Penyu

By Astri Soeparyono, Sabtu, 30 November 2013 | 16:00 WIB
Penyu (Astri Soeparyono)

Shayu membenamkan kakinya ke pasir.

            Ia melihat sekeliling pantai.

            Suasana ini terlalu sepi, pikirnya. Lengang, seperti kuburan. Bahkan kuburan masih lebih ramai, ada yang mengunjungi. Sedang pantai ini, mau puasa atau tidak, seakrab kacang dan kulitnya dengan diam.

            "Pantai ini terlalu sepi, Ambu. Aku bosan. Kadang malah tak ada sesiapa selain kita," keluh Shayu pada ibunya yang ikut duduk di atas pasir, berhadapan dengan Shayu. Ambu tak ingin melihat ombak. Atau sudah bosan.

            "Lebih baik begitu. Pantai ini memang lebih baik sepi," jawab Ambu sambil serius memperhatikan Chelonia mydas, seekor penyu, seekor ibu penyu. Dengan kaki depannya, penyu itu mengais-ngais pasir bermaksud menyembunyikan harta yang paling karun: telurnya. Jumlah telur yang dikubur tak tanggung-tanggung, lebih dari seratus butir.

            Shayu mendongakkan kepala, melihat sekawanan burung yang bahagia bermain awan. Ia tahu, Ambu benci keramaian dan orang asing. Kata Ambu, kadang, semakin banyak orang di sekeliling kita, semakin kita akan merasa kesepian. Suatu paradoks yang nyata. Kata Ambu lagi, seharusnya Shayu mempunyai beberapa kakak. Namun, kakak-kakaknya diculik oleh orang asing dan tidak pernah dikembalikan, bahkan dimintai tebusan. Ambu sudah meminta bantuan aparat, namun mereka tidak pernah mengabarkan berita baik pada Ambu. Berita buruk juga tidak pernah dikabarkan. Mungkin bayarannya kurang. Uang yang mereka dapat dari menggertak masyarakat lebih banyak dari uang yang diberi Ambu. Atau bisa juga para aparat sok penting itu malas mengurus masalah remeh temeh seperti masalah Ambu. Masalah remeh temeh menurut mereka dan tentu tidak menurut Ambu.

            Mungkin karena penculikan anak-anaknya itu, Ambu trauma dengan orang asing. Juga dengan keramaian. Shayu yakin kakaknya sangat cantik atau tampan atau pintar sehingga diculik. Shayu yakin kakaknya bahagia hidup di sana, di sebuah tempat yang dibawa penculik. Namun kata Ambu, hal ini absurd, kakaknya pasti sudah mati. Ambu selalu bilang bahwa tidak ada satu pun yang mustahil sekaligus yakin bahwa kakak Shayu masih hidup adalah hal yang mustahil.

            Setelah penyu itu selesai menyembunyikan telurnya, Ambu mengajak Shayu pulang ke rumah. Rumah mereka selalu berpindah namun tetap berada di sekitar pantai. Shayu mencintai pantai dan pantai mencintai Shayu. Tidak pernah terpikir oleh Shayu dan Ambu untuk pindah ke kota, bekerja di sana, dan punya kehidupan seperti mereka kebanyakan. Ambu mempunyai pekerjaan di pantai, entah apa pekerjaan itu, tidak banyak tetangga yang tahu, namun membuat Ambu bahagia dan berkecukupan. Setidaknya itu menurut Ambu sendiri. Sementara Shayu tidak pernah disekolahkan. Ia menghabiskan harinya bermain di pantai sehingga tidak ada waktu untuk pergi ke sekolah, meskipun sesekali Shayu ingin. Shayu sudah puas dan lebih senang melihat ombak, bermain bersama anak-anak nelayan, bersama pasir, dan bersama penyu.

            Ambu selalu mengingatkan Shayu untuk bersahabat dengan semua binatang, terutama penyu. Ambu begitu menyayangi semua penyu yang ada di pantai ini dan tidak pernah sekalipun menganggunya. Pasti itu karena Ambu merasa senasib dengan penyu. Ambu dan para ibu penyu sama-sama pernah terampas anaknya. Penyu-penyu di pantai ini sudah berkali-kali diambil telurnya oleh manusia.

            "Lihat penyu betina itu, Shayu!" kata Ambu sebelum mereka masuk ke rumah.

            "Tiga kali sudah ia menyembunyikan telur-telurnya di pasir dan tiga kali juga ia kehilangan calon anak-anaknya. Dan tragisnya, penyu-penyu malang itu menyaksikan langsung telurnya diambil oleh manusia. Para ibu penyu hanya bisa bersembunyi di balik batu sesekali mengintip, melihat, dan merelakan telurnya dibawa manusia," tutur Ambu. Kemudian, tanpa basa-basi, masuk ke rumah. Shayu mengikuti.

***

            Di dalam rumah, Shayu masih ingin bertanya banyak tentang penyu dan hal lainnya pada Ambu karena tidak ada lagi yang bisa ditanyai selain Ambu yang ganjil itu. Anak-anak nelayan teman Shayu terlalu tidak mengerti. Di saat-saat seperti ini, Shayu sering menyesal mengapa tidak bersekolah. Ia mereasa haus ilmu, ingin berguru, dan mempunyai buku. Sumber ilmu satu-satunya bagi Shayu adalah Ambu. Namun Ambu tidak setiap saat bisa dimintai penjelasan. Sama seperti para anak nelayan, Ambu hanya tahu sedikit hal. Paling banyak tahu dari yang sedikit itu adalah tentang penyu yang telurnya dirampas manusia. Mungkin karena kejadian itu terlalu sering dilihat Ambu. Pernah Ambu protes bahkan memaki manusia jahat pencuri telur penyu, namun manusia-manusia itu tidak meladeni sumpah serapah Ambu. Mendengarnya saja mereka tidak mau.

            Ambu tidak pernah mau menyapa dan bersikap ramah pada orang-orang (yang sangat sedikit itu) yang datang ke pantai. Shayu selalu diperingatkan, jangan sekali pun mencoba apalagi sampai berbicara dengan orang asing pengunjung pantai. Ambu takut kalau-kalau Shayu hilang seperti kakak. Ambu selalu berkata bahwa orang-orang asing itu lebih menakutkan dibanding lelembut jenis apa pun. Kalau Shayu sampai hilang, Ambu pasti kesepian. Ayah Shayu merupakan pekerja keras, terlalu giat bekerja sehingga jarang pulang. Shayu mengira ayahnya adalah nelayan, seperti ayah teman-temannya. Namun entah, sama seperti Ambu, pekerjaan ayah Shayu misterius.

            Hal lain yang membuat Ambu akan semakin kesepian kalau Shayu sampai hilang, tidak ada teman atau saudara lagi dari mana saja yang mau mengunjungi Ambu. Mungkin karena rumah mereka terlalu jauh, di pinggir pantai yang sepi dan terpencil. Mungkin juga Ambu tidak mempunyai siapa-siapa lagi di pantai.

*

            "Mereka, para penyu, hidup sangat lama, Shayu," kata Ambu pagi itu. Tiga ekor penyu melintas di depan mereka.

            Ambu sedang tidak bekerja karena sebentar lagi Shayu akan mempunyai adik.

            "Berapa lama para penyu hidup, Bu?" tanya Shayu.

            "Mencapai ratusan tahun!" jawab Ambu.

            "Mencapai ratusan tahun?" Shayu mengulangi kata-kata Ambu karena masih tidak percaya.

            "Ya. Namun banyak yang masih dalam telur sudah mati. Diambil manusia," kata Ambu.

            "Bukankah para penyu pandai menyamarkan letak lubang telurnya, Bu? Bukankah bekas galian untuk memendam telur sama sekali tidak dapat dikenali? Mengapa manusia-manusia itu masih saja bisa menemukan telur penyu?"

            "Karena manusia-manusia itu pintar dan tidak punya perasaan. Mereka mempersetankan apa pun yang disebut cinta. Mereka tidak tahu betapa penyu betina menyayangi anaknya. Mereka juga tidak tahu bahwa bagi seekor penyu, bertelur adalah hal yang melelahkan. Namun kelelahan itu tidak berbuah bahagia. Tidak ada hasilnya."

            "Ambu, apa penyu punya perasaan? Apa mereka sedih kalau telurnya diambil manusia?" tanya Shayu lagi.

            "Tentu saja!" jawab Ambu cepat. "Cinta orangtua pada anak dan rasa kehilangan itu tak 'kan bisa diukur."

            Dua kepiting bertengkar di depan mereka, Ambu dan Shayu menjauh, mencari tempat yang lebih tenang.

            "Kau tahu, Shayu? Sedikit sekali dari tukik yang bisa bertahan hidup sampai dewasa. Bahkan penyu dewasa pun banyak yang dibelah untuk diambil telurnya. Selain itu mereka juga dibunuh untuk diambil dagingnya lalu dijual," jelas Ambu.

            "Populasi penyu hijau dan penyu sisik sudah semakin berkurang, Shayu. Padahal, penyu sangat berjasa untuk kehidupan ikan-ikan kecil. Para penyu menyimpan makanan di temboloknya. Bila penyu memamah makanannya kembali, ikan-ikan kecil bisa bikut menikmati remah-remahnya. Dan kau tahu, Shayu? Remah-remah makanan itu juga dapat menyuburkan terumbu karang," sambung Ambu panjang lebar.

            "Apa lagi yang penyu berikan untuk alam, Ambu?"

            "Anakku, penyu berperan mengendalikan populasi alga karena alga adalah makanan favorit penyu. Bila penyu semakin sedikit, maka alga akan membengkak populasinya. Ingat, Shayu, racun alga merah dapat mengakibatkan ribuan ikan mati."

            Shayu kagum. Ia bertekad apabila ayah pulang nanti, ia minta segera disekolahkan. Selain itu, Shayu ingin meminta nomor telepon Bapak Presiden pada ayah karena Shayu ingin meminta Bapak Presiden menyuruh bawahannya agar tegas dalam melindungi penyu. Ia juga ingin meminta kepada Bapak Presiden agar zona konservasi penyu diperbanyak.

            "Shayu, pesan Ambu, kalau kau dewasa nanti, jangan sampai seperti manusia-manusia itu. Kau tahu penyu seharusnya dilestarikan. Penyu seharusnya satwa yang dilindungi," kata Ambu. Shayu berjanji. Bersumpah dalam hati.

            Pada purnama ketiga, bagai baru saja mendapat mimpi buruk, Shayu terbangun kaget dari tidur. Menjerit-jerit deburan troposfer di telinga. Ia yakin ada sesuatu yang tidak beres. Di sampingnya tidak ada ayah. Tidak ada Ambu. Ayah mungkin memang belum pulang. Tapi Ambu?

            Shayu muak dengan suara ombak yang seperti menertawainya. Di laut, dedaunan terapung-apung aneh. Hawa keresahan bertebaran ke segala arah. Shayu berpikir, mungkin memang sudah saatnya ia dan orangtuanya keluar dari pantai, pindah ke kota, pindah ke desa. Pantai sering tidak bersahabat meski Shayu mencintainya. Di saat seperti ini, tidak ada orang yang bisa ditanyai Ambu atau dimintai tolong mencari Ambu. Hanya ada pasir yang tidak bisa diandalkan.

            Shayu hampir jatuh karena tidak kuat berjalan. Sejak pagi, Shayu memang sudah tidak sehat. Badannya menggigil. Kepalanya pusing. Tidak nafsu makan. Berdiri sebentar saja rasanya seperti mau pingsan. Ketika anak-anak nelayan mengajaknya bermain, Shayu menolak. Dan kini, di malam pekat ini, bukannya beristirahat, Shayu malah berkeliling mencari Ambu. Menantang angin yang sudah mengkhianatinya.

            Tiba-tiba langkah Shayu terhenti melihat seekor penyu betina mematung. Shayu menghampiri penyu itu. Petaka.

            "Ada apa, Bu?" tanya Shayu pada si penyu, Ambu.

            "Manusia-manusia itu, mereka merampas telur Ambu, " kata Ambu sambil menangis. Ada pilu yang terbaca jelas. Shayu melihat, para manusia itu menggali pasir, mengumpulkan telur demi telur Ambu. Padahal, Ambu sudah susah payah menyembunyikan telurnya.

            Shayu tahu sekali, siang malam Ambu berdoa agar ia tidak perlu kehilangan telur lagi. Kini Shayu tahu, tak ada rumus tungal untuk menjadi seorang ibu yang tegar karena kehilangan anak. Ambu dikurung keputusasaan.

            Andai manusia-manusia itu mau mengerti.

            Dengan berani, Ambu berteriak pada manusia-manusia itu, memrotes, memaki, mengutuk. Tapi dari dulu sudah percuma. Sampai tumpah isi langit, manusia tidak mengerti bahasa penyu.

            Ambu terus marah sampai suaranya habis.

            Shayu melotot.

            Tak percaaya, adik-adiknya tak 'kan pernah ada, seperti kakaknya yang raib dalam telur.

 

(Oleh: Citra Dewa Garini, foto: weheartit.com)