Anak Ayam dan Sekaleng Puisi

By Astri Soeparyono, Sabtu, 28 September 2013 | 16:00 WIB
Anak Ayam dan Sekaleng Puisi (Astri Soeparyono)

Pagi ini, masih sama dengan pagi-pagi yang lain. Bukan tentang embun yang memeluk mesra dedaunan, bukan pula tentang kokok ayam yang saling sahut. Di balik jendela kelas, mataku tersudut pada satu titik obyek yang telah menggiringku ke tingkat kulminasi kerinduan. Fatah. Dia bukan setangkai bunga yang tengah kupandangi saat ini, dia adalah cowokku.

"Din, nanti ke perpus, yuk. Aku mau ngembaliin buku pinjaman, nih, udah kena denda," ucap Riri sambil menepuk pundakku.

"Ri, menurutmu Fatah sekarang lagi mikirin aku enggak, ya? tau dia lagi sibuk belajar kimia?" ucapku dengan tatapan menerawang langit.

"Ya elah Din, ternyata dari tadi kamu ngelamunin itu. Ya, pasti kangenlah sama kamu, tapi bukan berarti kalo merindukan seseorang dia berhenti memikirkan yang lain."

"Tapi, masak, sih, dia kangen sama aku? Jangankan telepon, sms aja jarang banget. Mesti aku duluan yang sms. Sebel, sih, lama-lama." Kali ini wajah Dina terlihat agak kesal.

"Din, kamu percaya, kan, sama Fatah? Mungkin dia lagi fokus sama tugas-tugasnya. Eh bukannya dia sibuk persiapan OSN (Olimpiade Sains Nasional) itu, ya?"

Aku memilih mengakhiri pembicaraan, kurasa akan lebih baik jika aku tidak melanjutkannya. Baru tiga bulan aku jadian dengan Fatah, namun rasa-rasanya aku sudah tidak tahan lagi. Tiga bulan pacaran, dan terakhir bertemu pun saat hari pertama jadian. Kami berbeda SMA. Waktu itu kami berdua sama-sama ingin melanjutkan ke SMA yang sama, namun Fatah lolos dan aku tidak. Ya itulah perbedaan kami, perbedaan yang telah menjauhkan kami. Fatah masuk kelas olimpiade, dan ia terpilih untuk mewakili almamaternya dalam OSN. Kuakui dia memang pintar, jauh lebih pintar dariku.

Malam ini aku memutuskan untuk sms Fatah duluan, sudah dua hari dia tak ada kabar. Sekarang bukan lagi tentang kerinduan, tapi rindu dan khawatir yang bercampur jadi satu.

 

Fatah?  >_<

Sejam kemudian dia membalas sms ku "iya?"

Sependek itukah seorang kekasih membalas sms kekasihnya? Tidakkah dia memikirkan perasaanku? Huuuh, aku menghela nafas panjang. Kemudian tanpa berpikir panjang, aku membalas smsnya.

 

semangat ya buat OSN nya, kamu pasti bisa! Ganbatte :)

Hanya berselang satu menit, HPku bergetar, dia membalas smsku

 

iya iya :)

Di satu sisi aku bahagia dia masih menyempatkan waktu untuk membalas smsku, tapi di sisi lain, tidak bisakah dia memperlakukan pacarnya dengan sedikit romantis, dengan balasan sms yang panjang misalnya, atau dengan kata-kata yang manis?

Ahh, sudahlah. Aku menarik nafas perlahan.

Kalau Fatah saja fokus dengan OSN, sekarang aku juga harus fokus dengan tugas yang diamanahkan kepadaku. Aku dipercaya menjadi ketua panitia lomba mading 3D di sekolahku. Acara sudah semakin dekat, aku harus fokus memastikan tiap panitia menjalankan tugas mereka dengan baik. "Ayo semangat Din!" aku berteriak menyemangati diri sendiri.

Gemuruh teriakan siswa mulai terdengar nyata, berlarian menuju kelas mereka masing. Terdengar suara kernyitan gerbang yang ditarik satpam. Para cewek menarik rok mereka selutut agar lebih mudah berlari. Sedangkan para cowok berlarian menuntun motornya yang lalu mereka parkirkan di tempat parkir. Suasana pagi ini semakin gaduh, maklumlah sekarang sudah jam tujuh tepat dan guru pengajar sudah mulai berjalan menuju kelas yang mereka ajar.

Di saat mereka berlari terbirit-birit, aku hanya memasang pandangan menyeluruh dan berjalan dengan santai. Aku sudah hapal betul, Pak Wira, sang guru Matematika, bisa dipastikan datang terlambat. Dari kejauhan, nampak sosok berkacamata melambaikan tangannya ke arahku. Sosoknya tinggi, dengan senyum sumringah dan lepas. Dia berjalan mendekatiku dengan langkah gontai.

"Hei, Din" sapamya masih dengan senyuman lepas yang melekat.

"Iya, Kak. Ada apa?" jawabku sedikit melongo.

Nafas Kak Krisna tersengal-sengal, sesekali ia menghela napas dan memulai untuk berbicara. "Eh, gimana, Din, persiapan lomba mading? Udah sejauh mana? Kalo butuh bantuan ngomong langsung aja ke aku, enggak usah sungkan-sungkan."

"Mmm...pra acara udah beres, Kak. Semoga nanti acaranya sukses."

Kak Krisna. Ya, dia baik banget. Saking seringnya dia membantuku, lama-lama aku jadi enggak enak. Tahun lalu dia ketua panitia lomba mading 3D, dan konsep acaranya keren banget. Dia organisator, dan tahun lalu dia ketua MPK. Sosoknya dewasa dan menenangkan.

Setelah lelah berbicara, Kak Krisna berbalik dan berjalan menuju kelasnya. Beberapa menit kemudian, HPku bergetar, dengan sigap aku mengambil HP di kantong rok dan cepat-cepat membuka SMS. Aku sangat berharap pesan singkat itu dari Fatah. Mataku terbelalak, kenapa bukan Fatah yang meng-SMS ku seperti ini? Kenapa orang lain?

 

Saat benangmu putus, jangan khawatir

Aku adalah anak kecil yang akan mengejarmu

Di manapun angin membawamu pergi

Kamu tidak akan sendirian :)

Kak Krisna begitu perhatian, aku takut jika aku membalas smsnya, dia mengira aku memberi harapan ke dia. Jadi lebih baik aku enggak membalas smsnya kecuali sms penting.

Dulu, aku pernah meminta Fatah membuatkanku puisi, tapi dia enggak mau dan membalas SMSku dengan "kamu kan bukan guru bahasaku, he he :p"

Kemudian aku pun berjalan masuk ke kelas, duduk bersebelahan dengan Riri.

"Kamu kenapa Din? Pagi-pagi udah nguncir bibir aja, ntar jadi kayak Omas, lhoo!"

"Ri, aku pengin putus dari Fatah" bisikku pelan

"Lho, lho, kenapa emang? Kamu yakin? Serius?" Riri kaget, dan tanpa sadar dia berbicara dengan intonasi tinggi, sampai-sampai sepenjuru kelas memandanginya.

"Aku tau dia kaku dan cuek, dan aku enggak bisa nerima itu semua."

"Din, itu konsekuensi yang harus kamu terima dari awal, kan. Kamu udah tau kalo dia orangnya memang kayak gitu."

"Iya aku tau, aku pikir dia enggak akan secuek ini sama pacarnya. Eee, ya udahlah. Keputusanku sudah bulat."

"Terserah kamu, sih. Tapi jangan jadi orang bodoh, jangan nyesel udah mutusin Fatah. Itu semua keputusan kamu, dan setiap keputusan selalu ada resiko." Riri menepuk-nepuk bahuku, dan mencoba menguatkanku.

Pak Wira masuk kelas, dan seketika suara gemuruh itu menghilang dan tergantikan sunyi.

Fatah itu cowok baik-baik, tapi aku juga enggak tahan kalau diacuhi terus-terusan. Aku sudah bertekad untuk mutusin Fatah hari ini juga. Aku bingung, aku enggak enak mutusin Fatah lewat telepon. Meskipun agak enggak sopan mutusin orang lewat sms, tapi aku bener-bener enggak tega ngomong langsung ke dia. Akhirnya kukirimkan sms itu.

 

Fatah, aku masih sayang sama kamu, tapi aku udah ngga bisa ngelanjutin hubungan kita. Maafin aku ya, makasih untuk semuanya :)

Sejam berlalu, dan hari berganti. Fatah enggak menanggapi smsku, aku menganggap dia setuju putus denganku.

***

Setelah sekian lama mempersiapkan acara ini, akhirnya sekarang tibalah saatnya melihat hasil jerih payah tim panitia lomba mading 3D.

Auditorium sekolah disulap menjadi arena lomba dan seminar yang megah. Ada 30 tim yang siap untuk berkompetisi serta berkreasi sekreatif mungkin. Satu tim terdiri dari 4 orang siswa. Mereka sudah siap dengan bahan yang akan mereka gunakan untuk membuat mading. Acara sudah mulai. Diawali dengan sambutan ketua panitia yaitu aku sendiri. Kemudian acara dibuka oleh Kepala Sekolah. Dan lomba pun dimulai, peserta diberikan waktu 2 jam untuk membuat mading dengan tema "kreasi tanpa batas"

Peserta lomba nampak sibuk menghias mading mereka, ada yang membuat pemandangan alam, ada yang membuat prototype mainan tradisional, dan lain-lain. Memandangi mereka seperti ini aku jadi teringat setahun yang lalu sewaktu aku kelas X. Aku, Riri, Dinar, dan Aji juga mengikuti lomba ini. Awalnya, sih, cuma iseng-iseng ikutan, dan ternyata timku menang dan menyabet juara satu, bener-bener di luar dugaan banget.

Tiba-tiba dengan langkah tergopoh-gopoh, serta raut muka cemas Dimas menghampiriku. "Din, kamu udah dapet konfirmasi, kan, dari Pak Didik? Masalahnya sekarang Pak Didik enggak bisa dihubungi, di-BBM ngga dibalas, ditelepon enggak diangkat. Sebentar lagi dia, kan, mengisi materi." Keringat menetes dari dahinya, nafasnya tersengal-sengal, dan dia nampak kebingungan.

"Lhh, Bela konfirmasi ke aku kalo Pak Didik bisa dateng jam 1, dan enggak usah dijemput. Sekarang Bela mana?" Raut mukaku tegang.

"Nah itu, Bela juga hilang enggak ada kabar. Kamu dipanggil sama Bu Kepsek."

Dengan langkah tergesa aku berlari menghadap Bu Kepsek, wajahku sungguh tak bisa menyembunyikan kecemasan ini.

"Din, lho, kamu itu gimana! Ini udah jam berapa? Pak Didiknya mana? Semua tamu undangan menunggu kedatangan Pak Didik. Kamu bisa bikin nama sekolah kita tercoreng kalo pembicaranya enggak dateng."

"Iya, Bu, maaf, tapi Pak Didiknya udah konfirmasi tadi pagi kalau akan datang on time. Saya coba hubungi Pak Didiknya sebentar." Wajahku terlihat enggak karuan, ini bisa jadi blunder kalo enggak cepat-cepat diselesaikan.

Dengan menggigiti bibir, aku berjalan mondar-mandir aku mencoba menelepon Pak Didik berulang kali. Namun suara yang terdengar selalu sama."Nomor yang Anda tuju sedang sibuk atau di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi."

Aku menghampiri wakil ketua panitia yaitu Beta, dan kami mencoba mencari solusi dari masalah ini. Sepuluh menit lagi waktu yang tersisa. Aku dan Beta memutuskan untuk mengganti pembicara, yaitu Pak Gigi, sama-sama maestro di bidang seni rupa. Aku dan Beta bergegas keluar auditorium untuk menjemput Pak Gigi yang rumahnya selang lima gedung dari sekolah ini setelah sebelumnya Beta menelepon keberadaan beliau.

Saat keluar auditorium, kami papasan dengan Pak Didik yang tersenyum sumringah berjalan dengan sesosok cowok yang kukenal. Sosoknya tidak terlalu tinggi, dan kurus. Fatah. Bisa-bisanya dia ada di sini. Perasaanku campur aduk, antara plong, senang gara-gara Pak Didik datang, tapi jadi enggak karuan karena ada Fatah. Pak Didik langsung naik ke mimbar dan memulai mengisi materi.

"Haduh, rasanya kayak ngejar-ngejar maling, keringetan" celetuk Pak Didik mencairkan suasana. Audiens pun tertawa mendengar celotehan beliau.

"Tadi motor saya mogok, untung ada Fatah yang nolongin saya. Udah ganteng, pinter, coba kalo saya punya anak perempuan udah saya jodohkan sama anak saya."

Jujur ini momen yang paling bikin enggak enak hati. Aku sungkan sama Fatah. Dan kenapa dia ke sini? Ada kepentingan apa dia ke sini? Haduuuh...aku salah tingkah. Dia marah, enggak, ya sama aku.

Fatah menghampiriku dan menggandengku keluar auditorium. Jantungku rasanya mau copot. Langkahnya berhenti di bawah pohon mangga. Kemudian dia menghela nafas panjang.

"Din, aku punya sesuatu buat kamu."

"Apa?" aku mencoba untuk tenang.

Dia mengambil boneka anak ayam di belakangnya, lalu dia menyodorkannya di hadapanku. Aku memasang muka enggak percaya, tanpa berbicara sepatah kata pun.

"Ini buat kamu, meskipun aku enggak bisa ngucapin selamat pagi buat kamu, enggak bisa ngajakin kamu berangkat sekolah bareng, semoga anak ayam ini selalu bisa menemani kamu."

Aku masih diam, enggak tahu harus berkata apa, tingkah laku Fatah benar-benar membuatku membisu siang ini. Tak berhenti sampai di situ, dia kembali mengambil sesuatu di belakangnya, seperti semua ini sudah ia rancang sebelumnya. Dia memberikan kaleng kaca berisi gulungan kertas.

"Sejak kamu ngomong pengin dibuatin puisi, aku nyoba buat bikinin kamu puisi. Tapi aku malu buat ngasih puisi itu ke kamu, tulisanku jelek dan enggak puitis, jadi tiap aku bikin puisi aku masukin di kaleng itu."

Ya, Tuhan. Ternyata Fatah selama ini melakukan itu semua, dan aku enggak menghargai apa yang telah Fatah lakukan. Aku benar-benar menyesal.

"Din maafin aku, ya. Maaf enggak bisa jadi pacar yang baik buat kamu. Kamu pantes dapet yang lebih baik dari aku. Maaf aku baru bisa nemuin kamu sekarang, aku sibuk karantina, dan maaf enggak bisa bawain emas buat kamu, kemampuanku sebatas perunggu."

Aku memegang tangan Fatah dan memberanikan diri buat ngomong. "Kamu enggak perlu minta maaf. Aku yang enggak bisa ngeliat ketulusan orang lain. Mau emas, mau perunggu kamu tetep cowok paling keren bagiku." Aku memandangi kedua bola matanya, semoga dia bisa memaafkan aku.

Fatah enggak bicara apa-apa. Dia hanya tersenyum, dan kami pun saling pandang. Tatapannya itu seperti berbicara kalo dia mengiyakan pertanyaanku. Dunia serasa berhenti berputar. Sekarang aku telah menemukan seseorang yang tulus, meski aku terlambat menyadarinya.

(Oleh: Lenny Widyawati, foto: inspirefusion.com)