Mendung memayungi langit Jakarta pagi ini. Cuaca memang sedang tak bersahabat beberapa minggu terakhir ini. Suasana seperti ini sering menimbulkan rasa malas, seperti yang sedang dialami beberapa anak yang sedang berkumpul di sebuah kelas sambil memandangi langit yang menggelap.
"Aaaah! Gue udah bosen nunggu, nih! Pulang yuk!" seorang gadis berkuncir kuda tampak bersandar malas di kursinya. Namanya Cindy.
"Entar kalo Bu Ratna tiba-tiba datang, gimana?" ucap Jo, cowok berkacamata tebal.
"Enggak mungkin. Bu Ratna, kan, udah bilang ada keperluan mendadak," terdengar suara Dion dari bangku barisan depan. Dia tampak sedang sibuk dengan camilannya.
"Tapi bisa jadi ada guru lain yang disuruh oleh Bu Ratna untuk memberikan pengarahan pada kita. Kita, kan, dikumpulkan di sini terkait rencana party perpisahan kelas kita Sabtu besok. Harus ada rapat sebelum acara dilaksanakan." Amanda ikut menanggapi sambil asik mengotak-atik gadget barunya.
"Amanda benar. Kita harus menunggu di sini sampai jam pulang sekolah," Fahri, sang ketua kelas, memperingatkan teman-temannya.
"Oke. Kalo gitu kita main aja!" Cindy nampak bersemangat.
"Gue denger ada yang ngajak main. Yok, gue ikut!" Tiba-tiba sosok tinggi kurus masuk kelas. Namanya Alex.
"Yes! Ada yang dukung gue! Sini, Lex! Kita main truth or dare!" Cindy tampak senang ada yang mendukung idenya.
"Yaelah, itu mainan anak di bawah umur, Cin!" Oka, cowok tengil yang terkenal paling jahil di kelas, meledek Cindy. Cindy tampak kesal.
"Kalo ini memang permainan anak di bawah umur, berarti semua anak di ruangan ini harus ikut! Masak kalah sama anak-anak di bawah umur!" Cindy memandangi satu per satu teman-temannya di ruangan itu bergantian. Di sana hanya ada tujuh anak.
"Ayok! Siapa takut! Eh, ngumpul di sini, yok! Cindy punya permainan, nih!" Oka menerima ajakan Cindy. Semua menghampiri meja Cindy. Cindy mengeluarkan segelas air mineral.