di upacara pemakaman Nenek, hanya keluarga dan beberapa teman dekat saja.

Mereka semua berusaha kuat untuk kami. Mereka memeluk kami dan memberi beberapa nasehat yang menguatkan. Namun aku bisa melihat bahwa mereka juga sepertinya membutuhkan hal yang sama. Mereka semua membutuhkan penguatan.

Namun yang paling terpukul di antara semua yang hadir di upacara pemakaman Nenek adalah Mama. Sebagai anak bungsu dan yang paling dekat dengan Nenek, tentu saja Mama yang paling terpukul akan kepergian Nenek. Matanya bengkak dan hidungnya merah, rambutnya kusut dan ia tak henti-hentinya menangis.

Melihat Mama yang selama ini kukenal kuat dan tabah menjadi rapuh seperti itu tentu saja membuatku sedih. Aku paling tidak suka melihat Mama menangis, hal itu selalu membuatku merasa gagal dalam membuat hidupnya bahagia, meski aku tahu tentu saja aku tidak perlu menanggung beban seperti itu.

"Ma," aku menghampirinya dan melingkarkan tanganku ke bahunya. "Tolong berhenti menangis."

"Oh, Nadia," Mama bergetar dalam pelukanku dan suaranya sangat pilu. "Bagaimana...bagaimana Mama bisa melakukannya?"

Aku ingin mengingatkannya bahwa ia sudah merelakan Nenek pergi beberapa bulan menjelang ajalnya. Bahwa Mama sudah tahu kepergian Nenek akan menjadi jalan yang terbaik dan bahwa Mama sudah mempersiapkan kepergian Nenek. Aku ingin mengingatkannya bahwa Mama sendiri yang bilang bahwa jika Nenek pergi, ia pasti akan mendapat tempat yang spesial di surga. Aku ingin mengingatkannya bahwa Mama tidak harus memikul beban ini sendirian, bahwa ia selalu punya aku.

Namun yang keluar dari mulutku hanyalah keheningan. Hampa seperti yang aku rasakan saat bahu Mama berguncang di pelukanku dan aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk menghentikannya.

"Selamat pagi, Ma."          

Aku membuka gorden di kamar rumah sakit itu dan membiarkan cahaya matahari pagi masuk.

"Nadia bawa bunga untuk Mama. Mawar putih, kesukaannya Mama."

Tidak ada balasan. Mama masih terbaring tidak berdaya di atas ranjang. Aku menghampiri Mama dan meletakkan seikat bunga di atas meja di samping kepalanya.

"Semalam Nadia kehujanan, Ma," kataku sambil menggengam tangannya. "Masih ingat, enggak, waktu Mama selalu ngomel saat Nadia sengaja main hujan sambil mengeringkan kepala Nadia dengan handuk? Nadia rindu, Ma."

Kelopak matanya bergerak sedikit. Kemudian dengan sangat perlahan Mama membuka matanya. "Hai, Sayang. Bagaimana kabar gadis favorit Mama?" Aku memaksakan diri untuk senyum. "Baik," kataku sambil menelan ludah, hal yang selalu kulakukan saat aku berbohong.

Sebuah Akhir

Saat aku berumur sepuluh tahun, aku dan Mama memelihara seekor anjing betina yang cantik. Kami menamainya Shine, karena bulunya yang berwarna coklat keemasan selalu bersinar di bawah cahaya matahari. Shine tahu betul dirinya cantik-atau setidaknya aku berpikir begitu-karena setiap kali aku dan Mama mengajaknya jalan-jalan sore, ia selalu mengibaskan ekor dan bulunya yang panjang di samping kami. "Dasar tukang pamer," ledek Mama selalu. Tapi mungkin dia tidak berusaha mengibaskannya, namun karena bulunya yang panjang selalu menjuntai. Entahlah.

Aku baru pulang sekolah suatu hari dan seperti biasa menyantap makan siangku dengan Mama. Namun aku tahu ada yang beda hari ini dengan Mama. "Hai, Sayang. Bagaimana hari pertama SMP? Tidak buruk, kan?"

Aku menggeleng tanpa mengatakan apa-apa, karena aku tahu pasti ada sesuatu yang disembunyikan Mama. Saat aku diam seolah menunggu pernyataan selanjutnya dari Mama, Mama membelai rambutku dan berkata, "Mama punya berita buruk, Sayang. Anjing kita...um...Shine...meninggal beberapa jam yang lalu."

Aku mengangguk sambil tertawa, "Ya, dan hamster Nadia meninggal tadi pagi."

Mama memandangku dengan bingung, "Nadia, kan, tidak punya hamster."

Aku memutar bola mataku dan melanjutkan makan siang. "Ayolah, Ma. Itu seharusnya lucu. Maksudnya Nadia membalas kebohongan gila Mama dengan kebohongan yang lebih gila lagi," aku menaikkan bahuku, "Mungkin Mama tidak mengerti candaannya."

Mama diam beberapa saat di sampingku. Aku melihat ia sama sekali tidak menyentuh makanannya. Aku mulai panik dan pergi ke halaman belakang rumah tempat Shine biasa bermain, "Mama bercanda, kan? Waktu Nadia pergi sekolah tadi pagi Shine masih baik-baik saja, kok." Aku berlari menyusuri halaman belakang dan memanggil-manggil namanya, "Shine! Shine!"

"Nadia! Masuk ke dalam rumah! Shine...sudah tidak ada lagi di sana!" teriakan Mama bagai terdengar dari kejauhan. Aku berlari tergopoh-gopoh ke dalam rumah, "Kok...kok bisa? Tadi pagi...waktu..." Aku tidak mengerti mengapa aku kesusahan mencari kata-kata, apakah karena aku kehabisan napas mencari Shine atau karena kaget tidak menemukan apa-apa di halaman belakang.

Mama tidak berani melihat mataku saat berkata, "Dia terlindas mobil tadi pagi saat sedang menyeberang, Sayang. Mama...Mama juga tidak menyangka hal itu akan terjadi. Dia...dia seperti biasa ingin keluar untuk buang air dan...dan...semuanya cepat sekali. Rem berdecit, tangisan kesakitan seekor anjing, Mama bahkan butuh beberapa saat untuk mencerna apa yang Mama lihat."

Aku merasakan diriku bergetar saat aku bertanya, "Apakah dia menderita? Sesaat sebelum dia meninggal?"

Kira-kira itulah yang kurasakan saat Dr. Lau mendiagnosa Mama menderita acute promyelocytic leukemia-kanker tulang dan sumsum-empat tahun yang lalu saat aku berusia 15 tahun. Kebingungan yang sama, kesedihan yang sama, rasa terguncang yang sama, hanya seratus kali lebih parah.

Aku ingat betapa paniknya aku saat bertanya pada Dr. Lau apa artinya penyakit Mama. Aku ingat raut wajah Mama yang tidak terbaca saat mendengarkan dokter menjelaskan bahwa penyakit yang diderita Mama sangat langka dan bahwa kami sudah terlambat karena kanker yang menyerang tubuh Mama sudah ganas. Aku ingat saat menawarkan sumsum tulang belakangku untuk dicangkok ke Mama - karena itu adalah satu-satunya hal yang aku tahu tentang leukemia - dan Dr. Lau menggeleng dan mengatakan tidak akan semudah itu. Mereka harus memastikan bahwa sumsum tulang belakangku cocok dengan Mama dan bahwa kemungkinannya kecil karena  tidak semua keturunan memiliki sumsum tulang belakang yang sama. Dan saat hasilnya keluar dan ternyata sumsum tulang belakangku tidak sesuai dengan Mama, kami mencari segala cara untuk menemukan donor. Namun sepertinya Tuhan berkata lain.

"Sudah waktunya, Nadia," kata Mama suatu hari di ranjang rumah sakit. Saat itu kondisi Mama sudah benar-benar lemah. "Mama tanya Dr. Lau berapa lama lagi, dan beliau menjawab tinggal hitungan hari...."

Aku menggenggam tangan Mama. "Ma, Nadia enggak mau dengar perkataan semacam itu lagi. Dr. Lau tidak tahu apa-apa. Mama harus kuat." Bahkan aku bisa mendengar keraguan dalam suaraku sendiri.

Mama tersenyum sedikit dan membelai tanganku dalam genggamannya, "Yang jelas dia tahu lebih banyak daripada kita." Setelah Mama mengatakan demikian Dr. Lau masuk dan aku langsung datang menghampirinya.

Aku merasakan diriku bergetar saat aku bertanya, "Apakah...apakah dia akan menderita? Menjelang kematiannya?"

Sebuah Akhir

"Mama masih ingat, enggak, sama Shine?"

Mama mengangguk. Aku bisa mendengar setiap tarikan napas Mama, betapa ia berusaha untuk tetap menghirup udara dan usahanya terpatri jelas pada suara tarikan napasnya yang lemah. "Tentu saja. Dia adalah anjing favorit kita, bukan?"

Air mata mulai jatuh di pipiku, dan kali ini aku tidak menahannya. "Mama tahu mengapa Nadia sangat terpukul?" Aku ingat selama tiga hari setelah kematian Shine aku tidak masuk sekolah karena sakit.

Mama mengangkat alis matanya menanti jawaban. Aku menarik napas panjang. "Karena Nadia tidak sempat mengatakan selamat tinggal padanya. Nadia tidak sempat mengatakan padanya bahwa dia adalah binatang peliharaan terkeren yang pernah ada. Nadia tidak sempat berterima kasih padanya karena sudah setia pada kita, karena selalu ada kapan pun Nadia butuh teman main," aku terdiam sejenak. "Dan terlebih lagi karena Nadia tidak sempat mengatakan kalau Nadia sayang padanya."

"Oh, Sayang, percayalah," setetes air mata jatuh dari mata Mama, "Dia tahu. Meskipun Nadia tidak pernah mengatakan itu semua padanya, dia tahu."

Dan dengan itu aku yakin Mama tidak bicara tentang Shine, ia bicara mewakili dirinya sendiri.

Aku meletakkan kepalaku di atas dada Mama dengan lembut. Aku sering melakukan hal seperti ini dulu waktu kecil. Saat aku takut dan tubuh kecilku masih bisa muat di atas tubuh Mama, aku akan tidur di atas tubuh Mama dan meletakkan telingaku di atas dadanya. Mendengar detak jantungnya selalu menenangkanku, karena aku tahu selama jantung Mama masih bergendang, Mama masih tetap di sini untuk menjagaku dari segala macam bahaya.

Aku menangis sesenggukan di atas dada Mama. Namun detak jantung Mama yang lemah masih menenangkanku, meskipun bahuku berguncang hebat dan aku menahan diri agar tidak menangis lebih keras lagi, meskipun aku tahu aku tidak akan bisa mendengar detak jantung Mama lagi untuk selamanya dalam waktu dekat.

Saat Mama mencium ubun-ubunku dan membelai rambutku-seperti yang selalu dilakukannya dulu saat aku meletakkan kepalaku di atas dadanya-aku menutup mataku dan selama beberapa saat, aku berhenti menangis. Aku meyakinkan diriku bahwa semuanya baik-baik saja karena Mama masih ada di sini dan jantungnya masih berdentum di telingaku.

Kenyataan kembali menimpaku saat aku tidak merasakan hembusan lemah lagi di ubun-ubunku, saat alat-alat di kamar Mama mulai berbunyi, saat dokter dan beberapa suster berlari terburu-buru ke kamar Mama. Aku tahu aku tidak akan mendengar detak jantung Mama lagi, bahwa semuanya telah berakhir. Namun aku tetap tidak mengangkat kepalaku dari dada Mama.

(Oleh: Katiya Sebayang, foto ilustrasi: giphy.com)