Kisah Sebutir Biji Kopi

By Astri Soeparyono, Sabtu, 20 Oktober 2012 | 16:00 WIB
Kisah Sebutir Biji Kopi (Astri Soeparyono)

            Sang produsen membuka plastic yang melindunginya, mengangkat biji-biji kopi berukuran raksasa dengan bola mata hampir melayang ke udara, dan menikmati aroma menyengat kopi yang menenangkan.

            Dia berpura-pura bersikap seolah biasa-biasa saja. "Ah, sama saja!"

            "Dan apakah saya boleh tahu mengapa harga jual yang Bapak tetapkan sama?" tanya sang bocah kritis. Sang produsen meneguk ludah karena kehilangan kata-kata. Raut wajahnya membentuk ekspresi kemarahan seakan ingin menerkam...

            "Tidak. Tidak boleh! Kamu tidak berhak tahu!" jawabnya gusar. "Kamu harus terima keputusan saya...karena kamu...kamu..hanya petani..P-E-T-A-N-I!"

            Sang bocah merosot hingga wajahnya menyentuh tanah. Kata-kata itu adalah kata-kata terkejam yang pernah dia terima sepanjang hidupnya. Hatinya hancur. Dianggap tak berharga sebagai orang kecil...

            Sang biji kopi memandangi peristiwa itu dari truk yang melaju di jalan berbatu. Perpisahan yang menyedihkan. Tanpa lambaian tangan tanpa selamat tinggal,... tanpa senyuman...

            Sang biji kopi akan pergi menemui nasibnya. Sebuah pilihan terukir dalam dirinya. Dia harus menjadi biji kopi sejati.

***

            Beberapa biji kopi telah berakhir dalam sebuah cangkir air panas. Biji kopi kualitas terbaik telah diekspor hingga ke negara-negara antar benua. Sebagian biji kopi telah berhasil mencapai ambisi terbesarnya untuk berenang dalam cappuccino dengan sentuhan cokelat panas, krim dan susu.

            Namun, sang biji kopi dan gerombolan biji berkualitas paling istimewa lainnya masih berkumpul dalam suatu wadah kaca. Sang produsen menyisihkan biji-biji kopi itu untuk dinikmati setelah meraup sebuah kemenangan penjualan. Keuntungannya berkali-kali lipat dari harga jual rendah yang ditetapkannya.

            Sang produsen seakan berbicara dengan para biji kopi, "Kalian adalah biji kopi paling beruntung. Juru masakku akan meramu kalian dalam sentuhan kopi klasik terlezat. Kalian akan menari-nari dalam setiap tegukanku..."

            Beberapa biji kopi menanggapi pernyataan sang produsen dengan mata berbinar-binar.