Chemistry

By Astri Soeparyono, Sabtu, 9 Agustus 2014 | 16:00 WIB
Chemistry (Astri Soeparyono)

Aku menatap hasil ulangan kimia yang terpampang di hadapanku dengan nanar. Lagi-lagi 8. Tapi ngakak. Alias 3.

            "Kok gue bego banget siih!" ratapku lirih sambil meremas rambut. "Dapet berapa, Nay?" tanya Anna sambil melirik kertas ulanganku. Aku menggeser kertas itu ke arahnya sambil menutupi wajah.

            "Hahahahahahaha!!!! Gue tahu sekarang kenapa kita bisa temenan. Ternyata kita sama, Nay. Sama-sama bego!"

            Bukannya memberi semangat atau nasihat atau yang semacam itu, ia malah menertawakanku dengan puas. Sangat puas malah.

            "Hahahahahahahadaw!"

            Sebuah penghapus yang menimpuk kepala Anna berhasil menghentikan tawanya. Aku dan Anna serentak mendongak ke depan dan menemukan Pak Gatot sedang menatap kami dengan garang. Tak ketinggalan anak-anak kelas yang terlihat menahan tawa.

            "Kamu!" Ia menunjuk Anna. "Sudah nilai hancur, sempatnya tertawa keras-keras saat pelajaran saya sedang berlangsung. Kamu juga!" Pak Gatot menunjukku. "Kalian! Ngomongin apa, hah?!"

            Pak Gatot berjalan mendekat. Sekarang ditambah gesture memelintir kumisnya yang bagai Pak Raden di serial Si Unyil. Aku menahan nafas dan melirik Anna disebelahku yang sudah tampak pucat. "Kalian berdua temui saya di kantor guru jam istirahat pertama!"

            Ugh. Bencana.

            Aku menyeruput jus jambu dingin super segar dari kantin Mak Siroh dengan rakus. Maklum, jam istirahat pertamaku dihabiskan di ruang guru bersama Pak Gatot yang menasehatiku habis-habisan. Alhasil, aku tidak sempat ke kantin dan terburu-buru masuk kelas untuk mengikuti pelajaran biologi Bu Maryam yang sebelas duabelas killernya dengan Pak Gatot.

            "Horror banget nggak sih Nay," celetuk Anna yang sama sepertiku, menyeruput jus mangganya dengan rakus.

            "Hmm..mm.." Aku hanya bergumam sambil mengaduk-aduk jus jambu yang masih seperempat. Padahal jus itu baru saja sampai di mejaku 5 menit yang lalu. "Pak Gatot tampangnya serem banget waktu ngeliatin kita. Mana pelintir kumis segala lagi," gidik Anna ngeri.

            "Kalau nggak punya kumis ya nggak bakal dipelintirlah kumisnya," sahutku asal. "Sereman waktu nasehatin kita di ruang guru kali," lanjutku.

            "Bapak nggak habis pikir sama kalian. Bapak baru saja melihat catatan nilai kimia kalian. Apa kalian benar-benar tidak suka kimia?" Pak Gatot menyodorkan nilai kimiaku dan Anna selama satu semester ini. Aku menelan ludah demi melihatnya. Yang tertinggi adalah angka 5. "Yang lebih Bapak heran, kalian sempat-sempatnya bercanda di jam saya. Kimia. Yang nilai kalian tidak pernah lebih dari 5." Sekarang Pak Gatot menatapku tajam. Aku menelan ludah lebih banyak lagi. "Bapak akan menghubungi wali kelas dan orangtua kalian. Sekarang kalian boleh keluar. Tapi, lusa kumpulkan hasil pekerjaan kalian. Latihan ulangan per bab ditambah latihan ulangan semester. Lengkap dengan cara."

 

            Bagian paling seram bukan ketika Pak Gatot bilang akan menghubungi orangtua atau ketika memberikan hukuman berupa PR setumpuk. Bagian paling seram adalah karena Pak Gatot menasehati kami dengan lemah lembut! Memang sih, salah seorang kakak kelasku pernah bercerita, Pak Gatot dulunya adalah guru yang baik. Entah apa yang membuatnya menjadi guru killer seperti sekarang. Tapi tetap saja, Pak Gatot adalah guru yang paling kubenci.

            "Udahlah nggak usah dibahas lagi. Mau ngerjain dirumah siapa? Kapan?" tanya Anna. "Hari ini langsung yuk. Dirumah gue aja gimana," tawarku. "Oke." Anna mengacungkan jempolnya tanda setuju.

            Aku menyelonjorkan kaki di sofa depan TV sambil menyendok satu cup besar es krim. Sesekali aku memejamkan mata, menikmati kelezatan es krim ini. Aku meraih remote dan mulai mengganti-ganti channel.

            "Nayla!" Suara mama menggelegar membuyarkan kenikmatanku makan es krim sambil mengganti-ganti channel TV. Mama baru saja keluar dari kamar dengan menggunakan daster dan langsung menuju ke arahku.

            "Mama dapet telepon dari sekolah." Mama mengacung-acungkan handphonenya padaku. Aku menatap Mama dan handphonenya yang teracung bergantian. "Trus?" Aku memiringkan kepala.

            "Mulai besok lusa kamu les kimia. Privat. 3 kali seminggu. Harinya terserah kamu," putus Mama tanpa tedeng aling-aling.

            Aku langsung menegakkan tubuh. Dan sebelum aku membuka mulut untuk melancarkan protes, Mama sudah berkata lagi. "Nggak ada protes. Goodnight, dear." Mama mengecup keningku lalu kembali ke kamarnya. Aku terpaku di tepi sofa, membayangkan masa SMA yang indah dirusak dengan les privat kimia 3 kali seminggu. Argh! Pak Gatot!

            Maka disinilah aku, selonjoran di sofa sambil mengutak atik handphoneku. Sesekali aku menguap dan melirik jam tangan. Sudah jam segini, tapi guru lesku belum juga datang.

            "Nayla." Mama memanggilku. Aku menoleh dan mendapati seorang gadis berkerudung berdiri disamping Mama dan tersenyum padaku. Sepertinya masih kuliah. Aku pun mendekat.

            "Kenalin ini Mbak Gita, guru les kamu. Dia masih kuliah tapi udah semester 6 Teknik Kimia. Nurut sama Mbak Gita, ya. Silakan mbak, bisa langsung dimulai lesnya," kata Mama mempersilakan

            Mama pergi. Tapi sebelum itu, ia memberi kode berupa jari telunjuk yang diayunkan disertai tatapan tajam. Artinya: jangan nakal , belajar yang bener.

            Aku mengamati Mbak Gita yang masih tersenyum padaku. Aku seperti mengenalinya. Wajahnya terlihat sangat familiar. Tapi aku tidak bisa mengingat dimana atau kapan pernah melihat wajah seperti itu.

            "Ayo Nayla, kita mulai lesnya ya. Kamu kesulitan di materi apa?" tanyanya lembut. "Emm... semua." Mbak Gita mengangguk takzim lalu mengajakku duduk. Ia membuka bukuku dan perlahan menjelaskan materi satu persatu.

            Hmm, mungkin les privat nggak seburuk itu kali, ya?

            Anna memuncratkan jus jeruknya yang baru saja diseruputnya. "Na! Jorok!" seruku sambil mengambil tisu dan mulai membersihkan meja yang terkena muncratannya.

            "Lo? Les? Privat pula? Gue yakin lo lagi bercanda." Anna menggelengkan kepala. Aku mengangkat bahu. "Nggak ngerti deh. Begitu dapet telepon dari sekolah, gue langsung dicariin guru les."

            "Tapi, serius? Lo mau aja gitu?" Anna masih terlihat heran. Aku menimpuknya dengan tisu bekas membersihkan tumpahan jeruk. "Gue pingin lihat gurunya dulu. Enak kok. Sabar banget, ngejelasin satu-satu sampai gue mudeng. Lumayan kan kalau nilai gue naik. Bisa buat ngejek Pak Gatot."

            Anna manggut-manggut mendengar penjelasanku.

            "Gue ikut dong, boleh nggak?" pintanya.

            "No! Yang ada gue nggak belajar, malah main sama lo," tolakku tegas.

            "Naaayyy, ayolaaaah. Masak lo tega sih sama gue," pintanya lagi. Kali ini ditambah raut wajah memelas dan puppy eyes. Aku menggeleng lagi sambil menyumbat kedua telingaku dengan earphone, tak peduli Anna terus menggoyang-goyangkan lenganku sambil memelas.

            Sebulan berlalu. Aku sudah akrab dengan Mbak Gita. Ia sudah seperti kakak perempuan yang tidak pernah aku punyai. Sering jam les bertambah dengan sesi curhat dadakan. Termasuk juga ketika aku menceritakan tentang Pak Gatot dan kebencianku padanya.

Nilai kimiaku mulai meningkat. Pak Gatot pun terlihat lebih bersahabat padaku. Lalu Anna? Pada akhirnya aku memang mengizinkan dia untuk les bersamaku.

            Tapi dasar Anna. Ia hanya datang 3 kali, itupun kalau kupaksa. Sisanya, ada saja alasannya untuk tidak ikut les. Aku hanya bisa menggelengkan kepala pada kelakuan sahabatku itu.

            Sudah lewat 30 menit. Mbak Gita belum menampakkan batang hidungnya. Tidak biasanya Mbak Gita terlambat seperti ini. Biasanya, ia selalu tepat waktu. Aku baru saja akan meneleponnya ketika tiba-tiba Mbak Gita muncul di hadapanku.

            "Nay, maaf ya Mbak telat. Ayo langsung mulai yuk."

            Tapi rupanya tidak hanya sekali itu saja Mbak Gita terlambat. Sudah empat kali pertemuan, ia selalu terlambat. Waktu terlambatnya bervariasi. Antara 15, 20, 30, atau 45 menit. Bahkan hari ini, Mbak Gita tidak datang. Tanpa alasan.

            Yang mengherankan, keterlambatan dan absennya Mbak Gita bersamaan dengan keterlambatan dan absennya Pak Gatot. Ada apa dengan kedua guru kimiaku itu?

            "Nay, lo mau ikut nggak?" tanya Awan tiba-tiba saat aku baru saja masuk ke kelas. "Ikut kemana?" tanyaku heran. "Lo belum denger?" Aku menggeleng, tidak mengerti apa yang dimaksud.

            "Istrinya Pak Gatot meninggal," kata Awan. Aku mendelik seketika. "Hah? Seriusan?" Awan mengangguk. "Jadi, lo mau ikut nggak?" tanya Awan lagi. Aku langsung mengangguk.

            Iring-iringan motor dan mobil siang itu membelah gang rumah Pak Gatot. Tampak bendera kuning di ujung gang. Tenda tratak juga sudah terpasang di depan sebuah rumah sederhana bercat putih dan berpagar biru.

            Aku dan teman-teman sekolahku menyeruak masuk di antara para pelayat. "Adek-adek ini cari siapa?" tanya seorang laki-laki separuh baya begitu melihat kedatangan kami. "Kami cari Pak Gatot, Pak. Kami murid-muridnya," jawab Awan. Laki-laki itu pun masuk ke dalam, sepertinya akan memanggilkan Pak Gatot.

            Aku memperhatikan rumah Pak Gatot yang sangat sederhana. Catnya sudah mengelupas disana-sini. Tidak ada eternit. Cahaya juga bisa masuk ke dalam rumah karena beberapa bagian atap bolong.

            Pak Gatot keluar dari dalam dan menyambut kami lalu mempersilakan masuk. Seorang perempuan muda berkerudung keluar sambil membawa sebaki teh panas. Tapi, tunggu. Mbak Gita?!

            "Mbak Gita?" panggilku. Perempuan itu menoleh. Benar, itu Mbak Gita. Apa yang dilakukan Mbak Gita disini? Mungkinkah Mbak Gita adalah anak Pak Gatot?

            "Kenalkan, ini Gita. Putri saya satu-satunya," kata Pak Gatot memperkenalkan Mbak Gita yang sekaligus juga mengkonfirmasi tebakanku dan memberi jawaban atas kefamiliaran wajah Mbak Gita. Ternyata aku memang sering melihatnya. Di wajah Pak Gatot. Dunia sangat sempit, bukan?

            Sementara Pak Gatot berbincang dengan temanku yang lain, Mbak Gita mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Aku pun mengikuti instruksi Mbak Gita. Rupanya aku dibawa ke dapur.

            "Mbak Gita nggak pernah bilang kalau mbak anaknya Pak Gatot?" protesku begitu sampai di dapur. Mbak Gita meletakkan telunjuk di bibirnya. Dan mengalirlah cerita yang mendasari semua hal ini.

            Memang benar, Pak Gatot dulunya bukan seorang guru yang killer. Ia malah termasuk guru yang banyak disukai murid. Tapi semenjak istrinya-atau ibunya Mbak Gita-sakit kanker setahun yang lalu, perangai Pak Gatot pun berubah. Ia bekerja sangat keras untuk membiayai pengobatan sekaligus kuliah Mbak Gita, walaupun Mbak Gita juga sudah bekerja dengan rajin mengirimkan tulisannya ke media. Rasa lelahnya terbawa ke kelas sehingga ia menjadi sering marah-marah. Melekatlah predikat guru killer itu.

            Lalu apa yang membawa Mbak Gita padaku? Kata Mbak Gita, malam itu ia mendengar pembicaraan Pak Gatot dengan Mama di telepon. Tanpa memberitahu Pak Gatot, Mbak Gita mencatat nomor telepon Mama dan menawarkan bantuan sebagai guru lesku. Mbak Gita melakukan hal itu dengan maksud meringankan beban Pak Gatot.

            Cerita Mbak Gita juga sekaligus menjawab keterlambatan dan ketidakhadiran Mbak Gita dan Pak Gatot dalam waktu bersamaan. Mereka saat itu dirumah sakit, berdua menghadapi keadaan kritis.

Dan sempat-sempatnya aku berpikir menjadikan hasil lesku sebagai alat untuk mengejek Pak Gatot? Seluruh kebencianku kepada Pak Gatot menguap seketika demi mendengar cerita dari Mbak Gita.

"Nayla jangan benci lagi ya, sama Pak Gatot." Mbak Gita memelukku. Kami berdua kembali ke ruang tamu. Aku langsung menghampiri Pak Gatot dan mencium tangannya. "Maafkan saya, Pak," bisikku lirih. Pak Gatot menepuk-nepuk kepalaku sambil menyunggingkan senyum.

Tahukah kalian pelajaran apa yang kudapat hari ini?

Tidak semua yang tampak di permukaan adalah benar-benar seperti yang terlihat. Selami hal hingga sampai ke dalam. Mungkin kamu akan menemukan fakta yang merendahkan hatimu.

(Oleh: Mutia Rahmania, foto: giphy.com)