Pertanda

By Astri Soeparyono, Sabtu, 23 Maret 2013 | 16:00 WIB
Pertanda (Astri Soeparyono)

Siang itu rumahku sangat ramai dengan warga yang sibuk membantu persiapan upacara pengobatan. Ada yang datang membawa Rampai, tepung tawar, beretih, bermacam-macam bunga, pisang, telur rebus,r okok, gambir, pinang dan sebagainya. Sedangkan yang laki-laki sedang sibuk membuat rakit batang pisang. Sedangkan aku hanya membantu membuat mangkuk-mangkuk kecil dari daun pisang. Hal ini dapat kulakukan dengan mahir. Aku hafal dengan semua perlengkapannya, sebab hal ini rutin kuikuti setiap tahunnya. Tulilut...tulilut...hpku berbunyi.

"Assalamualaikum," ucapku.

"Waalaikumsalam, kemana aja sih, Ta? Gak ada sms Yaya," suara Ricky terdengar kesal.

"Maaf, Ya, di rumah lagi rame, habis Maghrib nanti Bapak mau upacara pengobatan," jawabku setengah berbisik.

"Ya udah, kita sms aja ya, Ta," suara Ricky mulai melunak, sambungan terputus setelah aku mengucapkan salam.

***

Selesai sholat Maghrib berjamaah di rumahku, semuanya telah dipersiapkan. Dan Bapak sedang memulai ritual itu. Segala bentuk sesaji telah rapi diatur oleh Mamak. Mulai dari letak lilin sampai dengan letak beretih dan beras kunyit. Rakit batang pisang pun telah selesai dengan mangkuk-mangkuk daun pisang, lengkap dengan segala isinya. Rakit itu adalah ritual terakhir setelah pengobatan dilakukan. Sebagai ucapan terimakasih, biasanya Bapak memberikan seekor ayam bakar utuh. Rakit itu akan dihanyutkan ke sungai tepat jam 12 malam.

Saat ini aku tak bisa mengontak Ricky, entah mengapa hpnya tidak bisa dihubungi. Ahhh, aku tidak terlalu memusingkan itu, aku tahu siapa Ricky. Saat ini aku hanya fokus pada upacara ritual yang sedang berlangsung.

Tampak Bapak didampingi oleh Busu Atan dan Pak Tua Sudin yang merupakan bujang yang akan melaksanakan perintah makhluk yang masuk ke dalam tubuh Bapak. Tujuannya adalah mengobati orang-orang yang minta bantuan agar sakitnya di sembuhkan. Silih berganti makhluk yang masuk ke dalam tubuh Bapak, tak terhitung lagi jumlahnya. Ada yang datang dari Laut Barat, Laut Kidul, Sungai Indragiri, segala macam putri dari negeri halus, dan terkhir yang merasuki tubuh Bapak adakah Raja Bujang. Raja Bujang ini memerintahkan agar ritual memberi 'makan' kepada makhluk yang ada di sungai segera di laksanakan. Memang jam telah menunjukkan angka 12.

Seperti biasa aku hanya menunggu di rumah bersama warga-warga lainnya. Yang turun ke sungai hanya Bapak dan kedua bujang yang akan menjaga Bapak dari serangan tiba-tiba.

Tiba-tiba saja hidungku mengeluarkan darah yang sangat banyak. Aku tidak pernah mimisan selama hidupku. Tentu saja ini membuat Mamak dan keluargaku panik. Mereka berusaha menghentikan darah yang mengalir dari hidungku. Di tengah kepanikan itu, aku berlari kearah sungai. Perlahan-lahan aku masuk ke dalam air yang begitu dingin. Kutuju Bapak yang sedang sibuk mengadakan ritual 'pemanggilan.' Di pinggir sungai, seluruh warga yang datang termasuk Mamak berteriak histeris. Bapak tidak menyadarinya, sebab dia bukanlah Bapak seperti dalam raganya, melainkan Raja Bujang. Sedangkan Busu Atan dan Pak Tua Sudin berusaha mencegahku, dan berusaha mengeluarkan aku dari dalam air sungai. Namun aku tak bergeming. Aku terus menuju ke tengah sungai.

Blarrrrrr! Tiba-tiba air sungai meledak dan membentuk pusaran air. Warga semakin histeris, terlebih lagi Mamak. Kedua bujang Bapak telah naik ke darat, tinggal aku dan Bapak yang masih berada di dalam sungai. Kami berdua tidak merasakan apa-apa.

"Sesuai perjanjian, keturunan yang ke-50 dari nenek moyang kalian akan kami ambil sebagai ratu di kerajaan kami. Tepat sebelum dia menikah dan begitu pula dengan pasangannya," tiba-tiba sebuah suara ke luar dari mulut Bapak, namun bukan suara Bapak. Suara itu sanggup membuat seluruh manusia yang mendengarnya merasakan hawa dingin yang mencekam. Bulu kuduk kembali berdiri.

Dari pusaran air keluarlah seorang laki-laki muda. Aku tahu itu adalah Ricky. Pasanganku di dunia nyata akan menjadi pasanganku juga di dunia halus ini. Aku terus berjalan mendekati Ricky, tak peduli dengan suara-suara yang memenggil-manggilku dari arah daratan. Sedetik kemudian aku ikut tenggelam bersama pusaran air itu, dan detik itu juga Mamak telah terkulai di tanah, pingsan. Sedangkan Bapak langsung tersadar dari pengaruh Raja Bujang. Sebelum aku benar-benar tenggelam, sempat kubisikkan kepada Bapak:

"Pit baik-baik saja, Pak.P it akan menjaga Kak Yana, Kak Andut dan Kak Imai di sini."

***

(oleh: safitri irianti, pemenang hiburan lomba cerpen kawanku 2011, foto: pinterest.com)