Si Gadis Terbang

By Astri Soeparyono, Sabtu, 5 Januari 2013 | 16:00 WIB
Si Gadis Terbang (Astri Soeparyono)

Keluargaku pindah ke Virrenschoa beberapa hari yang lalu. Kata ibu, aku perlu berkeliling Virrenschoa. Namun ia, ayah atau pun kakak tidak bisa menemaniku karena mereka sibuk beres-beres di rumah. Karena itu aku akhirnya jalan-jalan sendiri. Virrenschoa cukup kecil sehingga aku tidak perlu khawatir akan tersesat, walaupun aku baru tinggal di sini beberapa hari.

Virrenschoa adalah kota kecil yang indah. Di Virrenschoa, semua sarana umum hanya ada satu; satu sekolah di setiap tingkatan, satu toko roti, satu toko buku, satu komplek kecil pasar tradisional, satu pasukan petugas keamanan dan lain-lain. Jalan-jalannya terdiri dari batu-batu heksagonal, yang di celah-celahnya kadang-kadang ditumbuhi rumput, bahkan bunga liar kecil. Bangunan-bangunannya tidak ada yang betul-betul besar atau kecil dan tidak ada gedung yang sama bentuk serta warnanya, dengan banyak bunga yang berbeda jenis yang menghiasinya. Penduduk Virrenschoa mengenal dengan baik satu sama lain.

Aku sampai di bagian paling barat Virrenschoa, tempat padang rumput luas yang di tengahnya berdiri sebuah pohon oak yang besar. Kulihat ada beberapa orang anak di sana. Aku pun berjalan mendekati mereka. Mereka bisa saja jadi teman-teman baruku di kota ini. Semakin dekat aku berjalan, aku melihat dengan lebih jelas ada 3 orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Semakin dekat lagi aku menyadari bahwa anak-anak laki-laki itu tidak berteman dengan si gadis kecil. Mereka malah menjahatinya.

Aku segera berlari untuk menolong gadis kecil itu. Ketika aku hampir sampai, ketiga anak laki-laki itu berlari meninggalkan gadis kecil itu dalam kondisi rambut dan pakaian kusut. Dia gadis yang manis, dengan baju terusan berwarna krem yang bagian bawahnya mengembang dan dihiasi pita-pita. Lalu sepatunya yang berwarna merah marun dan kaus kaki rendanya. Rambutnya yang ikal cantik berwarna cokelat gelap.

Aku menghampiri si gadis kecil yang sedang merapikan penampilannya. Aku mendengar ia mengomel. Tentang betapa kesalnya dia pada anak-anak laki-laki itu, yang menjahili dan memalakinya hampir setiap hari. Ia mengoceh pada dirinya sendiri tanpa menyadari bahwa aku sudah berdiri tepat di depannya. Ketika mengangkat kepala, ia langsung terdiam. Dia memandangiku dengan sedikit kaget dan wajah memerah karena malu. Akhirnya aku memutuskan untuk memulai perkenalan.

"Hai! Aku Joshua Hutchkins. Aku baru beberapa hari tinggal di kota ini. Kau tahu Nyonya Deborah Turner? Dia nenekku. Boleh aku tahu siapa namamu? Aku harap kamu baik-baik saja."

Dia diam sebentar, lalu memperkenalkan diri dengan senyum ramah, "Namaku Annabelle Downey. Senang berkenalan denganmu. Dan, yah, aku baik-baik saja," Kami bersalaman. Lalu kami membicarakan banyak hal dan Annabelle menjadi teman pertamaku di Virrenschoa.

***

            Kira-kira sudah lima kali aku menemui Annabelle di tempat yang sama. Kami berdua cukup akrab walaupun ternyata Annabelle anak yang pendiam. Aku sudah tahu bahwa orangtuanya memiliki toko permata dan rumahnya adalah rumah paling besar dan cantik di kota ini. Namun ayah dan ibunya sudah meninggal 5 tahun yang lalu, sehingga ia tinggal bersama paman dan bibinya yang juga mengurus toko permata Downeys' Diamond. Selain itu, sudah lima kali juga aku menemukan Annabelle melakukan hal yang sama; duduk di bawah pohon oak yang teduh sambil menulis puisi. Puisi-puisinya cukup bagus dan isinya fantasi. Di antaranya Gadis yang Terbang, Keluarga Awan, Tarian Bunga Dandellion dan Tuan Capung. Tapi menurutku anak seumuran Annabelle harusnya bermain, bukannya menulis puisi sepanjang hari.

            "Kenapa kau tidak pernah bermain bersama teman-temanmu yang lain?" tanyaku.

            Dia memandang ke depan sejenak. Lalu berkata, "Aku tidak pernah benar-benar punya teman, lagipula..." Annabelle diam sejenak. "Bibi tidak mengizinkanku bermain dengan anak-anak lain. Kata bibi jika aku bermain, bibi akan memecat semua pelayan di rumah dan aku yang akan mengerjakan semua pekerjaan rumah. Aku juga harus belajar selama tepat tiga jam sebelum makan malam. Jika tidak, aku tidak diberi makan malam. Sementara paman, satu-satunya hal yang ia pedulikan selain istrinya adalah uang," tuturnya panjang lebar. Lalu ia melanjutkan lagi. "Tapi, jangan bilang siapa-siapa, ya, kalau aku memberitahukan ini padamu."

            Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Malang sekali nasib Annabelle. Pasti paman dan bibinya adalah pasangan jahat yang ingin menguasai harta peninggalan orang tua Annabelle dan sekarang mereka mau menyiksa Annabelle secara pelan-pelan dulu.