"Ke, kamu dukung siapa di pemilihan Ketua OSIS nanti?" tanya Melisa.
Ike tersenyum. Ike tahu, Melisa pasti memilih Andre yang satu kelas dengannya. Andre yang terkenal ganteng, tinggi, dan anak dari seorang dokter bedah terkemuka, merupakan salah satu kandidat Ketua OSIS. Kandidat lainnya adalah Fahri dan Adnan.
"Jangan-jangan kamu dukung Fahri, ya?" tebak Melisa. "Karena Fahri satu kelas dengamu."
"Siapapun yang akan jadi Ketua OSIS nanti, enggak masalah buatku," jawab Ike. "Ini enggak seperti pemilu presiden."
Karena jam istirahat hampir habis, mereka berdua mengakhiri obrolan dan berpisah. Ike dan Melisa kembali ke kelas masing-masing.
Di kelas Ike, Fika dan empat orang temannnya sedang berkerumun, membicarakan dukungan mereka kepada Andre untuk menjadi Ketua OSIS. Fika memamerkan poster yang memuat gambar Andre yang besar, juga program-programnya (yang kelihatan minor jika dibanding dengan ukuran gambar wajah Andre). Poster itu ada sekitar selusin dan full color. Fika kelihatan bangga sekali dengan poster buatannya itu. Seluruh sekolah tahu bahwa Fika naksir berat pada Andre. Meskipun Fika satu kelas dengan Fahri namun ia jelas akan beri dukungan pada Andre.
Di sudut lain kelas, Fahri tampak tidak peduli melihat teman satu kelasnya terang-terangan berkampanye untuk kandidat dari kelas lain. Menurut Ike sendiri, Fahri bukanlah kandidat Ketua OSIS yang populer. Secara tampilan fisik, jelas dia kalah ganteng dari Andre. Hal yang menonjol dari Fahri adalah keaktifannya berbicara, baik di dalam kelas maupun di organisasi yang diikutinya. Fahri terkenal vokal dan selalu menikmati saat-saat sedang berbicara di depan umum.
Pada awalnya, banyak yang kagum pada Fahri, namun lama kelamaan, Fahri menjadi sosok yang membosankan. Dia gemar beropini tanpa isi. Fahri lebih sering bicara berputar-putar, termasuk saat berpidato di acara debat antar kandidat Ketua OSIS. Fahri berbicara dua puluh menit lebih lama dibanding dua kandidat lain dan murid-murid yang menonton tampak tidak tertarik.
Tidak ada cewek yang naksir Fahri. Teman-teman cowok pun makin lama makin menjauhinya, kecuali Yudha dan Handri yang juga adalah teman baik Ike, yang masih sering ngobrol dengan Fahri. Kelihatannya Fahri mulai menyadari bahwa teman-teman menjauhinya. Mungkin karena itu, belakangan Fahri terlihat murung. Sepanjang hari ini, ia terus menunduk menatap mejanya dengan ekspresi sendu. Ike ingin mendekat dan menanyakan sebabnya, tapi keduluan oleh Handri.
"Apa bacanya, Ri?" tanya Handri menunjuk tulisan di meja Fahri.
"Tukang eksis," jawab Fahri. "Sudah biasa, kok. Ada yang diam-diam menulis semacam ini di mejaku," kata Fahri lagi.
"Menurutku ini keterlaluan, seenaknya nulis-nulis ejekan di meja orang lain," ujar Handri. Ia lalu menoleh ke arah Ike, "Kamu tahu ini tulisan siapa, Ke?"