Gerimis di Sore Hari

By Astri Soeparyono, Rabu, 15 Oktober 2014 | 16:00 WIB
Gerimis di Sore Hari (Astri Soeparyono)

"Febrant?" tangisku kembali pecah melihat betapa rapuhnya dia kini.

"Iyoni, maaf atas semua keegoisanku selama ini. Tapi kau harus tahu, aku tak pernah bisa merelekanmu jauh dariku walaupun mungkin kamu bisa. Mungkin bagimu semua akan lebih baik kalau kita berpisah, tapi tidak bagiku Iyoni. Aku menyayangimu sejak  pertama aku melihatmu, saat orangtuaku berkunjung kerumahmu. Kita masih SD, kau pasti lupa kan?" katanya parau.

"Feb, aku menyesal mengatakan itu semua. Aku salah Feb, aku salah menilaimu. Maafkan aku," kataku mulai terisak.

"Aku juga ingin kau tahu, Prilia itu anak pengasuhku. Hanya saja, sejak dulu aku menganggapnya sebagai kakakku. Aku minta maaf tanpa sadar aku justru menyakitimu. Dan maaf untuk sikap dinginku selama ini, aku hanya tak ingin kau terlalu dekat denganku. Kuingin kau siap menghadapi takdir kita, kau takkan merana karena kita memang tak pernah dekat," kata Febrant sambil tersenyum manis padaku.

"Kau bodoh Febrant! Kenapa kau tak pernah jujur padaku?" tangisanku semakin meradang setelah aku tahu semuanya.

"Kau mau berjanji satu hal padaku?" dia mengabaikan pertanyaanku. Aku menjawabnya dengan anggukan pelan. "Jangan pernah lagi menangis untukku Iyoni. Bahagiamu telah menanti didepan sana, kau harus menjadi ceria lagi seperti dulu. Kau harus berjanji," dia mengusap air mataku, kemudian menggenggam erat kedua tanganku.

"Aku janji Feb, tetaplah disampingku," ujarku serak.

"Bagus, kau harus menepati janjimu Iyoniku sayang. Tetaplah tersenyum," katanya lirih. Dia tersenyum padaku sampai akhirnya matanya terlelap perlahan.

Kurasakan jantungku berderap lebih hebat, tangan Febrant terkulai lemas. Aku memegang pergelangan tangannya, berharap masih ada getaran nadi. Tidak.

"Febrant! Bangun! Febrant, jangan pergi! Febrant!"

Tak ada sedikitpun air mengalir dari mataku sejak pemakaman tadi. Aku hanya bisa terdiam walaupun rasanya ingin sekali menjerit menumpahkan serpihan luka ini. Seusai upacara pemakaman, aku menyetir mobilku seorang diri. Aku tak yakin semua akan lebih baik nantinya, rasa penyesalan ini terus menerjang rongga di dada. Aku memegang perutku, tempat dimana ginjal Febrant kini berada. Kau akan selalau bersamaku.

(Oleh: Titi Setiyoningsih, foto ilustrasi: tumblr.com)