Pertanda

By Astri Soeparyono, Sabtu, 23 Maret 2013 | 16:00 WIB
Pertanda (Astri Soeparyono)

Terapung-apung di tengah telaga. Namun tiba-tiba secepat kilat sampan itu terbalik. Kulihat Kak Yana, Kak Imai dan Kak Andut berteriak histeris minta tolong...lalu sepi. Hanya aku yang terengah-engah melihat adegan itu. Bagaimana tidak, ketiga kakakku bertarung dengan pusaran air telaga yang tengah beriak, mempertahankan hidup mereka. Sedangkan aku hanya dapat memandang dari tepi telaga tanpa bisa berbuat apa-apa.

"Astagfirullah, ya Allah. Mimpi itu lagi." Aku terbangun dengan peluh yang membuat seluruh bajuku basah. Terengah-engah seakan selesai berlari sekian ratus meter jaraknya.

***

 

To: Ricky

Besok  adik pulang

Kutulis pesan singkat itu, dan sukses terkirim ke Ricky, tunanganku.

"Jaga diri baik-baik di sana, jangan bikin repot Mamak. Dan ingat jangan banyak makan jengkol."

Huuh, pesan Ricky selalu itu, dia tahu aku sangat suka dengan jengkol. Sampai-sampai aku pernah sakit dan harus dirawat di rumah sakit karena terlalu banyak makan jengkol. Namun aku tidak jera.

"Iya loh, ingat kok pesannya. Ingat juga pesan adik," balasku sewaktu Ricky akan mengantarkanku naik ke travel.

"Jangan nakal," lagi-lagi Ricky mengingatkan aku.

"Iya loh, Yaya. Cerewet banget," jawabku sambil meletakkan punggung tangannya di keningku.

"Adik berangkat, ya. Assalamualaikum," ujarku lagi. Dari dalam mobil travel kulambaikan tangan kepada Ricky.

Mimpi itu masih saja berkelebat di benakku. Walaupun aku telah berusaha melenyapkannya, namun tetap saja keinginanku kalah dari pikiranku.

"Hmm, Kak Yana, Kak Imai, dan Kak Andut, apa yang mereka minta dari aku? Apakah doa? Ah tidak mungkin, aku tidak pernah lupa mengirimkan doa untuk mereka setiap malam. Dan juga bukan itu mimpinya jika mereka minta doa,atau minta sesuatu." Aku berpikir keras. Mimpi itu menggambarkan mereka sedang dalam ketakutan. Aku berpikir terlalu keras, sampai  tubuh dan pikiranku letih dan tertidur.

***

"Jangaaan, jangan ambil kakakku...!" Tanpa sadar aku berteriak terlalu keras.

"Pit! Sadar, Nak. Sudah Maghrib." Kulihat wajah orang yang berada tepat di sampingku,

"Mamak?" tanyaku seperti orang bodoh.

"Iya, ini Mamak. Dalam travel kamu pingsan, digotong sama Bapak dan Busu Atan ke rumah," jelas mamak. Bagaimana mungkin aku pingsan, sedangkan aku hanya tertidur dan bermimpi. Mimpi tentang kakak-kakakku yang telah meninggal puluhan tahun silam.

"Mandi, dah itu shalat. Bapak udah duluan." Mamak memberikan hpku.

"Ricky tadi telepon, Mamak yang angkat. Mamak bilang kamu tidur, biar dia tidak terlalu khawatir," lanjut Mamak.

"Apa lauk makan, Mak?" tanyaku mengalihkan perhatian Mamak dari tubuhku yang basah oleh keringat.

"Lauk kesukaan mu, sambal mentah, sayur petole dan ada ulam jengkol," jawab Mamak.

"Jengkol??? Wah, enak tuh. Pit langsung makan aja, ya, Mak. Mandi dan sholatnya nanti aja, waktunya juga masih ada," seruku girang dan bersiap-siap melesat ke luar kamar.

"E...e...e..., mandi dulu. Dah itu shalat, baru makan. Sama Bapak nanti makannya," ujar Mamak mencegahku.

"Lagian Mamak udah menyiapkan takaran jengkol yang akan kamu makan," susul Mamak. Aku melongo lalu dengan muka masam aku menuju sumur untuk mandi. Mamak hanya tertawa.

"Ini pasti bang Ricky yang nyuruh," gerutuku.

"Ya baguslah, itu tandanya Ricky sayang sama kamu. Nggak mau kamu sakit gara-gara jengkol," jawab Mamak sambil tertawa. Dan aku semakin kesal dibuatnya.

***

"Jadi, Pak, acaranya habis Maghrib?" Mamak sedang berbicara kepada Bapak ketika aku masih asyik dengan laptopku.

"Acara apa, Mak?" sahutku yang tak jauh dari mereka duduk.

"Acara 'pengobatan.' Nanti siang Busu Atan dan Pak Tua Sudin akan bantu bikin peralatan. Ncik Sisal, Mak Itam dan Datuk Pera akan bantu Mamak bikin bahan-bahannya," jawab Mamak.

"Ohh...." Aku hanya bisa mengucapkan 'o' saja.

"Oh ya, nanti kamu tolong bantu carikan bunga ya, di rumah Cik Sier. Ingat tujuh warna," kali ini Bapak yang berbicara, dan langsung aku iyakan.

Warga kampungku masih tergolong tekun melaksanakan acara adat dan ritual. Begitu pun dengan orangtuaku, terutama Bapak. Menurut Bapak, beliau masih keturunan dari datok  penunggu desaku, yakni sebangsa makhluk tak kasat mata. Silsilah keluarga Bapak yang sangat panjang itu tak mampu aku jelaskan. Bapak memiliki ilmu dan kekuatan supranatural yang membuatnya mampu menyembuhkan penyakit yang diyakini di sebabkan makhluk halus. Setahun sekali masyarakat di kampungku rutin melaksanakan ritual pengobatan, sekaligus untuk memberikan panganan kepada penunggu-penunggu sekitar desaku, agar mereka tidak mengganggu warga desa. Sebenarnya aku tidak percaya dengan hal yang berbau mistis, aku hanya percaya akan Tuhan Allah yang selalu melindungi makhlukNya. Awalnya aku bertentangan dengan Bapak tentang segala ilmu dan kekuatan yang dia miliki. Namun lama kelamaan aku mengalah.

Siang itu rumahku sangat ramai dengan warga yang sibuk membantu persiapan upacara pengobatan. Ada yang datang membawa Rampai, tepung tawar, beretih, bermacam-macam bunga, pisang, telur rebus,r okok, gambir, pinang dan sebagainya. Sedangkan yang laki-laki sedang sibuk membuat rakit batang pisang. Sedangkan aku hanya membantu membuat mangkuk-mangkuk kecil dari daun pisang. Hal ini dapat kulakukan dengan mahir. Aku hafal dengan semua perlengkapannya, sebab hal ini rutin kuikuti setiap tahunnya. Tulilut...tulilut...hpku berbunyi.

"Assalamualaikum," ucapku.

"Waalaikumsalam, kemana aja sih, Ta? Gak ada sms Yaya," suara Ricky terdengar kesal.

"Maaf, Ya, di rumah lagi rame, habis Maghrib nanti Bapak mau upacara pengobatan," jawabku setengah berbisik.

"Ya udah, kita sms aja ya, Ta," suara Ricky mulai melunak, sambungan terputus setelah aku mengucapkan salam.

***

Selesai sholat Maghrib berjamaah di rumahku, semuanya telah dipersiapkan. Dan Bapak sedang memulai ritual itu. Segala bentuk sesaji telah rapi diatur oleh Mamak. Mulai dari letak lilin sampai dengan letak beretih dan beras kunyit. Rakit batang pisang pun telah selesai dengan mangkuk-mangkuk daun pisang, lengkap dengan segala isinya. Rakit itu adalah ritual terakhir setelah pengobatan dilakukan. Sebagai ucapan terimakasih, biasanya Bapak memberikan seekor ayam bakar utuh. Rakit itu akan dihanyutkan ke sungai tepat jam 12 malam.

Saat ini aku tak bisa mengontak Ricky, entah mengapa hpnya tidak bisa dihubungi. Ahhh, aku tidak terlalu memusingkan itu, aku tahu siapa Ricky. Saat ini aku hanya fokus pada upacara ritual yang sedang berlangsung.

Tampak Bapak didampingi oleh Busu Atan dan Pak Tua Sudin yang merupakan bujang yang akan melaksanakan perintah makhluk yang masuk ke dalam tubuh Bapak. Tujuannya adalah mengobati orang-orang yang minta bantuan agar sakitnya di sembuhkan. Silih berganti makhluk yang masuk ke dalam tubuh Bapak, tak terhitung lagi jumlahnya. Ada yang datang dari Laut Barat, Laut Kidul, Sungai Indragiri, segala macam putri dari negeri halus, dan terkhir yang merasuki tubuh Bapak adakah Raja Bujang. Raja Bujang ini memerintahkan agar ritual memberi 'makan' kepada makhluk yang ada di sungai segera di laksanakan. Memang jam telah menunjukkan angka 12.

Seperti biasa aku hanya menunggu di rumah bersama warga-warga lainnya. Yang turun ke sungai hanya Bapak dan kedua bujang yang akan menjaga Bapak dari serangan tiba-tiba.

Tiba-tiba saja hidungku mengeluarkan darah yang sangat banyak. Aku tidak pernah mimisan selama hidupku. Tentu saja ini membuat Mamak dan keluargaku panik. Mereka berusaha menghentikan darah yang mengalir dari hidungku. Di tengah kepanikan itu, aku berlari kearah sungai. Perlahan-lahan aku masuk ke dalam air yang begitu dingin. Kutuju Bapak yang sedang sibuk mengadakan ritual 'pemanggilan.' Di pinggir sungai, seluruh warga yang datang termasuk Mamak berteriak histeris. Bapak tidak menyadarinya, sebab dia bukanlah Bapak seperti dalam raganya, melainkan Raja Bujang. Sedangkan Busu Atan dan Pak Tua Sudin berusaha mencegahku, dan berusaha mengeluarkan aku dari dalam air sungai. Namun aku tak bergeming. Aku terus menuju ke tengah sungai.

Blarrrrrr! Tiba-tiba air sungai meledak dan membentuk pusaran air. Warga semakin histeris, terlebih lagi Mamak. Kedua bujang Bapak telah naik ke darat, tinggal aku dan Bapak yang masih berada di dalam sungai. Kami berdua tidak merasakan apa-apa.

"Sesuai perjanjian, keturunan yang ke-50 dari nenek moyang kalian akan kami ambil sebagai ratu di kerajaan kami. Tepat sebelum dia menikah dan begitu pula dengan pasangannya," tiba-tiba sebuah suara ke luar dari mulut Bapak, namun bukan suara Bapak. Suara itu sanggup membuat seluruh manusia yang mendengarnya merasakan hawa dingin yang mencekam. Bulu kuduk kembali berdiri.

Dari pusaran air keluarlah seorang laki-laki muda. Aku tahu itu adalah Ricky. Pasanganku di dunia nyata akan menjadi pasanganku juga di dunia halus ini. Aku terus berjalan mendekati Ricky, tak peduli dengan suara-suara yang memenggil-manggilku dari arah daratan. Sedetik kemudian aku ikut tenggelam bersama pusaran air itu, dan detik itu juga Mamak telah terkulai di tanah, pingsan. Sedangkan Bapak langsung tersadar dari pengaruh Raja Bujang. Sebelum aku benar-benar tenggelam, sempat kubisikkan kepada Bapak:

"Pit baik-baik saja, Pak.P it akan menjaga Kak Yana, Kak Andut dan Kak Imai di sini."

***

(oleh: safitri irianti, pemenang hiburan lomba cerpen kawanku 2011, foto: pinterest.com)