"Ambu, apa penyu punya perasaan? Apa mereka sedih kalau telurnya diambil manusia?" tanya Shayu lagi.
"Tentu saja!" jawab Ambu cepat. "Cinta orangtua pada anak dan rasa kehilangan itu tak 'kan bisa diukur."
Dua kepiting bertengkar di depan mereka, Ambu dan Shayu menjauh, mencari tempat yang lebih tenang.
"Kau tahu, Shayu? Sedikit sekali dari tukik yang bisa bertahan hidup sampai dewasa. Bahkan penyu dewasa pun banyak yang dibelah untuk diambil telurnya. Selain itu mereka juga dibunuh untuk diambil dagingnya lalu dijual," jelas Ambu.
"Populasi penyu hijau dan penyu sisik sudah semakin berkurang, Shayu. Padahal, penyu sangat berjasa untuk kehidupan ikan-ikan kecil. Para penyu menyimpan makanan di temboloknya. Bila penyu memamah makanannya kembali, ikan-ikan kecil bisa bikut menikmati remah-remahnya. Dan kau tahu, Shayu? Remah-remah makanan itu juga dapat menyuburkan terumbu karang," sambung Ambu panjang lebar.
"Apa lagi yang penyu berikan untuk alam, Ambu?"
"Anakku, penyu berperan mengendalikan populasi alga karena alga adalah makanan favorit penyu. Bila penyu semakin sedikit, maka alga akan membengkak populasinya. Ingat, Shayu, racun alga merah dapat mengakibatkan ribuan ikan mati."
Shayu kagum. Ia bertekad apabila ayah pulang nanti, ia minta segera disekolahkan. Selain itu, Shayu ingin meminta nomor telepon Bapak Presiden pada ayah karena Shayu ingin meminta Bapak Presiden menyuruh bawahannya agar tegas dalam melindungi penyu. Ia juga ingin meminta kepada Bapak Presiden agar zona konservasi penyu diperbanyak.
"Shayu, pesan Ambu, kalau kau dewasa nanti, jangan sampai seperti manusia-manusia itu. Kau tahu penyu seharusnya dilestarikan. Penyu seharusnya satwa yang dilindungi," kata Ambu. Shayu berjanji. Bersumpah dalam hati.
Pada purnama ketiga, bagai baru saja mendapat mimpi buruk, Shayu terbangun kaget dari tidur. Menjerit-jerit deburan troposfer di telinga. Ia yakin ada sesuatu yang tidak beres. Di sampingnya tidak ada ayah. Tidak ada Ambu. Ayah mungkin memang belum pulang. Tapi Ambu?
Shayu muak dengan suara ombak yang seperti menertawainya. Di laut, dedaunan terapung-apung aneh. Hawa keresahan bertebaran ke segala arah. Shayu berpikir, mungkin memang sudah saatnya ia dan orangtuanya keluar dari pantai, pindah ke kota, pindah ke desa. Pantai sering tidak bersahabat meski Shayu mencintainya. Di saat seperti ini, tidak ada orang yang bisa ditanyai Ambu atau dimintai tolong mencari Ambu. Hanya ada pasir yang tidak bisa diandalkan.
Shayu hampir jatuh karena tidak kuat berjalan. Sejak pagi, Shayu memang sudah tidak sehat. Badannya menggigil. Kepalanya pusing. Tidak nafsu makan. Berdiri sebentar saja rasanya seperti mau pingsan. Ketika anak-anak nelayan mengajaknya bermain, Shayu menolak. Dan kini, di malam pekat ini, bukannya beristirahat, Shayu malah berkeliling mencari Ambu. Menantang angin yang sudah mengkhianatinya.