Bintang Yang Hilang

By Astri Soeparyono, Sabtu, 4 Januari 2014 | 16:00 WIB
Bintang Yang Hilang (Astri Soeparyono)

Ica berjalan di lorong dengan santainya menuju ke kelas XI IPA 2. Tetapi langkahnya terhenti saat memasuki kelasnya dan melihat teman-temannya yang sedang sibuk menyalin jawaban dari satu orang ke orang yang lain.

"MAMPUS GUE BELOM NGERJAIN PR!!!" teriak Ica sambil berlari ke bangkunya. Yang lain tidak merespon, mereka memilih tetap sibuk mengerjakan 'nasib' mereka masing-masing daripada meladeni teriakan Ica. Buang-buang waktu menurut mereka.

"Lo emang kebiasaan, Ca. Cepetan salin pelajaran pertama Pak Mustar," tegur Rere teman sebangkunya.

Dengan cepat Ica menyalin jawaban dari buku Rere ke bukunya. Sebelum bel masuk berdering salinannya selesai.

"Rekor baru tuh, Ca," canda Rere.

"Emangnya gue lagi ikut rekor muri menyalin jawaban?" tanya Ica asal.

"Kemaren pas bertepatan bel lo selesainya. Sekarang..." kata Rere sambil melirik jam yang berada di tangan kirinya. "Tiga menit sebelum bel masuk. Apa namanya kalau bukan rekor baru?"

"Whatever!"

Candaan mereka terhenti karena kedatangan Pak Mustar diikuti seorang cewek. Sontak semua murid terkejut, mereka segera berlari menuju mejanya masing-masing. Perasaan belum bel, deh....

"Hari ini kalian punya teman baru pindahan dari salah satu SMA di Singapura. Silakan perkenalkan dirimu," kata Pak Mustar kepada cewek di sebelahnya.

"Perkenalkan nama saya Bintang Andjani. Saya pindahan dari Vitoria Junior College. Sebenarnya saya warga negara asli Indonesia. Tapi suatu keadaan mengharuskan saya untuk segera pergi ke Singapura. Semoga kalian semua menerima saya dengan baik di sini. Terima kasih," jelasnya datar tanpa ekspresi.

Mulai terdengar suara berbisik-bisik, mereka saling komen dengan suara nyaris ketelan.

"Kayaknya misterius, ya?" tanya Rere setengah berbisik kepada Ica. "Maksudnya 'suatu keadaan' apaan ya? Apa dia habis patah hati gara-gara diputusin cowoknya?"

Ica hanya bisa mengangkat bahu sebagai jawaban. Sebenarnya dia juga heran dengan perkataan anak baru itu. Sekilas sebuah perasaan aneh menyelimuti dirinya. Tidak tahu kenapa sepertinya dia ingin bersahabat dengan anak baru itu.

"Nah, sekarang silakan kamu duduk di belakang. Kamu boleh pilih di lajur kiri, tengah, atau kanan," kata Pak Mustar.

Anak baru itu mengangguk, raut mukanya masih tetap sama, datar tanpa ekspresi.

***

"Hey, nama gue Fransisca Angela Nadira. Tapi lo cukup panggil gue Ica," sapa Ica sambil memperkenalkan dirinya kepada Bintang saat istirahat.

Bintang hanya sekilas memandang Ica yang sedang berdiri di samping mejanya sambil tersenyum menunggu jawaban lalu ia kembali menekuni bukunya.

Rere yang melihat peristiwa itu segera berbisik di telinga Ica, "Ca, kayaknya dia bukan anak baik, deh. Buktinya dia enggak mau kenalan sama lo, tuh tampangnya jutek gitu. Mendingan kita ke kantin aja, yuk."

"Lo duluan aja gue masih penasaran, nih, sama dia," jawab Ica juga setengah berbisik.

"Dasar keras kepala, ya udah gue duluan ya," Rere berjalan keluar kelas.

Karena tidak ada respon Ica segera duduk di bangku depan meja Bintang.

 "Bin, lo sejak kapan tinggal di Singapura?" tanya Ica. "Hidup lo enak, ya. Gue yang dari dulu pengen banget pergi ke luar negeri tapi enggak..."

"Tau apa lo tentang hidup gue?!" tanya Bintang ketus, memotong pembicaraan Ica.

Ica terdiam. Kaget. Dia tidak bisa menjawab.

"Lo enggak tau apa-apa tentang hidup gue. Jadi enggak usah sok berpendapat, deh!"

"Hmm...lo suka baca novel, ya?" tanya Ica lagi mencoba untuk mengganti topik. "Kalau gue enggak terlalu suka sama novel, tapi gue suka baca. Gue lebih suka baca komik, dalam seminggu gue bisa beli 3 komik. Nyokap gue sampe heran...."

"Lo bisa diem, enggak?!" bentak Bintang. "Enggak ngeliat gue lagi ngapain?!"

"Liat, kok. Lagi baca novel, kan? Judulnya Life. Apa musti gue kasih tau juga pengarangnya?"

"Lo keras kepala banget, ya?"

"Ha-ha-ha, banyak sih yang bilang kayak gitu."

Hening sejenak di antara mereka. Hingga akhirnya Bintang bertanya, "Menurut lo hidup itu perlu dinikmatin?"

Ica agak kaget mendengar pertanyaan itu. Kemudian ia menjawab, "Perlu banget! Malahan emang harus dinikmatin. Karena hidup itu cuma sekali seumur hidup. Gue malah takut kalau seandainya gue meninggal nanti dan gue enggak punya kenangan apa-apa selama hidup di dunia ini."

 

... Hidup itu cuma sekali seumur hidup. Gue malah takut kalau seandainya gue meninggal nanti dan gue nggak punya kenangan apa-apa selama hidup di dunia ini. Perkataan Ica terus terpikirkan oleh Bintang. Kenangan? Apa itu perlu?

"Hey!" panggilan Ica menyentakkan Bintang dari pikirannya. "Kok lo tiba-tiba nanya kayak gitu? Kenapa?"

"Enggak, nanya doang," jawab Bintang singkat, lalu kembali menekuni bukunya.

Tiba-tiba Ica menjulurkan tangan kanannya di depan muka Bintang. "Berarti sekarang kita temenan dong."

"Hah?"

"Tadi lo ngobrol sama gue."

"Gue cuma nanya." Bintang mulai terlihat kebingungan.

"Pertanyaan termasuk dengan perkataan, perkataan termasuk dengan obrolan. Biasanya pertemanan itu dimulai saat seseorang dengan orang yang lainnya saling berbincang-bincang," Ica sok bijak.

"Hah? Pendapat siapa, tuh?"

"Gue! Berarti sekarang kita temenan, ya."

Sesaat Bintang bingung apa yang harus dia lakukan. Menerima permintaan pertemanan Ica atau tidak. Dia masih trauma dengan yang namanya 'teman' karena kejadian di Singapura dulu.

Karena tidak ada jawaban akhirnya Ica menarik tangan Bintang keluar kelas. "Dari pada bengong terus mendingan kita ke kantin aja, yuk. Laper nih."

***

Sudah 5 bulan berlalu semenjak kejadian perkenalan Ica dan Bintang. Sekarang mereka berdua berteman sangat akrab, bisa dibilang seperti sahabat. Bintang juga sudah mulai akrab dengan teman-teman sekelasnya. Itu semua berkat Ica yang memperkenalkan Bintang dengan baik.

Bintang mulai mengubah sifat-sifat jeleknya itu. Sedikit demi sedikit dia juga sudah mulai melupakan sebuah hal besar dalam dirinya. Sekali lagi itu semua berkat Ica, dia selalu membuat Bintang tertawa.

Hingga sampai akhirnya sebuah hal besar itu terungkap....

***

"KRING!!!" bel berbunyi menandakan istirahat.

Setelah Bu Yanti keluar Ica segera berlari menuju meja Bintang. "Ke kantin, yuk, Bin?"

Rere yang melihat bahwa dirinya dicuekin berceletuk, "Oh, gitu ya...dapet temen baru temen lama dilupain," ledek Rere.

"Ha-ha-ha, ya enggaklah, Re," jawab Ica.

"Tau lo, Ca. Enggak setia kawan banget, sih. Yuk, Re, kita ke kantin berdua aja," seru Bintang yang jelas-jelas mau meledek Ica.

"Oh, gitu ya...dapet temen baru temen baru dilupain," sahut Ica yang jelas-jelas salah kata.

"Nggak nyambung!" jawab Bintang dan Rere bersamaan.

Mereka bertiga tertawa.

"Udah, yuk, ke kantin. It's time to bakso Mang Jaja!" teriak Ica.

Mereka bertiga kembali tertawa lalu keluar kelas menuju kantin.

***

Tiga mangkok bakso dan tiga gelas es teh manis telah tersaji di depan muka mereka masing-masing. Tanpa banyak bicara mereka bertiga segera melahapnya. Saat Ica sedang asyik melahap baksonya tak sengaja ia melihat darah segar mengalir dari hidung Bintang.

"Bin, lo mimisan!" teriak Ica panik.

Bintang segera memegangi hidungnya yang berdarah.

"Oh...eh...hmm...mungkin gue kecapekan gara-gara kemaren abis nemenin nyokap belanja," jawab Bintang gugup beralasan. "Gue ke kamar mandi dulu, ya."

Tanpa menunggu jawaban kedua temannya, Bintang segera bangkit dari duduknya lalu berjalan cepat ke kamar mandi.

Ica dan Rere saling pandang, heran sekaligus cemas. Mereka kembali memandang punggung Bintang sampai menghilang dari pandangan.

***

Semenjak kejadian di kantin itu, sudah hampir dua minggu Bintang tidak masuk. Ica dan Rere berniat untuk menjenguknya tetapi selalu tidak diberi ijin oleh Bintang.

"Bintang enggak masuk lagi?" tanya Ica heran saat melihat bangku Bintang kosong.

"Iya, sampe sekarang juga enggak ada kabar," jawab Rere yang juga heran. "Apa jangan-jangan sakitnya parah, Ca?"

"Ya udah, nanti pulang sekolah kita nekat ke rumahnya aja, yuk," ajak Ica.

"Oke."

***

Saat mereka berdua sampai tidak jauh dari rumah Bintang, mereka menangkap pemandangan yang ganjil. Banyak orang berkeliaran di depan rumah Bintang. Mereka semua memakai pakaian serba hitam. Dan kertas kuning berkibar di tiang samping rumah Bintang.

"Permisi, Bintangnya ada?" tanya Ica hati-hati kepada seorang perempuan setengah baya yang sedang menangis tersedu-sedu.

"Kalian berdua temannya Bintang?" tanya perempuan itu lirih.

"Iya," Rere yang menjawab.

"Siapa di antara kalian berdua yang bernama Ica?" tanya perempuan itu lagi.

"Saya..." jawab Ica hati-hati. Entah mengapa dia merasakan firasat buruk.

"Ini," perempuan itu memberinya sebuah surat. "Surat dari Bintang untuk kamu."

Ica memandang Rere sesaat, lalu pandangannya kini beralih lagi ke surat yang sekarang berada di tangannya. Dibukanya surat itu dan dibacanya tulisan yang berada di dalamnya.

Dear Ica...

Ca, sebelum lo meneruskan membaca surat ini gue mohon sama lo. Lo sama sekali enggak boleh nangis. Gue mau lo tertawa, karena gue lebih suka ngeliat lo tertawa.

Ca, sebenarnya selama ini ada sebuah rahasia besar yang gue sembunyiin dari lo dan yang lainnya. Gue mengidap penyakit leukimia semenjak umur gue 11 tahun. Nyokap bokap gue enggak terima, mereka segera mengajak gue pergi ke Singapura untuk melakukan pengobatan yang menurut mereka yang terbaik dan melanjutkan sekolah gue di sana.

Gue capek melakukan berbagai macam pengobatan, pasti akhirnya gue enggak bakalan hidup lama. Dan akhirnya gue memilih untuk menyerah. Gue memilih untuk menerima apa adanya takdir gue.

            Gue balik ke Indonesia dengan sejuta harapan, mungkin aja ada keajaiban besar yang diberikan Tuhan buat gue. Gue enggak mau dikasihani sama orang. Gue jadi pendiem, sok tegar, jutek dan enggak mau bergaul sama orang. Itu semua karena seseorang yang dulunya gue anggep sebagai sahabat. Dia mau berteman sama gue hanya karena kasihan dan mau memanfaatkan keadaan gue ini.

            Sejak saat itu gue mulai enggak percaya dengan yang namanya 'teman.' Makanya waktu pertama kali kita kenalan, gue jutek sama lo. Tapi saat melihat kesungguhan lo mau berteman sama gue apa adanya gue mulai merasa kalau pemikiran gue itu salah. Enggak semua orang yang seperti gue pikirkan.

            Makasih Ca, karena lo udah ngasih pengertian ke gue kalau hidup itu harus dinikmatin. Makasih Ca, karena lo udah mau berteman sama gue. Dan makasih banget Ca, sekarang gue bisa tidur dengan tenang karena gue membawa serpihan kenangan yang paling indah. Yaitu berteman dengan lo, Rere, dan semuanya.

Sepertinya Tuhan memang udah ngasih gue sebuah keajaiban untuk bisa kenal sama lo. Dan kayaknya lo emang malaikat yang diturunkan Tuhan untuk menemani sisa hidup gue yang tadinya kelam menjadi lebih berwarna. Lo emang bener-bener seperti malaikat Ca, cocok dengan nama lo 'Angel'.

Sekali lagi makasih buat semuanya Ca. Take care yourself and so long....

            Tanpa terasa air mata Ica mengalir. Ia segera menyeka air mata yang jatuh di pipinya.

"Sorry Bin, gue nangis..." katanya lirih. "Tapi gue janji ini terakhir kalinya gue nangis. Gue bakalan turutin apa yang lo mau. Gue akan ngejalanin hari-hari gue tanpa kesedihan. Gue akan terus semangat dan bahagia." Ica tersenyum tipis tapi air mata mengalir deras di pipinya.

Rere yang berada di sampingnya memegang pundaknya lembut. Mereka berdua menangis dalam kesedihan.

(oleh: Sazkhia, foto: weheartit)