Arian Arian Arian

By Astri Soeparyono, Minggu, 30 Desember 2012 | 16:00 WIB
Arian Arian Arian (Astri Soeparyono)

Hari itu hujan. Aku suka sekali dengan hujan. Di sisa menit-menit terakhir pelajaran olahraga, semuanya berlari menuju kelas. Tapi aku masih berjingkrak riang dengan nyanyian hujan. Hujan memberikan ketenangan. Kedamaian. Memberikan ruang untukku menjadi diri sendri. Aku berlari dan bernyanyi.

Aku tersadar, di ujung koridor sana, cowok itu tertawa-tawa geli melihat tingkahku. Sambil memegang satu botol air mineral, ia menunjuk-nunjuk riang kepadaku. Aku membalas candaannya dengan terus bernyanyi, menari dan berlari. Mencari kedamaian. Mumpung ada hujan di siang bolong. Ha-ha-ha!

Dia adalah Arian. Cowok pertama yang bilang kalau aku cantik. Cowok pertama yang menjadi sahabatku. Cowok pertama yang memberikan saran agar rambutku dibiarkan saja terurai. Jangan diikat terus-terusan. Aku suka senyumnya. Aku suka suaranya. Aku suka candanya. Aku suka marahnya. Aku suka begonya. Aku suka matanya. Aku suka wanginya. Satu hal yang aku tak suka, dia mencintai Nara.

Aku mengenal Arian sejak pertama masuk SMA. Kami sama-sama aktif di OSIS. Dia cowok pertama yang mau menjadi sahabatku. Karena sebelumnya, aku tak punya sahabat. Aku hanya punya teman bermain, teman bercanda, teman tertawa, teman belajar, teman berkelahi dan teman hangout. Tapi dengan Arian, aku pernah menangis bersama. Dengan Arian, aku pernah pipis di celana bersama. Dengan Arian aku pernah curhat, sebelumnya aku enggak pernah melakukan aktivitas curhat seperti cewek kebanyakan. Dengan Arian, aku bisa menjadi diriku sendiri. Dengan Arian, aku merasakan cinta.

Arian. Arian. Arian. Hanya sejak mengenal Arian aku bisa punya buku diary. Di dalamnya aku tulis hanya satu nama, Arian.

Kisah ini dirajut atas nama persahabatan. Namun, aku jatuh cinta diam-diam. Entah sejak kapan atau bagaimana persisnya aku sendiri tak begitu paham. Yang aku tahu, aku jatuh cinta. Aku nyaman. Aku tak mau kehilangan. Itu, kan, yang namanya cinta? Mungkin ada yang lebih luas lagi dibandingkan dengan itu? Namun yang aku tahu, luas Samudera Pasifik tidak cukup untuk menggambarkan kebahagiaanku saat bersama Arian. Tapi ada yang mengganjal, aku harus sembunyi-sembunyi meluapkannya.

Aku luapkan di tempat tidur, ketika aku menerima sms dari Arian, aku langsung memeluk guling, lalu guling-gulingan. Aku luapkan di depan kaca, cengengesan tak karuan. Aku luapkan di kamar mandi, menyanyikan lagu-lagu cinta walau harus membangkitkan amarah Mama, Papa dan Abang. Yang paling aman, meluapkannya di antara hujan. Karena Arian, aku suka hujan.  

Arian. Entah mengapa aku sangat menyukai cowok ini. Cowok biasa dengan senyum ramah dan kenakalannya yang menggemaskan. Dia suka main sepak bola. Dia suka Geografi. Dia suka Luis Figo. Dia suka nonton film Jackie Chan. Dia suka makan permen karet. Satu hari di sekolah menghabiskan 3 botol air mineral. Dia suka main drum, walaupun tidak mahir. Dia suka baca komik Naruto. Dia suka Hinata. Dia suka Nikita Willy dan Syahrini (yang ini sebenarnya rahasia kami berdua). Dia suka Sum 41. Dia suka main catur. Dia punya ikan koi. Dia punya segudang kaset PS. Dia punya segudang foto Nara. Dia punya boneka Sonic dari Nara. Dia suka menciumi foto Nara. Dia suka mengantar Nara les Matematika Rabu dan Sabtu sore. Dia suka membelikan Nara es krim. Dia suka rambut Nara. Dia suka pipi Nara. Dia suka bibir Nara. Dia suka senyum Nara. Dia suka sama Nara. Dari dulu hingga detik ini.

Arian masih tertawa puas di ujung koridor sana. Arian masih saja begitu. Tak menyadari. Arian masih saja tak tahu. Apakah memang dia tidak tahu atau tidak mau tahu? Padahal setiap saat aku selalu menyuguhkan cinta. Mungkin aku hanyalah sahabat. Selamanya akan seperti itu.

Tiba-tiba aku terpatung. Aku melihat gadis itu menghampiri Arian dengan manja. Ia merajuk. Gadis manis dengan rambutnya yang ikal hitam sebahu. Gadis manis dengan bibir tipis melengkungkan pelangi. Gadis manis dengan pipi merah jambu. Gadis manis dengan jemari yang super indah. Gadis manis yang dicintai sahabatku. Aku selalu menyaksikan itu. Setiap hari. Sepanjang aku memulai kisahku dengan Arian.

"Ar, nanti gak usah nganterin aku ke tempat les ya."

"Kenapa?"

"Hari ini aku libur. Mau jemput Tante di stasiun Gambir."

"Mau aku anter? Aku bisa, kok. Biar nanti aku izin enggak perlu ikut rapat OSIS."

"Enggak usah, Ar. Aku pergi sama Ibu, kok. Aku ke kelas lagi, ya. Pak Satya lagi bahas Matriks. Kan aku suka banget!"

Arian tersenyum pada Nara.

 

"I love u Nara..."

 

"I love u more..."

Nara berlari kecil meninggalkan koridor. Aku masih terdiam. Aku sudah kebal dengan adegan seperti itu. Tapi tetap saja, hati kecil ini rasanya sakit. Tahu, kan, rasanya semacam apa? Luka kena silet disiram air garam? Mungkin kalau untuk urusan cinta, silet dan air garam tak cukup mewakili.

Arian kembali melempar pandang padaku. Aku masih terpatung.

"Woooiiii... Ngiri, yaah? Makanya pacaran!!! Ha-ha-ha-ha-ha!" Ia tergelak lagi.

Aku cuma memandangnya penuh kegetiran. Aku memang iri, Ar. Iri sekali melihat kalian bersama. Iri pada Nara.

Semakin hari, perasaan ini semakin kuat. Perasaan ini sangat menganggu. Bagaimana mungkin setiap saat hanya Arian yang ada di pikiranku. Bagaimana mugkin setiap saat aku selalu ingin bersama Arian. Ini menyakitkan. Mungkin lain persoalan jika dalam kisah ini tak ada Nara. Bila ada pun, setidaknya Arian tidak menyayanginya. Ini akan menjadi sangat mudah dan menguntungkanku. Andai saja ini kisah sebuah novel dan aku pengarangnya, akan kuhapus saja Nara dari kisahku dan Arian. Tapi ini realita. Tak dapat dipungkiri dan dielakkan.

         Di hari berikutnya, lagi-lagi hujan menyaksikan kisahku bersama Arian. Cinta pertamaku. Hari ini kami berjalan berdua saja di bawah satu payung. Arian tidak tahu bahwa saat itu hatiku berdegup kencang. Aku merasa sangat dekat dengannya. Dan ini adalah kali pertama. Ingin tersenyum bahagia, tapi harus kutahan. Aku harus mampu memendam ini untuk ke sekian kalinya.

         Kupandangi diam-diam wajahnya yang terkena titik air hujan. Aku baru sadar, ternyata tubuh Arian memang tegap. Kepalaku hanya sejajar dengan bahunya. Dia sangat tinggi. Aku tersenyum kecil. Tiba-tiba ia menoleh seraya mengerutkan dahinya. Aku dengan seketika memalingkan wajahku.

         "Kenapa?"

         Aku tidak menjawab. Suaranya sangat jelas terdengar.

         Tiba-tiba saja hujan semakin deras. Kami berdua memutuskan untuk berteduh di sebuah halte. Hanya aku dan Arian. Aku harus berusaha keras agar perasaan bahagiaku ini tidak membuncah. Agar perasaan ini tidak kasat mata.

         "Harusnya hujan-hujan begini gue sama Nara. Pasti romantis! Hmmm...malahan bareng sama lo."

         Aku meninju bahunya. Aku protes. Buatku ini romantis. Bersama cinta pertamaku di tengah hujan sore hari. Ayolah, Arian, coba nikmati saja momen ini. Setidaknya jangan bawa Nara di tengah hujan sore hari milik kita. Walaupun kamu mengharapkan Nara, simpanlah saja dulu di dalam hatimu. Seperti aku menyimpan harapan ini.

         Arian memandang ke arahku. Tersenyum kecil. Aku tidak mampu membalas senyumnya. Aku palingkan wajahku. Aku takut kalau-kalau aku terbawa suasana dan menampilkan tatapan cinta pada Arian. Hening beberapa menit.

         "Sebenarnya..." suara Arian terbata memecah sepi di antara kami. Tatapannya merawang. Aku tiba-tiba merasakan ada keganjilan. Aku palingkan wajahku padanya.

         "Lo tau, kan, Kakek udah sakit-sakitan?"

         Aku mengangguk pelan. Arian masih menatap kosong ke depan. Aku coba menerka apa yang akan ia ucapkan selanjutnya. Lima menit, sepuluh menit, masih kulihat bibirnya mengatup, tak ada pertanda bahwa ia akan melanjutkan ucapannya. Hingga hujan berhenti menjejak bumi, ia masih  tak juga bicara. Aku pun tak punya nyali untuk bertanya. Hingga semua itu terjawab di suatu sore yang indah berikutnya dengan rintik-rintik gerimis membasahi taman.

         "Titip buat Nara," Arian berkata pelan sambil mengulurkan sebuah kotak berpita ungu. Aku masih terdiam lalu menatapnya dengan beribu pertanyaan.

         "Jangan bingung. Cukup kasih ini buat Nara," ia mengulangi dan meletakkan kotak itu di atas pangkuanku.

         Aku tahu ini pertanda yang tidak baik. Sejak hujan di sore hari itu, aku mulai merasakan ada sesuatu. Aku selalu mencoba membaca tapi tidak pernah bisa. Tiba-tiba semuanya terjawab di hari ini. Pertemuan terakhirku dengan Arian di sore hari berteman gerimis. Aku sakit mendengar kenyataan bahwa dia harus pergi. Arian memelukku erat. Dia harus pergi karena untuk kebaikannya. Sejak tinggal bersama Kakek setelah kedua orangtuanya meninggal, ia sudah bisa menebak bahwa Kakek tidak mungkin sanggup membesarkannya di usia renta. Arian akan pergi. Aku akan kehilangan Arianku. Sahabat terbaik dan cinta pertamaku. Di sore itu aku tidak mampu berkata apa-apa. Menangis pun tidak. Aku bahkan tak membalas pelukannya. Aku hanya merasa tiba-tiba semangatku menghilang entah ke mana.

         Esok harinya, aku bertemu Nara. Aku ceritakan apa yang harus kusampaikan pada Nara dan juga kotak berpita ungu itu. Nara memelukku sambil menangis. Aku berusaha menguatkan. Entah mengapa Arian pun tidak pernah membicarakan sebelumnya dengan Nara. Semuanya terjadi tiba-tiba.

         Aku kehilangan Arian. Hujan hari ini tanpa Arian adalah sebuah kekosongan. Aku rindu Arian. Sore itu aku duduk di halte sendiri sambil menunggu hujan reda. Aku buka tas ranselku untuk mengambil tempat air minum. Tiba-tiba aku menemukan sebuah surat terselip di antara buku yang memang tidak pernah aku buka. Di dalam surat itu tertulis namaku.

Untuk Malika,

Maaf ya, gue tiba-tiba pergi.

Terima kasih udah jadi sahabat terbaik gue selama dua tahun ini.

Gue tahu perasaan lo ke gue, Ka. Terima kasih untuk perasaan lo itu.

Kalau suatu hari kita ketemu lagi, berarti kita memang berjodoh.

Dan gue gak akan membohongi diri gue lagi, Ka.

Gue bawa Diary Cokelat lo buat jadi kenangan gue.

See you soon.

Arian.

 

         Aku menangis. Itu tangisan pertamaku setelah Arian menghilang dari hidupku. Aku peluk sepucuk surat dari cinta pertamaku. Aku masih bisa berharap. Berharap tentangnya, sudah jadi keseharianku sejak kisahku dan Arian dimulai, dan aku akan terus menyimpannya.

***

(Ratih Sukmaning Tyas, foto: weheartit.com)