Kisah Sebutir Biji Kopi

By Astri Soeparyono, Sabtu, 20 Oktober 2012 | 16:00 WIB
Kisah Sebutir Biji Kopi (Astri Soeparyono)

            Sang bocah membelalakkan matanya bersemangat, "Apakah hal itu benar-benar bisa menyelamatkan hidup kita?"

            "Jangan bermimpi, Nak. Dasar bodoh, kasihan mereka...Jika hanya segelintir orang seperti mereka yang peduli, tidak aka nada hasilnya. Mencapai sesuatu yang baik itu memang sulit, Nak..."jawab sang petani bijaksana lalu tertatih-tatih mengunjungi kerumunan aktivis yang kelelahan.

            "Untuk apa kalian ke sini, Nak? Pulanglah..." ujar sang petani. Mahasiswa paling jangkung dan berkacamata langsung menyambut sang petani dengan menggebu-gebu.

            "Kami ingin berperan langsung untuk mewujudkan keadilan, Pak, Kami mengharapkan perdagangan yang bersih. Oleh karena itu, kami berusaha menghimpun tanda tangan dan dukungan moral dari para petani sebagai sasaran utama aksi ini. Kumpulan tanda tangan ini akan kami bawa untuk dijadikan modal melancarkan tuntutan-tuntutan selanjutnya kepada yang berwenang..." ucap sang mahasiswa ambisius.

            Sang petani hanya geleng-geleng kepala dan menorehkan tinta ke atas sanduk putih dengan jari-jarinya yang kuat.

            "Tanda tanganku sama sekali tidak penting, Nak. Mental dan kepribadian kalian sebagai generasi terpelajar, itu yang lebih penting! Jika suatu saat kalian menjadi sukses, ingatlah untuk berlaku adil. Hanya itu yang dapat menyelamatkan aku, semua petani dan kebangkitan bangsa ini! Bukan spanduk putih ini, Nak!"

            Kemarahan sang petani seakan membangunkan semua desa. Para mahasiswa saling berpandangan penuh arti. Mereka sadar bahwa untuk melakukan perubahan tidak cukup hanya menuntut, tapi juga dituntut...

***

            Truk-truk pengangkut biji kopi berhenti di depan gubuk sang petani. Seorang pria setengah baya dengan kemeja mwah yang kekecilan karena menahan perutnya yang buncit memerintahkan semua biji kopi yang telah layak jual untuk diangkut. Bola matanya semakin hijau karena dibutakan oleh uang.

            Sang produsen menekan digit-digit kalkulator, menetapkan harga jual yang rendah dan mengurangi setiap rupiah dengan hutang dan bunga yang berlipat-lipat ganda. Alhasil, pendapatan sang petani kian menipis setiap panennya dan lembaran uang yang diterima bahkan tidak cukup untuk sekedar menyeka keringat dan kesabaran yang dikorbankannya.

            Sang bocah cilik menanggapi dengan lesu. Dia memberanikan diri untuk mengajak sang produsen memperhatikan tumpukan biji-biji kopi yang diangkut paling akhir.

            "Apakah Bapak tahu bahwa ini biji kopi terbaik yang kami punya?"