Gerimis di Sore Hari

By Astri Soeparyono, Rabu, 15 Oktober 2014 | 16:00 WIB
Gerimis di Sore Hari (Astri Soeparyono)

"Aku lelah dengan semuanya, mungkin kau tak pernah menyadari akan hal itu. Tapi aku benar-benar ingin mengakhiri semua omong kosong ini. Kau tak pernah mengerti begitu menderitanya diriku, kau terlalu egois bagiku. Aku sadar, aku hanya menjadi benalu hubunganmu dengan Prilia. Tapi bisakah kau sedikit menghargai kehadiranku kini? Mungkin awalnya aku tak punya simpati terhadapmu, tak ada rasa. Tapi kini kurasakan lain bagiku, pelan-pelan rasa itu menggerogoti jiwaku. Aku tahu aku terlalu bodoh untuk itu semua! Aku mencintai orang yang salah! Mencintai orang yang tak pernah mengenalku!" semua kata itu keluar begitu saja tanpa kusadari. Aku menundukkan kepalaku dan air mataku mengalir dengan hebatnya.

Langit sore tak kuasa menahan bebannya seperti diriku, melepaskan tetesan-tetesan air kecil. Febrant masih diam tak bergeming. Aku memutuskan melanjutkan pembicaraanku tadi. "Aku telah mempertimbangkannya, mungkin lebih baik kalau semua ini diakhiri. Kau bisa melanjutkan hidupmu dengan Prilia, dan aku akan berhenti menangisimu lagi. Aku ikhlas memberikan ginjalku untukmu, dan aku merelakan untuk tak bersamamu lagi. Semuanya akan lebih baik bila tanpamu."

 Setelah mengatakn hal itu aku berbalik, tangisanku yang semakin deras membuatku harus berjalan perlahan.

Tiba-tiba Febrant menarikku, dia langsung memelukku dengan eratnya. Apa yang sedang dilakukannya? Air mataku masih terus mengalir, mengingat mungkin ini adalah pelukan perpisahan darinya.

"Kau salah tentang banyak hal Iyoni," kata Febrant lembut. Dia pasti sedang mempermainkanku sekarang. Aku benar, karena pelukannya langsung melemah. Aku menengadah, dan Febrant jatuh pingsan. Apa yang telah terjadi!

Gerimis di Sore Hari

Malam ini aku terus menangis tersedu di sebelah ranjang tempat Febrant terbaring lemah, dia masih tak sadarkan diri. Rumah sakit sudah mulai sepi, hanya ada aku dan Febrant. Kedua orangtua kami sedang dalam perjalanan dari Singapura. Aku menutup wajahku dengan tanganku yang masih saja gemataran. Menyesali setiap kata yang terucap untuknya sore tadi. Masih terngiang jelas ditelingaku suara dokter Ihza saat memeriksa keadaan Febrant, dia adalah dokter yang dulu menangani operasi ginjal kami.

"Orang tuamu menyembunyikan fakta Iyoni, itupun permintaan Febrant. Bukan kau yang mendonorkan ginjalmu, tapi Febrant lah yang terlah memberikan ginjalnya untukmu. Kau tak pernah menyadari kelainan ginjalmu, kau mungkin lupa pernah jatuh pingsan pada suatu malam. Kondisi Febrant sekarang kritis, dia pasti sering kelelahan. Kita hanya bisa berharap pertolongan dari Tuhan sekarang."

Mengingat hal itu, tubuhku rasanya mati rasa. Mencoba mencerna kembali semua hal yang telah salah kulalui. Tuhan, aku mohon ijinkan diriku memperbaiki semuanya.

Aku terjaga saat menyadari ada yang mengelus rambutku, ternyata itu tangan Febrant.