Gundulisme

By Astri Soeparyono, Sabtu, 15 Maret 2014 | 16:00 WIB
Gundulisme (Astri Soeparyono)

Djeger!! Berita yang baru keluar dari mulut Ita, si kutu gosip SMA 1 itu serupa gelegar petir yang menyambar telinga tiap orang. Kilatannya membawa sebuah tanda tanya besar yang membuat tiap orang menjelma hantu penasaran. Semua berpikir ulang, mengkaji, menelaah antara harus percaya atau tidak pada berita ini. Ini sungguh berita yang tidak mungkin terjadi, but impossible is nothing. Tidak ada yang tidak mungkin bukan di bumi tercinta ini. Apalagi selama ini keakuratan berita yang disampaikan oleh Ita tidak diragukan lagi. Sembilan puluh persen berita darinya selalu benar. Tak heran bila julukan si Kutu Gosip melekat padanya. Sepertinya Ita memang punya bakat alami untuk menangkap sinyal-sinyal berita bahkan dari radius beratus kilometer. Yah...terbukti dengan kupingnya yang lebar, di atas normal.

"Kalian tahu...kemarin sore gue lewat depan rumah si Sya. Dan lu semua bakal terkejut setengah mampus dengan apa yang gue liat," Ita menciptakan jeda, memanggil hawa penasaran untuk menyelimuti kelas IPA 3.  Ya...si kutu gosip ini selalu berhasil menarik perhatian orang-orang. Kali ini tak kurang dari tiga puluh anak mengerumuninya. Mereka rela berdesakan pagi itu demi mendengar gosip teranyar. Apalagi menyangkut Sya.

"Apa yang lu liat, Ta?" seru seorang cowok berkaca mata dengan raut was-was. Ita tersenyum semisterius lukisan Monalisa. Menarik napas sejenak lalu melanjutkan kata-katanya.

"Gue...gue...melihat...gue melihat...kepala...Sya...kepala Sya...." Semua anak bergidik. Bertanya-tanya apa yang terjadi dengan kepala Sya. Apa kepalanya tumbuh ular-ular seperti dalam film hantu? Atau kepalanya berubah bentuk menjadi kotak?

"Kepala Sya...kepala Sya...GUNDUL! PLONTOS! TAK ADA SEHELAI RAMBUT PUN! PLONTOS!! G...U...N...D...U...L."  Suara Ita yang bernada pemain opera melengking-lengking seantero kelas, cicak yang diam-diam merayap di dinding terpeleset, nyamuk yang dari tadi asyik ngeden segera menghentikan aktivitasnya yang menjijikkan. Cowok-cowok menjerit histeris dengan nada sumbang. Sedangkan kaum hawa menganga lebar, selebar mulut Gua Maharani.

"Eh Ta...lu jangan sembarangan, ya!! Enggak mungkinlah Sya gundul. Orang potong pendek aja dia enggak pernah! Bahkan kemarin dia baru aja lolos casting iklan shampo! Jangan asal ngomong, deh, lu! Sya itu sayang banget sama rambutnya!" labrak Sharen. Tak terima jika Sya, ketua Gank Cimut tempatnya bernaung digosipkan seperti itu.

"Ee...jangan nyolot gitu, dong. Liat aja nanti kalau enggak percaya," tantang Ita sangat percaya diri. Dia sudah melihat dengan dua bola matanya kalau Sya gundul. Tidak mungkin salah.

"Oke! Siapa takut!" Sharen menantang balik. Tak mau kalah.

Semenit kemudian gerbang sekolah dipenuhi oleh ratusan siswa. Rupanya kecepatan virus gosip mengungguli kecepatan pesawat ulang-alik NASA. Virus itu terus menginfeksi dari mulut satu ke mulut lain. Dan beginilah hasilnya. Lapangan penuh sesak oleh muka-muka penasaran.

Pak Tris, kepala sekolah SMA 1, tampak bingung. Berkali-kali mengamati kalender di mejanya. Kenapa banyak siswa di lapangan. Apakah ini hari Senin? Perasaan hari ini tanggal 28 Januari, yang artinya sekarang hari Rabu. Tapi kenapa ramai begini? Apa ada upacara Hari Kartini? Atau tujuh belas Agustus? Agh! Tak tahan oleh kebingungannya. Pak kepala sekolah itu akhirnya bertanya. Bijaksana sungguh. Malu bertanya sesat di jalan, bukankah begitu kata pepatah. Kebetulan yang ditanya adalah si Kutu Gosip. Ita segera menyampaikan perihal keramaian itu kepada Pak Tris dengan bahasa yang mengalir renyah. Ita lihai sekali kalau menyampaikan gosip. Setelah mengetahui apa yang terjadi, dengan gagah Pak Tris menuju lapangan. Bukan untuk menegur para siswanya tapi ikut bergabung dengan mereka menyalurkan rasa penasarannya yang mencapai level tertinggi. Hey!!Kepala sekolah juga manusia bukan?! Jadi enggak usah melongo dan menganggap semua ini tidak masuk akal.

Lima menit kemudian, datanglah apa yang sedang ditunggu-tunggu. Mobil Avanza hitam. Mobil Sya. Suasana sungguh hening. Sepertinya semua orang lupa berkedip, mungkin mereka juga lupa bernapas. Mereka tak ingin melewatkan momen sakral seperti ini. Semua berdesak-desakan ingin mendapat tempat terdepan, termasuk Pak Tris.

Akhirnya keluarlah sesosok cewek yang membuat semua orang penasaran. Pelan-pelan cewek itu turun dari mobilnya. Kulitnya putih, ramping, dan tas biru menandakan kalau itu memang benar-benar Sya. Tapi what the hell? Kepalanya gundul! Plontos! Botak! Bald! Atau apa pun sebutannya. Yang jelas tak satu pun rambut di sana. Licin selicin es. Semut pun akan terpeleset bila berjalan di sana. Sya berjalan dengan cuek. Meskipun terlihat sudah mengantisipasi hal-hal yang ada di hadapannya ini, kening Sya sedikit berkerut. Semua ini melebihi perkiraannya. Hampir semua orang berkumpul menyaksikan pertunjukan kepala gundulnya sekarang. Dan semuanya berteriak histeris dan hampir semua mulut menganga lebar. Sasaran empuk buat lalat-lalat untuk bermain-main di sana.

"Sya...lu...kepala lu...itu...kenapa...kepala...itu...gundul...?" Sharen mendadak gagap. Suasana berubah menjadi gegap gempita. Semua orang berkomentar.

"Ha-ha-ha.... Si Sya kayak tuyul, tuh!!"

"Eh...jangan-jangan Sya sekarang sudah jadi Bikuni. Iya...plontos gitu."

"Apa Sya kena kanker, ya. Trus kemoterapi. Jadinya gundul gitu. Ah! Tapi enggak mungkin secepat itu. Kemarin rambutnya masih ada, kok. Kayak model iklan shampo malah."

"Aneh banget kepalanya. Kayak telur Dinosaurus."

"Eh...kayak Alien aja, tuh, si Sya."

Suasana semakin heboh dan tak terkendali. Tapi Sya tetap memasang wajah cueknya.

"Sudah! Sudah sana masuk kelas!!" suara keras Pak Tris disambut teriakan huuu panjang dari anak-anak. Pak Tris pun melangkahkan kaki ke kelas. Tapi disempatkannya satu kali lagi untuk mengamati kepala gundul Sya.

"Hmm...licin sekali...." gumamnya dalam hati.

                                                                        * * *

Beragam reaksi, bermacam opini. Kebanyakan mengusung kubu negatif. Kontra gundulisme. Tapi Sya tidak peduli. Kegundulan ini pilihannya. Kegundulan ini akan membuktikan. Akan menjawab pertanyaan Sya selama ini.

Sebelum ini, Sya adalah cewek nomor satu di sekolah. Dia tajir, trendi, cantik, pintar dan tentu saja terkenal. Dan kini Sya rela menanggalkan semuanya demi satu misi terselubung. Parfum-parfum Parisnya telah ia tukar dengan baby colone, sepatu high heels ia pensiunkan dan digantikan oleh sebuah sepatu kanvas butut yang ia beli di pasar loak, rok mininya ia gusur dan ia ganti dengan jeans-jeans belel. Sya telah membalik dirinya 180 derajat. Mahkota cewek populer di sekolah dengan senang hati dia lepas. Sya juga kehilangan para fansnya. Cowok-cowok yang mengantri untuk jadi pacarnya, teman-teman macam Shiren semua bubar karena kepalanya yang gundul.

"Sori Sya, dengan ini lu resmi dipecat dari Gank Cimot," kata Shiren dengan air mukanya yang sombong. Selembar amplop putih ia serahkan pada Sya.

"Apa ini?" tanya Sya tak mengerti.

"Itu surat resmi pemecatan lu."

"Hah?" dengan malas Sya membaca surat yang diserahkan Shiren.

Surabaya, 28 Januari 2013

 

Dengan ini, kami selaku Gank Cimot yang cantik jelita, terkenal dan imut-imut. Setelah menimbang, memilah dan mengkaji, memutuskan untuk memecat Saudari Sya dari Gank Cimot dikarenakan melanggar pasal 9 Perundangan Gank Cimot yakni berambut indah, hitam berkilau dan bebas kutu.

Demikian surat pemecatan dari kami. Harap maklum.

Ketua

Shiren

"Busyet! Enggak penting amat nih orang! Sekarang gue tau siapa lu sebenarnya, Ren!" Sya ngedumel dalam hati. Dirobeknya surat pemecatan enggak penting itu menjadi 1000 bagian tak simetris. Lalu dengan semena-mena dilemparkannya ke kepala Shiren.

"Lu kira gue butuh temen-temen kayak lu! Sama sekali enggak!!" teriak Sya. Shiren cuma terbengong-bengong meratapi rambutnya yang sekarang penuh sobekan kertas.

Sya memang tidak lagi peduli dengan teman-teman macam Shiren. Bagi mereka teman adalah orang yang bisa mereka ajak ke mal, yang bisa nemenin mereka ke salon, atau yang bisa nebengin mereka mobil mewah ke sekolah. Definisi dangkal yang baru Sya sadari. Dan Sya sama sekali tidak bersedih kehilangan teman-teman macam Shiren. Sya sudah mengantisipasi semua ini sebelumnya. Tapi satu yang tak sesuai dengan perkiraannya. Namanya Indra. Ketua futsal, pimpinan redaksi majalah sekolah dan ketua kelas. Satu-satunya cowok yang ditaksir Sya sekaligus satu-satunya cowok yang menolaknya. Selama ini Sya sudah mengerahkan segala daya dan upaya untuk menarik hati Indra. Tapi semuanya sia-sia. Secantik apa pun Sya berdandan, seterkenal apa pun merk sepatu Sya, segiat apa pun Sya merayunya. Indra tetap bergeming. Dingin sedingin es. Indra benar-benar cowok aneh yang menyimpang dari standar manusia. Ya...di saat semua orang pergi menjauhi Sya karena gundulismenya, cowok satu ini malah menunjukkan sikap ajaib.

Kejadiannya berawal dari kantin. Saat itu jam istirahat pertama. Sya duduk sendirian di pojok. Pertama kali menikmati kesunyian dan kesendiriannya. Biasanya Shiren dan gank Cimotnya selalu mengoceh Beo. Sya memejamkan matanya, merasakan angin menari menyapa kulitnya. Saat ia membuka mata tiba-tiba saja Indra sudah di hadapannya. Melihatnya. Atau tepatnya melihat kepala gundulnya. Sya jelas tak siap. Jantungnya tiba-tiba saja melompat tak karuan. Ia seperti melayang. Sya merasakan bahagia dan malu bersamaan. Apa kata Indra tentang kepalanya yang gundul ini?

"Sya...."

"Indra...."

"Lu kelihatan cantik dengan penampilan baru lu Sya." What? Cantik? Gue? Indra, lu pasti abis minum obat flu terus ngantuk jadi enggak bisa ngebedain mana bidadari mana tuyul. Apa gue yang berhalusinasi, ya? Sya ngedumel dalam hati.

"Maksud lu?" akhirnya hanya kata-kata itu yang keluar dari bibir Sya.

"Gue lebih suka penampilan lu yang sekarang. Lu berani beda Sya."

"Apa? Coba lu ulangi sekali lagi? Kuping gue sepertinya bermasalah gitu?" kata Sya sambil mengorek-ngorek telinganya dengan jari kelingking.

"Gue lebih suka penampilan lu yang sekarang. Lu berani beda Sya," ulang Indra dengan ekspresi yang sulit sekali diartikan oleh Sya. Entah itu ekspresi jujur, tulus atau ekspresi mengolok.

"Ndra, lu pasti lagi ngerjain gue, ya?"

"Sya...." kata Indra sambil menatap tajam mata Sya. Seketika itu waktu seperti berhenti berdetak. Betapa Sya ingin mengkristalkan momen mewah itu.

"Gue nggak ngerti gimana labirin otak lu itu. Hampir semua temen-temen gue ngejauhin gue, enggak mau lagi jalan bareng gue karena malu dengan kepala gue, malu dengan sepatu butut gue. Dan lu...yang slama ini menolak gue mentah-mentah adalah satu-satunya orang yang bilang gue lebih cantik dengan kepala gundul gue ini."

"Lu tau Sya, kenapa gue selama ini enggak meduliin lu, dingin sama lu. Karena gue enggak suka cewek yang cuma mentingin penampilan fisiknya doang. Yang ngebuang duit jutaan cuma demi perawatan di salon atau buat beli merk-merk terkenal padahal masih sangat banyak anak-anak yang harus ngemis demi mengganjal perut. Padahal, apa, sih, gunanya penampilan fisik bila hati kita nyatanya busuk!"

"Gue emang enggak pernah ngerti jalan pikiran lu, Ndra."

"Gue juga enggak ngerti jalan pikiran lu, Sya. Kenapa lu memangkas rambut lu? Bukankah selama ini lu sayang banget sama mahkota lu itu?"

"Gue cuma mau ngelihat siapa yang bener-bener tulus temenan sama gue. Siapa yang bener-bener sayang sama gue. Gue bosan, Ndra, dengan semua kepalsuan yang ada di hadapan gue selama ini."

"Lu ternyata aneh, ya, Sya. Lebih aneh dari gue. Ngerelain semua yang lu punya cuma demi ngebuktiin siapa yang benar-benar tulus sama lu" Sya cuma tersenyum. Senyum yang tetap manis meski kepalanya gundul.

"Eh...lu juga aneh. Masa muka kayak tuyul begini lu bilang cantik," canda Sya sambil mengelus-elus kepalanya

"Tuyul? Itu lu yang bilang, lho!! Ha-ha-ha. Tapi mirip juga, sih!!"

"Enak aja lu. Gundul-gundul begini gue tetep cantik lagi."

"Eh, Sya. Tapi gue punya lagu yang cocok banget buat lu."

"What?"

"Gundul-gundul pacul...tempelengan...ha-ha-ha," Sya dan Indrapun tertawa serenyah kerupuk. Pertama kalinya sejak mereka kenal. Dan pertama kalinya menjadi kedua, ketiga keempat dan terus berlanjut dan tak tahu sampai berapa.

Senin pagi warga SMA 1 kembali heboh. Kali ini semua megap-megap kena serangan jantung gara-gara Indra nembak si kepala gundul, Sya, saat upacara.

"Sya, Ich liebi dich. Ana behibak. Aishiteru," Indra mengungkapkan cintanya dengan berbagai bahasa.

"Maukah kamu jadi pacarku, Sya?" lanjut Indra. Kata-kata itu adalah kata yang telah lama ditunggu Sya dari mulut seorang Indra. Tanpa pikir panjang Sya mengangguk syahdu. Resmilah mereka sebagai pasangan. Cewek-cewek yang naksir Indra memdadak asma, tak siap kalah saing dengan seorang berkepala gundul. Tapi semua itu bukan apa-apa. Kehebohan lebih dashyat terjadi pada hari Rabu pagi. Dua orang gundul, bergandengan tangan, dengan santai melangkahkan kakinya. Kepala mereka berkilat-kilat ditimpa sinar matahari pagi. Tak kurang lima belas orang pingsan, sepuluh kesurupan, tujuh orang gejala stres melihat pemandangan ini. Dua orang yang bikin heboh itu adalah Indra dan Sya. Harmonis dalam satu payung bernama GUNDULISME.

(Oleh: Lucia DE, foto: urbanbushbabes.com)