Lukisan Kelabu

By Astri Soeparyono, Minggu, 21 April 2013 | 16:00 WIB
Lukisan Kelabu (Astri Soeparyono)

 

            Bagaimana rasanya jika kamu ditakdirkan berteman hanya dengan tiga warna itu? Bagaimana rasanya jika selusin warna lainnya tidak bisa kamu nikmati keindahannya?

 

            Bibir Raga bergerak pelan, merapal beberapa kalimat yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Ia tengah berbaring di ranting kokoh pohon mangga depan rumah, menerawang langit jam sembilan malam yang pucat oleh awan pekat. Ia begitu terbiasa seperti ini, mengencani pohon mangga yang ditanam saat ia lahir tujuh belas tahun lalu. Terkadang ia membawa gitar, memetiknya keras-keras hingga Elma, tetangganya, berteriak kesal dari jendela kamarnya di lantai dua.

            Ugh! Raga meraup daun mangga kuat-kuat dan menyentakkannya ke tanah. Seharusnya daun itu berwarna hijau. Tapi hanya warna abu-abu gelaplah yang tertangkap matanya. Deretan rumah di kompleks tempatnya tinggal juga berwarna abu-abu. Meski kata Elma, setiap rumah dicat dengan warna berbeda.

            Pikiran Raga melayang jauh. Seperti apakah warna merah itu? Seterang apakah warna kuning? Seindah apakah warna merah jambu? Raga ingin tahu, tapi tak bisa. Ia hanya mendengar warna-warna itu dari cerita Elma. Warna merah jambu, misalnya. Elma pernah berkata bahwa merah jambu selalu identik dengan warna hati, perpaduan merah dan putih yang menghasilkan warna cantik nan lembut.

            Rhein. Sosok dengan nama hujan itulah yang sukses menggambarkan warna merah jambu dalam hatinya. Ya, ini pertama kalinya Raga jatuh cinta, sekaligus pertama kali pula ditolak mentah-mentah. Kemarin, pagi-pagi sekali ia pergi ke sekolah dan meletakkan setangkai mawar pink di meja Rhein. Namun yang terjadi siang harinya sama sekali di luar dugaan Raga. Rhein melempar mawar pink itu sambil berkata, "Gue nggak suka mawar kuning, tahu!" lalu ia pun melesat ke kantin.

            Mawar kuning? Dahi Raga berkerut bingung. Ia memang meminta bantuan Donni untuk membelikannya bunga mawar. Ia bilang itu mawar pink. Tanpa pikir panjang Raga langsung meletakkan mawar itu di meja Rhein. Tak tahunya ia sedang dikerjai Donni! Tanpa wajah berdosa, Donni cs terbahak-bahak paling keras menyaksikan drama paling memukau abad ini. Dan tawa mereka bertambah keras saat Rhein menginjak mawar itu sebelum melemparnya jauh-jauh.

            Suara deru motor terdengar dari ujung jalan. Raga menepis jauh-jauh lamunannya. Lalu beberapa menit kemudian, motor itu berhenti tepat di samping rumah Raga. Sosok Elma turun dari motor dan langsung berlari kecil menuju teras. Wajahnya cemberut menahan kesal. Saat membuka pintu, entah kenapa ia menoleh pada pohon mangga di seberang rumah, melihat sosok Raga samar-samar di ranting pohon. Elma menutup pintu dan memutuskan menghampiri Raga.

"Ivan ke mana? Kok nggak nganter lo pulang?" tanya Raga saat Elma duduk di ranting sebelahnya.

 "Biasa. Labilnya kumat!" ucapnya mengerucutkan bibir. Sudah berulangkali Elma bercerita tentang sifat jelek Ivan pada Raga. Ivan yang labil, Ivan yang cemburuan, Ivan yang menuntut perhatian lebih dan sederet sifat jelek lainnya. Raga pikir, Elma dan Ivan sedang bertukar tempat. Elma jadi sang cowok dengan sikap yang dewasa dan cool, dan Ivan jadi sang cewek dengan sikap kekanakan. Emansipasi yang menyedihkan.