"Kamu pecinta bunga? Atau Mamamu?"
"Sebenarnya kami berdua. Tapi semenjak Mama sibuk kerja, akulah yang merawat dan mengurus semua bunga-bunga itu," jawabnya lembut dan merdu.
Sosok itu bernama Farah. Dialah makhluk yang beberapa hari lalu berhasil membuat Raga terpesona di perpustakaan. Niat Raga memang benar-benar kuat. Setelah mendapat info dari penjaga perpustakaan, ia langsung berlari ke kelas satu, mencari gadis itu dan mengajaknya mengobrol. Kini, setelah tiga minggu lebih Raga mengenal gadis lembut berambut panjang ini, ia memutuskan untuk lebih sering main ke rumah.
Raga mulai merasakan warna merah jambu mengelilingi setiap harinya. Semua yang ada pada Farah telah membuatnya lebih semangat berangkat sekolah dan berhenti mengeluh tentang kelainan matanya. Saat Raga mengatakan berita gembira ini, Elma hanya tersenyum dan mengacungkan jempolnya, tanda mendukung pilihan Raga.
"Kalau aku minta bunga itu, boleh?" Raga menunjuk pot-pot Adenium Pink yang terpajang di sebelah kanan teras.
"Di rumahmu nggak ada bunga?"
"Adanya pohon mangga," gelaknya. Farah ikut tertawa.
"Itu Adenium Pink, kan?" Raga kembali menunjuk deretan pot.
"Bukan, itu Adenium Ungu,"
"Oh, maaf. Kukira..." Raga tergagap. Inilah hal yang paling ia benci dari kelainan matanya. Semua yang ia lihat berwarna abu-abu, hitam dan putih. Tak ada warna pelangi, tak ada warna-warna cerah yang bisa dilihat mata normal.
"Aku tahu, kok. Aku tahu tentang matamu," Farah menatap Raga yang tengah menunduk.
"Ya, aku satu-satunya cowok yang mengidap buta warna di sekolah kita," Raga berbisik lirih. Ia tahu, dengan popularitasnya yang menyandang penyakit langka ini, tentu dirinya dikenal hingga sudut sekolah sekali pun. Ia tak heran akan hal ini.