Gerimis di Sore Hari

By Astri Soeparyono, Rabu, 15 Oktober 2014 | 16:00 WIB
Gerimis di Sore Hari (Astri Soeparyono)

Prilia, cewek sempurna yang populer. Dia sudah dekat dengan Febrant sejak awal kelas XI, bahkan gosipnya mereka sempat berpacaran. Mungkin hubungan mereka jadi terganggu karena kehadiranku. Aku terus memandangi mereka yang kini sedang berbincang mesra di tepi lapangan. Tanpa kusadari Febrant memergokiku yang sejak tadi menatap lekat mereka, aku segera berpaling menyembunyiakn genangan air mataku.

"Bisakah kau berhenti mengawasiku setiap hari?" kata Febrant dingin saat mobil kami bergerak menjauhi sekolah menuju rumahku.

"Kau tak berhak mengatakan hal seperti itu padaku." kataku ketus. Aku lelah terus mendengar komentar buruk tentangku.

Gerimis di Sore Hari

Tak bisakah dia sedikit mengerti tentang  arti hadirku kini. Betapa nanarnya hatiku setiap kali mendapatinya bersama Prilia, di kantin, di perpustakaan, di kantor. Ya Tuhan, haruskah mereka selalu bersikap seperti itu di sekolah, tanpa peduli dengan perasaanku. Aku hanya ingin diakui.

Besok adalah awal bulan Februari, dan sekarang genap dua bulan aku dan Febrant merajut kamuflase benang-benang cinta. Sore ini aku ingin semua kesakitanku selama ini berakhir, tapi aku takut untuk mengawali. Kulihat permainan Basket dibawah sana telah usai dengan kemenangan tim Febrant, selalu begitu. Mataku terasa panas saat dia tersenyum lebar pada Prilia yang sedang berlatih Cheerleader, dia tak pernah melakukannya padaku. Aku memejamkan mataku, mencoba menahan perihnya hatiku.

"Waktunya pulang," suara Febrant menggema di koridor. Cepat-cepat aku mengusap mataku dan berbalik ke arahnya. Dia sudah berada di puncak tangga sambil menenteng tas College-nya, dia tampak sempurna. Lelehan keringat di keningnya, tatapannya, cara dia tersenyum dangkal, itu semua membuatku gila.

Dia berjalan di depanku, menuruni anak tangga dengan langkah tenang. Berbeda denganku yang sejak tadi gugup saking gelisahya. Aku takut takkan pernah bertemu dengannya lagi setelah semua ini berakhir. Aku takut bakal menyesali keputusanku ini seumur hidupku. Tapi aku juga tak mau terus tersakiti dengan sikap dinginnya yang semakin menjadi, bantulah aku Tuhan.

"Tunggu Feb!" kataku akhirnya saat kami melintasi lapangan Basket menuju gerbang sekolah. Dia berhenti dan membalikkan badannya dengan enggan. Hanya ada kami berdua, semua anak nampaknya telah pulang.

"Ada apa?" tanyanya dingin. Aku menundukkan kepalaku, mengingat semua kata yang telah kuhapalkan beberapa hari ini. Sial, aku tak bisa mengingat satupun. Tapi aku harus bicara!

"Aku ingin bicara denganmu soal hubungan kita," kataku akhirnya, ku melirik ekspresi wajahnya yang ternyata masih tetap datar. "Kau pasti mengerti maksudku," tambahku pelan.

"Tidak," jawabnya ketus. Emosiku membuncah sekarang, memangnya apa yang dia pikirkan? Apa dia pikir semua nampak baik-baik saja, sial. Kurasakan kepalaku semakin memanas sekarang.