Dialah Graha

By Astri Soeparyono, Sabtu, 10 Mei 2014 | 16:00 WIB
Dialah Graha (Astri Soeparyono)

            Anak kelas biasa memanggilku Bunda Niar, karena sifatku yang meskipun ceria tapi juga terkadang keibuan. Makanya anak-anak sering cerita banyak padaku. Mungkin aku memang tidak bisa memberi nasihat 'super' ala Mario Teguh , tapi aku selalu berusaha mejadi pendengar yang baik.

            Begitu juga Graha. Entah kenapa kita jadi menjalin pertemanan yang aneh. Terkadang dia juga cerita tentang masalah pribadinya. Masalah-masalah paling sepele dalam hidupnya pun terkadang juga dia ceritakan. Tapi memang sepertinya tidak ada masalah besar, sih, di hidupnya kalau dilihat dari ekspresinya yang selalu tenang.

            Dia takut kuda. Gara-gara waktu kecil dia pernah melihat kuda yang sedang menarik delman tiba-tiba kalap dan kabur. Bahkan kadang dia juga bercerita tentang perkembangan kota yang dia bangun di The Sims. Benar-benar, penampilan itu bukan patokan. Aku belajar itu dari Graha.

            Suatu saat akulah yang curhat padanya. "Kenapa, sih, orang selalu menilai penampilan lebih dulu?." Aku sering mendapati orang merendahkanku di pertemuan pertama. "Enggak adil," lanjutku.

            Graha hanya melirikku. "Kita kan bukan peramal yang bisa menilai orang hanya dari garis tangan mereka atau psikolog yang bisa menilai lewat cara orang berjalan," ucapnya. "Di pertemuan pertama kita hanya bisa menilai melalui apa yang kita lihat, baru saat kita sudah mulai mengenal, kita bisa menilai melalui rasa," jelasnya. Kalem, tapi mengena.

            Sejujurnya, aku merasa tersihir saat itu. Aku diet setelahnya, bukan karena aku ingin 'tampil' di depan siapa pun. Aku diet untuk kebaikanku sendiri. Bukan karena ejekan teman, atau suruhan ahli gizi. Lagipula, tidak ada salahnya untuk diet sehat, semua orang tahu, kan, kalau obesitas lebih beresiko terkena penyakit yang menyeramkan.

            Walaupun jujur, saat menjalani diet yang kupikirkan adalah Graha. Entah kenapa. Dan aku menjalani diet dengan fun. Dan aku, sekali lagi aku, menikmati olahraga dan menghindari gorengan.

            Aku mungkin sudah gila.

            Setelah itu bukan Graha lagi yang memberiku makanan, tapi akulah yang membagi bekalku dengannya. Agar kaloriku tidak berlebih. Dia menerima tanpa banyak tanya. Khas Graha.

            Hingga beratku turun dari 68 menjadi 55 dalam 5 bulan. Belum bisa disebut langsing memang, tapi aku mulai berhenti berdiet super ketat dari situ.

            Aku memang ingin berhenti menjadi gemuk, tapi bukan berarti aku mau memulai jadi anoreksia.

            "Thanks ya, Ha," bisikku suatu hari pada wajah tidurnya di tengah pelajaran.

***

Kembali ke saat ini, ke tempatku terjatuh.

            Aku menatapnya. Tanpa takut.

            Graha balas menatapku masih dengan ekspresi itu. Perlahan dia berdeham sambil memandang cepat ke sana ke mari. Dia tersipu. Aku tahu.

            Saat Graha mulai berbalik sambil bergumam tidak jelas, aku mulai tertawa. "Graha, aku suka kamu," ucapku lebih keras. "Kalau kamu masih tetap sok enggak dengar apa-apa, aku akan berteriak lebih keras."

            Seharusnya sih dia enggak perlu takut. Tidak ada siapa-siapa lagi di lapangan basket ini.

            "Graha!" aku memulai ancamanku. "Aku...."

            Dia berbalik dengan cepat dan menghampiriku dengan tampang gusarnya yang sedikit, sedikit sekali, memerah.

            "Aku tahu," ucapnya. Membuatku tersenyum. "Aku tahu, aku dengar, dan aku juga menyukaimu, jadi...." dia meletakkan telunjuknya di bibir, lalu tersenyum dengan senyumnya yang langka. "Diamlah." Dan dia menarik tanganku untuk mengikutinya.

            Dialah Graha.

(Oleh: Retno Wulandari, foto: weheartit)