Saat keluar auditorium, kami papasan dengan Pak Didik yang tersenyum sumringah berjalan dengan sesosok cowok yang kukenal. Sosoknya tidak terlalu tinggi, dan kurus. Fatah. Bisa-bisanya dia ada di sini. Perasaanku campur aduk, antara plong, senang gara-gara Pak Didik datang, tapi jadi enggak karuan karena ada Fatah. Pak Didik langsung naik ke mimbar dan memulai mengisi materi.
"Haduh, rasanya kayak ngejar-ngejar maling, keringetan" celetuk Pak Didik mencairkan suasana. Audiens pun tertawa mendengar celotehan beliau.
"Tadi motor saya mogok, untung ada Fatah yang nolongin saya. Udah ganteng, pinter, coba kalo saya punya anak perempuan udah saya jodohkan sama anak saya."
Jujur ini momen yang paling bikin enggak enak hati. Aku sungkan sama Fatah. Dan kenapa dia ke sini? Ada kepentingan apa dia ke sini? Haduuuh...aku salah tingkah. Dia marah, enggak, ya sama aku.
Fatah menghampiriku dan menggandengku keluar auditorium. Jantungku rasanya mau copot. Langkahnya berhenti di bawah pohon mangga. Kemudian dia menghela nafas panjang.
"Din, aku punya sesuatu buat kamu."
"Apa?" aku mencoba untuk tenang.
Dia mengambil boneka anak ayam di belakangnya, lalu dia menyodorkannya di hadapanku. Aku memasang muka enggak percaya, tanpa berbicara sepatah kata pun.
"Ini buat kamu, meskipun aku enggak bisa ngucapin selamat pagi buat kamu, enggak bisa ngajakin kamu berangkat sekolah bareng, semoga anak ayam ini selalu bisa menemani kamu."
Aku masih diam, enggak tahu harus berkata apa, tingkah laku Fatah benar-benar membuatku membisu siang ini. Tak berhenti sampai di situ, dia kembali mengambil sesuatu di belakangnya, seperti semua ini sudah ia rancang sebelumnya. Dia memberikan kaleng kaca berisi gulungan kertas.
"Sejak kamu ngomong pengin dibuatin puisi, aku nyoba buat bikinin kamu puisi. Tapi aku malu buat ngasih puisi itu ke kamu, tulisanku jelek dan enggak puitis, jadi tiap aku bikin puisi aku masukin di kaleng itu."
Ya, Tuhan. Ternyata Fatah selama ini melakukan itu semua, dan aku enggak menghargai apa yang telah Fatah lakukan. Aku benar-benar menyesal.
"Din maafin aku, ya. Maaf enggak bisa jadi pacar yang baik buat kamu. Kamu pantes dapet yang lebih baik dari aku. Maaf aku baru bisa nemuin kamu sekarang, aku sibuk karantina, dan maaf enggak bisa bawain emas buat kamu, kemampuanku sebatas perunggu."
Aku memegang tangan Fatah dan memberanikan diri buat ngomong. "Kamu enggak perlu minta maaf. Aku yang enggak bisa ngeliat ketulusan orang lain. Mau emas, mau perunggu kamu tetep cowok paling keren bagiku." Aku memandangi kedua bola matanya, semoga dia bisa memaafkan aku.
Fatah enggak bicara apa-apa. Dia hanya tersenyum, dan kami pun saling pandang. Tatapannya itu seperti berbicara kalo dia mengiyakan pertanyaanku. Dunia serasa berhenti berputar. Sekarang aku telah menemukan seseorang yang tulus, meski aku terlambat menyadarinya.
(Oleh: Lenny Widyawati, foto: inspirefusion.com)