Hari itu hujan. Aku suka sekali dengan hujan. Di sisa menit-menit terakhir pelajaran olahraga, semuanya berlari menuju kelas. Tapi aku masih berjingkrak riang dengan nyanyian hujan. Hujan memberikan ketenangan. Kedamaian. Memberikan ruang untukku menjadi diri sendri. Aku berlari dan bernyanyi.
Aku tersadar, di ujung koridor sana, cowok itu tertawa-tawa geli melihat tingkahku. Sambil memegang satu botol air mineral, ia menunjuk-nunjuk riang kepadaku. Aku membalas candaannya dengan terus bernyanyi, menari dan berlari. Mencari kedamaian. Mumpung ada hujan di siang bolong. Ha-ha-ha!
Dia adalah Arian. Cowok pertama yang bilang kalau aku cantik. Cowok pertama yang menjadi sahabatku. Cowok pertama yang memberikan saran agar rambutku dibiarkan saja terurai. Jangan diikat terus-terusan. Aku suka senyumnya. Aku suka suaranya. Aku suka candanya. Aku suka marahnya. Aku suka begonya. Aku suka matanya. Aku suka wanginya. Satu hal yang aku tak suka, dia mencintai Nara.
Aku mengenal Arian sejak pertama masuk SMA. Kami sama-sama aktif di OSIS. Dia cowok pertama yang mau menjadi sahabatku. Karena sebelumnya, aku tak punya sahabat. Aku hanya punya teman bermain, teman bercanda, teman tertawa, teman belajar, teman berkelahi dan teman hangout. Tapi dengan Arian, aku pernah menangis bersama. Dengan Arian, aku pernah pipis di celana bersama. Dengan Arian aku pernah curhat, sebelumnya aku enggak pernah melakukan aktivitas curhat seperti cewek kebanyakan. Dengan Arian, aku bisa menjadi diriku sendiri. Dengan Arian, aku merasakan cinta.
Arian. Arian. Arian. Hanya sejak mengenal Arian aku bisa punya buku diary. Di dalamnya aku tulis hanya satu nama, Arian.
Kisah ini dirajut atas nama persahabatan. Namun, aku jatuh cinta diam-diam. Entah sejak kapan atau bagaimana persisnya aku sendiri tak begitu paham. Yang aku tahu, aku jatuh cinta. Aku nyaman. Aku tak mau kehilangan. Itu, kan, yang namanya cinta? Mungkin ada yang lebih luas lagi dibandingkan dengan itu? Namun yang aku tahu, luas Samudera Pasifik tidak cukup untuk menggambarkan kebahagiaanku saat bersama Arian. Tapi ada yang mengganjal, aku harus sembunyi-sembunyi meluapkannya.
Aku luapkan di tempat tidur, ketika aku menerima sms dari Arian, aku langsung memeluk guling, lalu guling-gulingan. Aku luapkan di depan kaca, cengengesan tak karuan. Aku luapkan di kamar mandi, menyanyikan lagu-lagu cinta walau harus membangkitkan amarah Mama, Papa dan Abang. Yang paling aman, meluapkannya di antara hujan. Karena Arian, aku suka hujan.
Arian. Entah mengapa aku sangat menyukai cowok ini. Cowok biasa dengan senyum ramah dan kenakalannya yang menggemaskan. Dia suka main sepak bola. Dia suka Geografi. Dia suka Luis Figo. Dia suka nonton film Jackie Chan. Dia suka makan permen karet. Satu hari di sekolah menghabiskan 3 botol air mineral. Dia suka main drum, walaupun tidak mahir. Dia suka baca komik Naruto. Dia suka Hinata. Dia suka Nikita Willy dan Syahrini (yang ini sebenarnya rahasia kami berdua). Dia suka Sum 41. Dia suka main catur. Dia punya ikan koi. Dia punya segudang kaset PS. Dia punya segudang foto Nara. Dia punya boneka Sonic dari Nara. Dia suka menciumi foto Nara. Dia suka mengantar Nara les Matematika Rabu dan Sabtu sore. Dia suka membelikan Nara es krim. Dia suka rambut Nara. Dia suka pipi Nara. Dia suka bibir Nara. Dia suka senyum Nara. Dia suka sama Nara. Dari dulu hingga detik ini.
Arian masih tertawa puas di ujung koridor sana. Arian masih saja begitu. Tak menyadari. Arian masih saja tak tahu. Apakah memang dia tidak tahu atau tidak mau tahu? Padahal setiap saat aku selalu menyuguhkan cinta. Mungkin aku hanyalah sahabat. Selamanya akan seperti itu.
Tiba-tiba aku terpatung. Aku melihat gadis itu menghampiri Arian dengan manja. Ia merajuk. Gadis manis dengan rambutnya yang ikal hitam sebahu. Gadis manis dengan bibir tipis melengkungkan pelangi. Gadis manis dengan pipi merah jambu. Gadis manis dengan jemari yang super indah. Gadis manis yang dicintai sahabatku. Aku selalu menyaksikan itu. Setiap hari. Sepanjang aku memulai kisahku dengan Arian.
"Ar, nanti gak usah nganterin aku ke tempat les ya."
"Kenapa?"