Dialah Graha

By Astri Soeparyono, Sabtu, 10 Mei 2014 | 16:00 WIB
Dialah Graha (Astri Soeparyono)

Apakah langit pernah sebiru ini?

            Kurasa tidak.

            Karena sekarang aku sedang menghadap langit dalam posisi yang membuat waktuku berhenti. Tidak. Bukan hanya waktuku, tapi juga jantungku dan deru napasku. Karena satu alasan.

            Ada wajahnya menghiasi langit yang jernih itu.

            Oke. Aku bukannya sedang membual atau apa. Sebelumnya saat aku melihat adegan seperti ini di film-film remaja dengan efek slowmotion dan efek-efek dramatis lainnya, aku juga hanya akan mencibir dan berpikir: khayal!

            Tapi percayalah saat kalian mengalaminya sendiri, saat ada tangan yang menahan pinggangmu sebelum kau sempat terjatuh, yang ada di pikiranmu hanya akan ada: Oh God! Dan setelah itu kau akan merasa menjadi seorang putri yang diselamatkan oleh pangeran berkuda putih.

            Yeah, itu kalau aku melupakan kenyataan bahwa pangeranku sebenarnya phobia kuda dan dia sekarang sedang mengernyit super kesal.

            Maksudku, mana ada, kan, pangeran yang menolong putrinya dengan mulut cemberut dan kening berkerut?

            Kini waktuku yang sempat berhenti sepersekian detik itu sudah kembali berputar saat sang pangeran ber-jeans belel kehilangan keseimbangannya dan malah ikut terjatuh denganku. Dia mengumpat kesal sambil melotot judes ke arahku, lalu bangkit berdiri tanpa menanyakan bagaimana keadaanku.

            Bukan salahnya. Aku sendiri juga hanya khawatir apa tangannya mengalami

dislokasi, atau minimal terkilir.

            "Graha !" panggilku. Dia berbalik malas-malasan dan menatapku dengan tatapan terusiknya yang sudah kuhapal.

            Aku menatapnya. Angin kecil meniup rambutnya yang sedikit gondrong, dan alisnya masih setia mengernyit.

            Lihat saja, setelah ini aku pasti bisa mengubah raut bosan itu.

            "Aku menyukaimu," ucapku. Finally.

            Alisnya yang terbiasa tertekuk, perlahan naik ke atas dan dengan mata yang terbuka lebih dari biasanya, dia balas menatapku. Mulutnya yang cemberut kini terbuka sedikit.

            Nah, kan. Apa kataku.

***

            Jutek. Murung. Berwajah kriminal. Rambut melebihi batas telinga. Alih-alih celana abu-abu, dia malah pakai celana jeans belel ke sekolah. Bukannya bikin dia kelihatan keren, malah bikin dia nyaris seperti gembel.

            Awalnya, seperti anak-anak lain, aku takut padanya.

            Siapa, sih, yang mau dekat-dekat anak antisosial seperti Graha? Yang kutakutkan, sih, hanya nanti aku dikira sejenis sama dia.

            Ya Tuhan, tapi dia malah duduk di sebelahku waktu tahun ajaran baru dimulai.

            Dan sialnya, dari dekat dia semakin seram.

            Waktu itu adalah saat jam istirahat, aku baru saja ke kantin dengan teman-teman baruku. Tapi karena jaim, aku cuma makan separo dari porsi normalku (yang berarti porsi 'kelewatan' buat cewek normal). Lalu aku menyelinap kembali ke kelas selagi teman-temanku masih di kantin setelah sebelumnya aku sempat beli donat di koperasi siswa.

            Oke. Aku makan dengan cara nyaris persis bangsa Ethiopia yang habis terkena bencana kelaparan parah.

            Di sebelahku, aku baru sadar Graha menatapku dengan sandwich yang berhenti di tengah jalan menuju mulutnya.

            Aku balas meliriknya takut-takut. Lord, save me... aku berdoa  dalam hati. Kenapa dia kelihatan kesal sekali, sih? Aku salah apa?

            Aku menatap ke sekitarku dengan bingung, persis anak cupu yang mati kutu. Apa aku tanpa sadar berbuat salah? Kakiku nginjak kotoran kucing dan baunya menyebar, misalnya.

            Tiba-tiba dia berdiri di sebelah bangkuku dan meletakkan sandwichnya yang masih utuh di atas mejaku.

            "Enggak kamu makan?" tanyaku tanpa berani menatapnya.

            "Enggak. Lihat caramu makan aja udah bikin aku kekenyangan," jawabnya, lalu beranjak pergi.

            Apa? Apa maksudnya, tuh? Sialan.

            Tapi setelah sandwich itu melewati kerongkonganku, baru aku terpikirkan suatu kemungkinan. Apa dia kasihan melihatku kelaparan?

***

            Manis. Innocent. Mirip anak anjing malah. Itulah pendapatku tentang Graha setelah sekitar sebulan mengenalnya. Dia juga jadi pemalu saat dia merasa senang. Misalkan saat aku memujinya , atau bahkan hanya karena aku mengucapkan terima kasih setelah dia membantuku sesuatu.

            Lucu. Graha itu.

            Anak kelas biasa memanggilku Bunda Niar, karena sifatku yang meskipun ceria tapi juga terkadang keibuan. Makanya anak-anak sering cerita banyak padaku. Mungkin aku memang tidak bisa memberi nasihat 'super' ala Mario Teguh , tapi aku selalu berusaha mejadi pendengar yang baik.

            Begitu juga Graha. Entah kenapa kita jadi menjalin pertemanan yang aneh. Terkadang dia juga cerita tentang masalah pribadinya. Masalah-masalah paling sepele dalam hidupnya pun terkadang juga dia ceritakan. Tapi memang sepertinya tidak ada masalah besar, sih, di hidupnya kalau dilihat dari ekspresinya yang selalu tenang.

            Dia takut kuda. Gara-gara waktu kecil dia pernah melihat kuda yang sedang menarik delman tiba-tiba kalap dan kabur. Bahkan kadang dia juga bercerita tentang perkembangan kota yang dia bangun di The Sims. Benar-benar, penampilan itu bukan patokan. Aku belajar itu dari Graha.

            Suatu saat akulah yang curhat padanya. "Kenapa, sih, orang selalu menilai penampilan lebih dulu?." Aku sering mendapati orang merendahkanku di pertemuan pertama. "Enggak adil," lanjutku.

            Graha hanya melirikku. "Kita kan bukan peramal yang bisa menilai orang hanya dari garis tangan mereka atau psikolog yang bisa menilai lewat cara orang berjalan," ucapnya. "Di pertemuan pertama kita hanya bisa menilai melalui apa yang kita lihat, baru saat kita sudah mulai mengenal, kita bisa menilai melalui rasa," jelasnya. Kalem, tapi mengena.

            Sejujurnya, aku merasa tersihir saat itu. Aku diet setelahnya, bukan karena aku ingin 'tampil' di depan siapa pun. Aku diet untuk kebaikanku sendiri. Bukan karena ejekan teman, atau suruhan ahli gizi. Lagipula, tidak ada salahnya untuk diet sehat, semua orang tahu, kan, kalau obesitas lebih beresiko terkena penyakit yang menyeramkan.

            Walaupun jujur, saat menjalani diet yang kupikirkan adalah Graha. Entah kenapa. Dan aku menjalani diet dengan fun. Dan aku, sekali lagi aku, menikmati olahraga dan menghindari gorengan.

            Aku mungkin sudah gila.

            Setelah itu bukan Graha lagi yang memberiku makanan, tapi akulah yang membagi bekalku dengannya. Agar kaloriku tidak berlebih. Dia menerima tanpa banyak tanya. Khas Graha.

            Hingga beratku turun dari 68 menjadi 55 dalam 5 bulan. Belum bisa disebut langsing memang, tapi aku mulai berhenti berdiet super ketat dari situ.

            Aku memang ingin berhenti menjadi gemuk, tapi bukan berarti aku mau memulai jadi anoreksia.

            "Thanks ya, Ha," bisikku suatu hari pada wajah tidurnya di tengah pelajaran.

***

Kembali ke saat ini, ke tempatku terjatuh.

            Aku menatapnya. Tanpa takut.

            Graha balas menatapku masih dengan ekspresi itu. Perlahan dia berdeham sambil memandang cepat ke sana ke mari. Dia tersipu. Aku tahu.

            Saat Graha mulai berbalik sambil bergumam tidak jelas, aku mulai tertawa. "Graha, aku suka kamu," ucapku lebih keras. "Kalau kamu masih tetap sok enggak dengar apa-apa, aku akan berteriak lebih keras."

            Seharusnya sih dia enggak perlu takut. Tidak ada siapa-siapa lagi di lapangan basket ini.

            "Graha!" aku memulai ancamanku. "Aku...."

            Dia berbalik dengan cepat dan menghampiriku dengan tampang gusarnya yang sedikit, sedikit sekali, memerah.

            "Aku tahu," ucapnya. Membuatku tersenyum. "Aku tahu, aku dengar, dan aku juga menyukaimu, jadi...." dia meletakkan telunjuknya di bibir, lalu tersenyum dengan senyumnya yang langka. "Diamlah." Dan dia menarik tanganku untuk mengikutinya.

            Dialah Graha.

(Oleh: Retno Wulandari, foto: weheartit)