Lukisan Kelabu

By Astri Soeparyono, Minggu, 21 April 2013 | 16:00 WIB
Lukisan Kelabu (Astri Soeparyono)

"Tak apa. Yang penting kamu masih bisa melihat, kan? Itu harus kamu syukuri," Farah berkata bijak sambil memamerkan senyum termanisnya.

"Ya, aku memang harus banyak bersyukur," Raga mencoba tersenyum.

"Dan aku tak keberatan berteman dengan kamu. Bukankah berteman itu tak memandang status sosial dan..."

Raga tak mau mendengar kelanjutan kata-kata Farah. Ia cukup paham kini. Diam-diam ia tersenyum getir. Ia patah hati. Untuk yang kedua kali.

*

"Melamun lagi, melamun lagi! Capek gue lihat lo bengong kayak patung bodoh!" sore itu, Elma menghampiri Raga yang tengah nongkrong di tempat favoritnya; ranting pohon mangga. Raga menoleh Elma sekilas, lalu kembali melamun. Ia sedang tak berniat melayani ucapan Elma. Pikirannya hanya dipenuhi satu nama. Farah. Farah. Farah. Sejak pertemuan terakhir mereka di rumah Farah, Raga tak pernah lagi mengunjungi perpustakaan dan taman depan sekolah, tempat Farah biasa menghabiskan istirahat siangnya.

"Please, deh. Menye-menye banget sih looo..." Elma memanjat pohon mangga dan menjewer telinga Raga.

"Ugh, setan emang lo, ya," dengusnya kesal. Elma tertawa-tawa.

"Bagaimana lo sama Ivan?"

"Hmmm, dia minta balikan. Tapi gue ogah!" jawab Elma cuek.

Saat itulah sesosok gadis mungil ke luar dari pintu rumah Elma. Tangan kanannya membawa kanvas, sementara tangan kirinya memegang tas kecil yang berisi tube cat dan pallet. Gadis mungil itu meletakkan kanvasnya di teras. Ia mulai menuangkan cat dan menggoreskannya pada kanvas. Objeknya tak lain tak bukan adalah sepasang manusia yang nangkring di pohon mangga. Begitu uniknya tingkah mereka, hingga cewek itu tergelitik untuk mengabadikannya di lukisan.

"Loh, makhluk kece itu siapa, El? Kok keluar dari rumah lo?" mata Raga yang tadi menerawang sendu sekarang beralih pada makhluk yang sedang asyik memegang kuas.

"Oh, itu. Sepupu gue dari Sulawesi. Baru nyampe tadi pagi. Rencananya ia mau ngelanjutin SMA di Jawa..."

"Wow," hanya satu kata itulah yang bisa Raga ucapkan. Matanya langsung terhipnotis pada sosok mungil berkulit cokelat bersih, mata lebar, sepasang alis tebal dan tentunya senyuman yang mematikan. Ia turun dari pohon mangga dan menghampiri gadis itu. Elma mengikutinya dari belakang.

"Hai, Cantik. Lagi melukis apa?" goda Raga. Si Cantik itu hanya tersenyum sopan, menunjuk dua bocah tengil di antara ranting pohon mangga dalam lukisannya.

"Nah, sepupu gue emang keren, kan?" Elma berkacak pinggang.

"Keren banget! Suwer!" seru Raga. Si Cantik tertawa-tawa dan melanjutkan lukisannya.

Raga duduk di teras rumah Elma. Matanya tak lepas dari sosok anggun berkulit cokelat bersih itu. Setelah Rhein dan Farah, rupanya aroma merah jambu itu dengan mudahnya menyebar lagi ke seluruh perasaannya. Ini semua gara-gara kehadiran Si Cantik. Raga paham betul kalau ia gampang jatuh cinta. Tapi entah siapa yang membisiki telinganya, Raga yakin bahwa perasaannya kali ini berkali-kali lebih kuat daripada perasaannya untuk Rhein dan Farah, meski pun baru detik ini ia melihat wajah Si Cantik.

Lukisan bergambar dua bocah tengil di pohon mangga itu pun jadi. Raga tak peduli apakah lukisan itu bagus atau tidak. Yang jelas, lukisan berwarna kelabu itu telah membuat hatinya merah jambu sejak detik ini.

"El, kalau gue jatuh cinta sama sepupu lo, boleh kan?" Raga mencolek pipi Elma.

"Tergantung, dianya mau apa nggak" Elma menunjuk sepupunya yang masih sibuk menyempurnakan lukisan. Padahal dalam hati, ia sibuk memaki Raga.

"Kenapa lo malah suka sama sepupu gue? Kenapa nggak suka sama gue? Padahal gue putus sama Ivan kan biar gue bisa sama lo!"

"Pasti dia mau," Raga berbisik.

Kali ini Elma sama sekali tak menanggapi ucapan Raga. Hatinya perih.

*

(oleh avioleta zahra, foto: silentsweetheart.com)