Saat mereka berdua sampai tidak jauh dari rumah Bintang, mereka menangkap pemandangan yang ganjil. Banyak orang berkeliaran di depan rumah Bintang. Mereka semua memakai pakaian serba hitam. Dan kertas kuning berkibar di tiang samping rumah Bintang.
"Permisi, Bintangnya ada?" tanya Ica hati-hati kepada seorang perempuan setengah baya yang sedang menangis tersedu-sedu.
"Kalian berdua temannya Bintang?" tanya perempuan itu lirih.
"Iya," Rere yang menjawab.
"Siapa di antara kalian berdua yang bernama Ica?" tanya perempuan itu lagi.
"Saya..." jawab Ica hati-hati. Entah mengapa dia merasakan firasat buruk.
"Ini," perempuan itu memberinya sebuah surat. "Surat dari Bintang untuk kamu."
Ica memandang Rere sesaat, lalu pandangannya kini beralih lagi ke surat yang sekarang berada di tangannya. Dibukanya surat itu dan dibacanya tulisan yang berada di dalamnya.
Dear Ica...
Ca, sebelum lo meneruskan membaca surat ini gue mohon sama lo. Lo sama sekali enggak boleh nangis. Gue mau lo tertawa, karena gue lebih suka ngeliat lo tertawa.
Ca, sebenarnya selama ini ada sebuah rahasia besar yang gue sembunyiin dari lo dan yang lainnya. Gue mengidap penyakit leukimia semenjak umur gue 11 tahun. Nyokap bokap gue enggak terima, mereka segera mengajak gue pergi ke Singapura untuk melakukan pengobatan yang menurut mereka yang terbaik dan melanjutkan sekolah gue di sana.
Gue capek melakukan berbagai macam pengobatan, pasti akhirnya gue enggak bakalan hidup lama. Dan akhirnya gue memilih untuk menyerah. Gue memilih untuk menerima apa adanya takdir gue.
Gue balik ke Indonesia dengan sejuta harapan, mungkin aja ada keajaiban besar yang diberikan Tuhan buat gue. Gue enggak mau dikasihani sama orang. Gue jadi pendiem, sok tegar, jutek dan enggak mau bergaul sama orang. Itu semua karena seseorang yang dulunya gue anggep sebagai sahabat. Dia mau berteman sama gue hanya karena kasihan dan mau memanfaatkan keadaan gue ini.
Sejak saat itu gue mulai enggak percaya dengan yang namanya 'teman.' Makanya waktu pertama kali kita kenalan, gue jutek sama lo. Tapi saat melihat kesungguhan lo mau berteman sama gue apa adanya gue mulai merasa kalau pemikiran gue itu salah. Enggak semua orang yang seperti gue pikirkan.
Makasih Ca, karena lo udah ngasih pengertian ke gue kalau hidup itu harus dinikmatin. Makasih Ca, karena lo udah mau berteman sama gue. Dan makasih banget Ca, sekarang gue bisa tidur dengan tenang karena gue membawa serpihan kenangan yang paling indah. Yaitu berteman dengan lo, Rere, dan semuanya.
Sepertinya Tuhan memang udah ngasih gue sebuah keajaiban untuk bisa kenal sama lo. Dan kayaknya lo emang malaikat yang diturunkan Tuhan untuk menemani sisa hidup gue yang tadinya kelam menjadi lebih berwarna. Lo emang bener-bener seperti malaikat Ca, cocok dengan nama lo 'Angel'.
Sekali lagi makasih buat semuanya Ca. Take care yourself and so long....
Tanpa terasa air mata Ica mengalir. Ia segera menyeka air mata yang jatuh di pipinya.
"Sorry Bin, gue nangis..." katanya lirih. "Tapi gue janji ini terakhir kalinya gue nangis. Gue bakalan turutin apa yang lo mau. Gue akan ngejalanin hari-hari gue tanpa kesedihan. Gue akan terus semangat dan bahagia." Ica tersenyum tipis tapi air mata mengalir deras di pipinya.
Rere yang berada di sampingnya memegang pundaknya lembut. Mereka berdua menangis dalam kesedihan.
(oleh: Sazkhia, foto: weheartit)