Gerimis di Sore Hari

By Astri Soeparyono, Rabu, 15 Oktober 2014 | 16:00 WIB
Gerimis di Sore Hari (Astri Soeparyono)

Aku terus memandangi lapangan yang letaknya dua lantai dibawahku. Memperhatikan sosok-sosok yang sejak tadi berebut bola basket. Tapi hanya satu yang benar-benar menjadi titik pandangku. Dia adalah kapten Basket sekolah ini, semua mengenalnya dan memujanya. Dan dia adalah alasanku berdiri sendiri di koridor lantai dua ini. Terus memandangnya membuat dadaku terus bergejolak. Ada banyak hal yang harus dia tahu sore ini, begitu banyak yang tak disadarinya.

Dua bulan yang lalu.

Aku terbangun dari tidurku yang terasa amat panjang pagi itu, terbaring lemas di salah satu kamar Rumah Sakit. Yang kutahu orangtuaku langsung membawaku pulang, dan mereka mulai bercerita. Intinya aku telah mendonorkan salah satu ginjalku untuk putera sahabat mereka. Orangtuaku mengijinkan hal itu dengan syarat putera sahabat mereka harus dijodohkan dengan diriku. Entah apa yang mereka pikirkan sampai rela menjual ginjal puteri mereka hanya demi perjodohan konyol ini. Padahal keluargaku tidak masuk dalam predikat miskin. Dan kenapa cowok yang mendapatkan ginjalku harus Febrant?! Kapten Basket sekolah yang digandrungi semua hawa, dan dia dikenal dengan arogannya yang selangit.

Sejak saat itu kehidupanku berubah. Setiap hari aku harus mendapati tasku sesak dengan surat-surat ancaman dari penggemar Febrant yang berjibun. Mungkin aku sabar untuk yang satu ini, tapi tidak dengan perlakuan Febrant. Aku tahu dia terpaksa menjadi pacarku, karena akupun begitu. Umurku sudah genap 17 tahun, jadi aku tahu perlakuannya terhadapku adalah sebagai bentuk rasa bencinya kepadaku.

"Aku tak mengerti kenapa kau selalu mengikat rambutmu kekanakan seperti itu," katanya pada suatu hari ketika kami berangkat sekolah.

"Hei, ini adalah cerminan pribadiku yang ceria. Mengerti?" jawabku dengan senyuman selebar mungkin. Setelah itu dia hanya menggeleng dan kemudian berkutat dengan buku bacaannya.

Semua orang mengira kami adalah pasangan yang paling romantis di sekolah ini, padahal itu salah. Di sekolah kami tak pernah mengobrol, bahkan dia selalu memalingkan mukanya saat berpapasan denganku. Apa menurutnya aku terlalu menjijkan?

"Iyoni! Kenapa dua bulan ini kau jadi pendiam? Bahkan kau tak pernah lagi mengikat dua rambutmu. Febrant telah membuatmu menjadi orang aneh," protes Sisi dengan aksen nenek sihirnya. Dia adalah teman sebangkuku.

"Aku tak apa Si, mungkin karena tiga bulan lagi kita bakal lulus SMA," jawabku parau.

"Apa hubungannya?" tanyanya heran sambil kemudian beranjak pergi bersama temannya yang lain.

Dia benar, aku memang telah berbeda sekarang. Bukan lagi Iyoni yang selalu ceria seperti dulu kala. Separuh jiwaku telah direnggut oleh sosok yang seharusnya kuhindari. Entah sejak kapan aku mulai menyukainya, aku menyukainya bukan karena dia kapten Basket atau semacam itulah. Aku menyukainya karena aku benar-benar telah jatuh cinta padanya. Aku takkan pernah bisa memberikan alasan yang konkrit untuk itu semua, tapi percayalah aku sungguh menyukainya.

Aku berdiri di koridor kelasku yang berada di lantai dua. Mencari-cari sosok di bawah sana, dia selalu menghabiskan jam istirahatnya dengan bermain Basket. Itu dia orangnya, yang baru saja memasukkan bola ke dalam ring. Seantereo sekolah langsung bersorak, takjub dengan permainannya yang semakin sempurna. Kulihat dia hanya tersenyum dangkal, itu yang selalu dia lakukan. Pertandingan berakhir ketika bel tanda masuk berbunyi, Febrant bergegas ke pinggir lapangan. Di sana sudah ada cewek yang sejak tadi menunggunya, memberinya handuk dan sebotol air mineral. Perutku bergejolak tak karuan, tenggorokanku tercekat. Ini yang tak ingin kulihat, tapi harus terjadi setiap hari.

Prilia, cewek sempurna yang populer. Dia sudah dekat dengan Febrant sejak awal kelas XI, bahkan gosipnya mereka sempat berpacaran. Mungkin hubungan mereka jadi terganggu karena kehadiranku. Aku terus memandangi mereka yang kini sedang berbincang mesra di tepi lapangan. Tanpa kusadari Febrant memergokiku yang sejak tadi menatap lekat mereka, aku segera berpaling menyembunyiakn genangan air mataku.

"Bisakah kau berhenti mengawasiku setiap hari?" kata Febrant dingin saat mobil kami bergerak menjauhi sekolah menuju rumahku.

"Kau tak berhak mengatakan hal seperti itu padaku." kataku ketus. Aku lelah terus mendengar komentar buruk tentangku.

Gerimis di Sore Hari

Tak bisakah dia sedikit mengerti tentang  arti hadirku kini. Betapa nanarnya hatiku setiap kali mendapatinya bersama Prilia, di kantin, di perpustakaan, di kantor. Ya Tuhan, haruskah mereka selalu bersikap seperti itu di sekolah, tanpa peduli dengan perasaanku. Aku hanya ingin diakui.

Besok adalah awal bulan Februari, dan sekarang genap dua bulan aku dan Febrant merajut kamuflase benang-benang cinta. Sore ini aku ingin semua kesakitanku selama ini berakhir, tapi aku takut untuk mengawali. Kulihat permainan Basket dibawah sana telah usai dengan kemenangan tim Febrant, selalu begitu. Mataku terasa panas saat dia tersenyum lebar pada Prilia yang sedang berlatih Cheerleader, dia tak pernah melakukannya padaku. Aku memejamkan mataku, mencoba menahan perihnya hatiku.

"Waktunya pulang," suara Febrant menggema di koridor. Cepat-cepat aku mengusap mataku dan berbalik ke arahnya. Dia sudah berada di puncak tangga sambil menenteng tas College-nya, dia tampak sempurna. Lelehan keringat di keningnya, tatapannya, cara dia tersenyum dangkal, itu semua membuatku gila.

Dia berjalan di depanku, menuruni anak tangga dengan langkah tenang. Berbeda denganku yang sejak tadi gugup saking gelisahya. Aku takut takkan pernah bertemu dengannya lagi setelah semua ini berakhir. Aku takut bakal menyesali keputusanku ini seumur hidupku. Tapi aku juga tak mau terus tersakiti dengan sikap dinginnya yang semakin menjadi, bantulah aku Tuhan.

"Tunggu Feb!" kataku akhirnya saat kami melintasi lapangan Basket menuju gerbang sekolah. Dia berhenti dan membalikkan badannya dengan enggan. Hanya ada kami berdua, semua anak nampaknya telah pulang.

"Ada apa?" tanyanya dingin. Aku menundukkan kepalaku, mengingat semua kata yang telah kuhapalkan beberapa hari ini. Sial, aku tak bisa mengingat satupun. Tapi aku harus bicara!

"Aku ingin bicara denganmu soal hubungan kita," kataku akhirnya, ku melirik ekspresi wajahnya yang ternyata masih tetap datar. "Kau pasti mengerti maksudku," tambahku pelan.

"Tidak," jawabnya ketus. Emosiku membuncah sekarang, memangnya apa yang dia pikirkan? Apa dia pikir semua nampak baik-baik saja, sial. Kurasakan kepalaku semakin memanas sekarang.

"Aku lelah dengan semuanya, mungkin kau tak pernah menyadari akan hal itu. Tapi aku benar-benar ingin mengakhiri semua omong kosong ini. Kau tak pernah mengerti begitu menderitanya diriku, kau terlalu egois bagiku. Aku sadar, aku hanya menjadi benalu hubunganmu dengan Prilia. Tapi bisakah kau sedikit menghargai kehadiranku kini? Mungkin awalnya aku tak punya simpati terhadapmu, tak ada rasa. Tapi kini kurasakan lain bagiku, pelan-pelan rasa itu menggerogoti jiwaku. Aku tahu aku terlalu bodoh untuk itu semua! Aku mencintai orang yang salah! Mencintai orang yang tak pernah mengenalku!" semua kata itu keluar begitu saja tanpa kusadari. Aku menundukkan kepalaku dan air mataku mengalir dengan hebatnya.

Langit sore tak kuasa menahan bebannya seperti diriku, melepaskan tetesan-tetesan air kecil. Febrant masih diam tak bergeming. Aku memutuskan melanjutkan pembicaraanku tadi. "Aku telah mempertimbangkannya, mungkin lebih baik kalau semua ini diakhiri. Kau bisa melanjutkan hidupmu dengan Prilia, dan aku akan berhenti menangisimu lagi. Aku ikhlas memberikan ginjalku untukmu, dan aku merelakan untuk tak bersamamu lagi. Semuanya akan lebih baik bila tanpamu."

 Setelah mengatakn hal itu aku berbalik, tangisanku yang semakin deras membuatku harus berjalan perlahan.

Tiba-tiba Febrant menarikku, dia langsung memelukku dengan eratnya. Apa yang sedang dilakukannya? Air mataku masih terus mengalir, mengingat mungkin ini adalah pelukan perpisahan darinya.

"Kau salah tentang banyak hal Iyoni," kata Febrant lembut. Dia pasti sedang mempermainkanku sekarang. Aku benar, karena pelukannya langsung melemah. Aku menengadah, dan Febrant jatuh pingsan. Apa yang telah terjadi!

Gerimis di Sore Hari

Malam ini aku terus menangis tersedu di sebelah ranjang tempat Febrant terbaring lemah, dia masih tak sadarkan diri. Rumah sakit sudah mulai sepi, hanya ada aku dan Febrant. Kedua orangtua kami sedang dalam perjalanan dari Singapura. Aku menutup wajahku dengan tanganku yang masih saja gemataran. Menyesali setiap kata yang terucap untuknya sore tadi. Masih terngiang jelas ditelingaku suara dokter Ihza saat memeriksa keadaan Febrant, dia adalah dokter yang dulu menangani operasi ginjal kami.

"Orang tuamu menyembunyikan fakta Iyoni, itupun permintaan Febrant. Bukan kau yang mendonorkan ginjalmu, tapi Febrant lah yang terlah memberikan ginjalnya untukmu. Kau tak pernah menyadari kelainan ginjalmu, kau mungkin lupa pernah jatuh pingsan pada suatu malam. Kondisi Febrant sekarang kritis, dia pasti sering kelelahan. Kita hanya bisa berharap pertolongan dari Tuhan sekarang."

Mengingat hal itu, tubuhku rasanya mati rasa. Mencoba mencerna kembali semua hal yang telah salah kulalui. Tuhan, aku mohon ijinkan diriku memperbaiki semuanya.

Aku terjaga saat menyadari ada yang mengelus rambutku, ternyata itu tangan Febrant.

"Febrant?" tangisku kembali pecah melihat betapa rapuhnya dia kini.

"Iyoni, maaf atas semua keegoisanku selama ini. Tapi kau harus tahu, aku tak pernah bisa merelekanmu jauh dariku walaupun mungkin kamu bisa. Mungkin bagimu semua akan lebih baik kalau kita berpisah, tapi tidak bagiku Iyoni. Aku menyayangimu sejak  pertama aku melihatmu, saat orangtuaku berkunjung kerumahmu. Kita masih SD, kau pasti lupa kan?" katanya parau.

"Feb, aku menyesal mengatakan itu semua. Aku salah Feb, aku salah menilaimu. Maafkan aku," kataku mulai terisak.

"Aku juga ingin kau tahu, Prilia itu anak pengasuhku. Hanya saja, sejak dulu aku menganggapnya sebagai kakakku. Aku minta maaf tanpa sadar aku justru menyakitimu. Dan maaf untuk sikap dinginku selama ini, aku hanya tak ingin kau terlalu dekat denganku. Kuingin kau siap menghadapi takdir kita, kau takkan merana karena kita memang tak pernah dekat," kata Febrant sambil tersenyum manis padaku.

"Kau bodoh Febrant! Kenapa kau tak pernah jujur padaku?" tangisanku semakin meradang setelah aku tahu semuanya.

"Kau mau berjanji satu hal padaku?" dia mengabaikan pertanyaanku. Aku menjawabnya dengan anggukan pelan. "Jangan pernah lagi menangis untukku Iyoni. Bahagiamu telah menanti didepan sana, kau harus menjadi ceria lagi seperti dulu. Kau harus berjanji," dia mengusap air mataku, kemudian menggenggam erat kedua tanganku.

"Aku janji Feb, tetaplah disampingku," ujarku serak.

"Bagus, kau harus menepati janjimu Iyoniku sayang. Tetaplah tersenyum," katanya lirih. Dia tersenyum padaku sampai akhirnya matanya terlelap perlahan.

Kurasakan jantungku berderap lebih hebat, tangan Febrant terkulai lemas. Aku memegang pergelangan tangannya, berharap masih ada getaran nadi. Tidak.

"Febrant! Bangun! Febrant, jangan pergi! Febrant!"

Tak ada sedikitpun air mengalir dari mataku sejak pemakaman tadi. Aku hanya bisa terdiam walaupun rasanya ingin sekali menjerit menumpahkan serpihan luka ini. Seusai upacara pemakaman, aku menyetir mobilku seorang diri. Aku tak yakin semua akan lebih baik nantinya, rasa penyesalan ini terus menerjang rongga di dada. Aku memegang perutku, tempat dimana ginjal Febrant kini berada. Kau akan selalau bersamaku.

(Oleh: Titi Setiyoningsih, foto ilustrasi: tumblr.com)