"Lex, kamu ngapain hujan-hujanan begitu?" tanya Pak Darman.
"Saya melakukan ini demi Bapak. Saya sangat menghormati sekaligus bangga punya guru seperti Pak Darman." Alex kemudian menghampiri Pak Darman dan berjongkok di hadapan Pak Darman. "Ini soto ayam hangat spesial untuk Bapak. Mohon diterima."
Pak Darman masih belum tahu apa yang sedang terjadi. Namun sejenak kemudian beliau menerima pemberian Alex sambil menepuk pundaknya.
"Apa pun maksudmu melakukan hal ini, Bapak menghargainya. Terima kasih. Tapi Bapak, kan, alergi ayam, Lex! Jadi itu buat kamu saja, ya!" Pak Darman lalu meninggalkan Alex yang sekarang melongo sendirian. Beberapa anak menertawakan kebodohannya, termasuk Dion yang menantangnya. Alex yang sudah terlanjur basah kuyup berjalan kembali ke kelas dengan menunduk malu.
"Ha-ha-ha! Rasain lo! Makanya jangan sok! Pak Darman, kan, alergi ayam! Ha-ha-ha!" Dion terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.
"Gokil lo, Dion! Ayo sekarang kita lanjutkan! Makin seru, nih!" Cindy kembali memutar musik. Gelas itu kembali bergulir dari satu tangan ke tangan yang lain. Dan musik kembali berhenti.
"Jo, giliran elo yang harus pilih truth or dare!" ucap Dion.
"Emm...gue pilih truth aja, deh." Dia membenarkan sedikit posisi kacamatanya. Jo memang seorang kutu buku yang juga seorang juara kelas. Alex, yang masih basah kuyup, melirik Jo dan siap menyuruhnya mengakui satu hal yang mungkin belum pernah didengar teman-temannya.
"Jo, gue enggak bakalan tanya siapa cewek yang lo suka atau siapa guru yang lo benci. Gue cuma pengin lo jujur, apa yang paling lo takutin di dunia ini?" Jo memang pendiam dan tidak terbiasa membagi hal-hal pribadi.
"Gue...gue..." Jo tampak terbata-bata. Itu membuat teman-temannya penasaran.
"Gue takut kehilangan nyokap." Suasana kembali hening.
"Nyokap? Memangnya nyokap lo kenapa?" tanya Amanda.