Kisah Sebutir Biji Kopi

By Astri Soeparyono, Sabtu, 20 Oktober 2012 | 16:00 WIB
Kisah Sebutir Biji Kopi (Astri Soeparyono)

Sebutir biji kopi tergantung di ujung sebuah ranting yang dihinggapi daun-daun segar menghijau. Sinar matahari desa yang teduh dan nyanyian segerombol biji kopi dari ratusan pohon lainnya yang tak sadar menyambut datangnya pagi telah mengganggu mimpi indahnya. Setetes embun jatuh menggelitik tubuhnya yang gempal. Dia mendesah kesal sambil berayun di tangkai lunak yang hampir terpisah dari ranting.

            Baginya, pagi ini adalah hari yang sangat bersejarah dalam hidupnya. Kulitnya telah berubah dari kuning terang menjadi merah tua. Dia tidak tahu harus menanggapi perubahan ini dengan kebahagiaan ataukah kesedihan. Yang dia tahu, pagi ini adalah hari terakhirnya bertengger di tangkainya yang mulai merapuh, menikmati percikan hujan dan riangnya mentari dan bercanda bersama segerombol biji kopi lain yang menunggu saatnya panen. Hari-hari menyenangkan itu seakan berlalu sedemikian cepat. Saat itu, dia masih sebuah benih yang kini telah menjadi sebutir biji kopi yang paling sehat. Saat itu, kulitnya masih hijau. Dan saat itu, dia masih tak beharga. Kini, dia telah menjelma menjadi sesuatu yang diagungkan dan dikagumi banyak orang. Meleleh dalam hangatnya susu, dinginnya es krim dan berenang dalam kenikmatan secangkir ramuan kopi paling lezat sedunia... Hmmm, luar biasa!

            Suara langkah kaki yang khas menandakan tibanya saat yang dinanti. Seorang bocah cilik bertelanjang dada dan tanpa alas kaki muncul dengan keranjang rotan besar di bahunya. Gerombolan biji kopi saling berteriak seirama memaggil sang bocah meminta untuk dipetik paling awal. Namun, biji kopi yang bergantung lesu di tangkainya itu hanya menunggu dengan sabar. Lagi pula, sipa yang mau cepat-cepat dihancurkan menjadi bubuk, dikemas dan didaratkan di perut-perut para penggila kopi? Walaupun terlibat dalam ramuan kopi yang istimewa adalah kehormatan dan prestasi tertinggi bagi setiap biji kopi di dunia, bukan hal tersebut yang membuat biji kopi yang satu ini tidak bersemangat dan ingin berdedikasi. Tapi, karena bocah lelaki itu...

            Bocah lelaki yang tubuh hitamnya itu telah bermandikan keringat mengunjungi pohon kediaman sang biji kopi. Sang bocah memetik bertangkai-tangkai biji kopi dan memisahkannya. Pohon tempat bertenggernya sang biji kopi itu memang selalu menghasilkan biji-biji kopi yang paling gemuk dan sehat. Dari sorot mata bocah kelelahan itu, sang biji kopi sadar bahwa bocah ini berharap dia bisa menjual produknya sedikit lebih mahal. Walaupun kenyataannya, tetap saja sabg pengusaha menghargai setiap biji dengan sedikit lebih murah.

            Gerombolan biji kopi lainnya tertidur lelap dalam ayunan keranjang rotan. Sang biji kopi masih berdiam diri dan memperhatikan sang bocah yang berlari-lari keluar dari kebun kopi. Entah mengapa, hanya biji kopi itu yang seakan memiliki rasa dan hasrat untuk memberontak. Mungkin, karena dia lahir dan dibesarkan dalam tangisan. Atau mungkin, benih pohon ini dibeli dengan manisnya keringat dan pengorbanan. Sehingga dia tumbuh menjadi biji kopi yang istimewa . biji kopi yang punya keterikatan batin luar biasa dengan sang bocah. Biji kopi yang selalu mendengar rintihan sang bocah atas keinginannya untuk bisa bersekolah, penderitaannya  karena-utang yang berbelit-belit dan ketidakadilan harga yang ditetapkan pengusaha. Biji kopi yang tahu warna celana yang sama yang dipakai sang bocah detiap hari. Dan biji kopi yang telah bosan mendengar kata-kata 'miskin' dan 'derita' yang selalu keluar dari mulut sang bocah...

            Sayangnya, dia hanya sebutir biji kopi. Pahit. Yang hanya bisa menunggu untuk dihidangkan dalam secangkir air panas.

***

            Sang biji kopi lulus tahap seleksi. Hanya biji kopi yang berkualitas saja yang laku di pasaran. Sang petani yang wajahnya persegi menyotir setiap biji sesuai bobotnya ke dalam karung dengan tangannya yang berotot dan penuh urat menyumbul di setiap inci lengannya. Kepalanya sudah dipenuhi uban putih dan giginya mulai tanggal. Seharusnya, dia sudah layak pensiun. Sudah berpuluh-puluh tahun dia bergaul dengan biji kopi tetapi taraf  hidupnya belum pernah mengalami peningkatan. Bahkan gejolak ekspor yang tinggi tidak memberikan jaminan hidup mereka semakin membaik. Hanya ketidakadilan yang semakin merajai hidup petani miskin ini. Namun, dia tetap berusaha bertahan dan enggan untuk menjual kebunnya. Baginya, menghirup aroma kopi sama dengan menambah satu detik kebahagiaannya.

            Sang petani bersenandung untuk meredakan kehampaan di hatinya. Beberapa pemuda mengangkat puluhan ember biji kopi untuk dikeringkan. Sang bocah ikut membantu menyusun barisan-barisan biji kopi hingga rapi. Terkadang, dia belajar membentuk huruf-huruf  dari susunan biji kopi yang sedang dijemur. Dan, sang bocah selalu menjadikan sang biji kopi sebagai favoritnya. Bentuknya yang paling besar dan mengkilat selalu menjadikannya pusat perhatian.

            Selama berminggu-minggu, sang biji kopi terbaring di bawah terik matahari. Tubuhnya benar-benar kering dan mati rasa. Namun, saat biji-biji kopi yang lain terhipnotis oleh panggangan alam dan mengigau menjadi cappuccino beraroma cokelat, sang biji kopi menyaksikan fenomena-fenomena yang lain. Isu ketidakadilan ini teryata telah merebak ke khalayak ramai, bukan hanya ke telinga biji kopi gemuk ini. Sudah berkali-kali aktivis HAM dan mahasiswa datang berbondong-bondong sambil membawa spanduk dan mensosialisasikan kepada petani mengenai  fair trade yang sedang berusaha digalakkan ini. Sang biji kopi hanya manggut-manggut setuju. Walaupun dia bukan biji kopi bergelar sarjanah yang tahu apa itu arti fair trade, dia yakin bahwa aksi ini dapat menyelamatkan sang petani dari krisis yang panjang.

            "Ayah, mengapa mereka datang kemari?" tanya sang bocah ragu-ragu sambil menghitung biji-biji kopi yang telah kering.

            Sang petani menoleh dengan malas ," Ayah tidak mengerti. Sepertinya, mereka sedang ingin melakukan sesuatu untuk memperbaiki kehidupan para petani"

            Sang bocah membelalakkan matanya bersemangat, "Apakah hal itu benar-benar bisa menyelamatkan hidup kita?"

            "Jangan bermimpi, Nak. Dasar bodoh, kasihan mereka...Jika hanya segelintir orang seperti mereka yang peduli, tidak aka nada hasilnya. Mencapai sesuatu yang baik itu memang sulit, Nak..."jawab sang petani bijaksana lalu tertatih-tatih mengunjungi kerumunan aktivis yang kelelahan.

            "Untuk apa kalian ke sini, Nak? Pulanglah..." ujar sang petani. Mahasiswa paling jangkung dan berkacamata langsung menyambut sang petani dengan menggebu-gebu.

            "Kami ingin berperan langsung untuk mewujudkan keadilan, Pak, Kami mengharapkan perdagangan yang bersih. Oleh karena itu, kami berusaha menghimpun tanda tangan dan dukungan moral dari para petani sebagai sasaran utama aksi ini. Kumpulan tanda tangan ini akan kami bawa untuk dijadikan modal melancarkan tuntutan-tuntutan selanjutnya kepada yang berwenang..." ucap sang mahasiswa ambisius.

            Sang petani hanya geleng-geleng kepala dan menorehkan tinta ke atas sanduk putih dengan jari-jarinya yang kuat.

            "Tanda tanganku sama sekali tidak penting, Nak. Mental dan kepribadian kalian sebagai generasi terpelajar, itu yang lebih penting! Jika suatu saat kalian menjadi sukses, ingatlah untuk berlaku adil. Hanya itu yang dapat menyelamatkan aku, semua petani dan kebangkitan bangsa ini! Bukan spanduk putih ini, Nak!"

            Kemarahan sang petani seakan membangunkan semua desa. Para mahasiswa saling berpandangan penuh arti. Mereka sadar bahwa untuk melakukan perubahan tidak cukup hanya menuntut, tapi juga dituntut...

***

            Truk-truk pengangkut biji kopi berhenti di depan gubuk sang petani. Seorang pria setengah baya dengan kemeja mwah yang kekecilan karena menahan perutnya yang buncit memerintahkan semua biji kopi yang telah layak jual untuk diangkut. Bola matanya semakin hijau karena dibutakan oleh uang.

            Sang produsen menekan digit-digit kalkulator, menetapkan harga jual yang rendah dan mengurangi setiap rupiah dengan hutang dan bunga yang berlipat-lipat ganda. Alhasil, pendapatan sang petani kian menipis setiap panennya dan lembaran uang yang diterima bahkan tidak cukup untuk sekedar menyeka keringat dan kesabaran yang dikorbankannya.

            Sang bocah cilik menanggapi dengan lesu. Dia memberanikan diri untuk mengajak sang produsen memperhatikan tumpukan biji-biji kopi yang diangkut paling akhir.

            "Apakah Bapak tahu bahwa ini biji kopi terbaik yang kami punya?"

            Sang produsen membuka plastic yang melindunginya, mengangkat biji-biji kopi berukuran raksasa dengan bola mata hampir melayang ke udara, dan menikmati aroma menyengat kopi yang menenangkan.

            Dia berpura-pura bersikap seolah biasa-biasa saja. "Ah, sama saja!"

            "Dan apakah saya boleh tahu mengapa harga jual yang Bapak tetapkan sama?" tanya sang bocah kritis. Sang produsen meneguk ludah karena kehilangan kata-kata. Raut wajahnya membentuk ekspresi kemarahan seakan ingin menerkam...

            "Tidak. Tidak boleh! Kamu tidak berhak tahu!" jawabnya gusar. "Kamu harus terima keputusan saya...karena kamu...kamu..hanya petani..P-E-T-A-N-I!"

            Sang bocah merosot hingga wajahnya menyentuh tanah. Kata-kata itu adalah kata-kata terkejam yang pernah dia terima sepanjang hidupnya. Hatinya hancur. Dianggap tak berharga sebagai orang kecil...

            Sang biji kopi memandangi peristiwa itu dari truk yang melaju di jalan berbatu. Perpisahan yang menyedihkan. Tanpa lambaian tangan tanpa selamat tinggal,... tanpa senyuman...

            Sang biji kopi akan pergi menemui nasibnya. Sebuah pilihan terukir dalam dirinya. Dia harus menjadi biji kopi sejati.

***

            Beberapa biji kopi telah berakhir dalam sebuah cangkir air panas. Biji kopi kualitas terbaik telah diekspor hingga ke negara-negara antar benua. Sebagian biji kopi telah berhasil mencapai ambisi terbesarnya untuk berenang dalam cappuccino dengan sentuhan cokelat panas, krim dan susu.

            Namun, sang biji kopi dan gerombolan biji berkualitas paling istimewa lainnya masih berkumpul dalam suatu wadah kaca. Sang produsen menyisihkan biji-biji kopi itu untuk dinikmati setelah meraup sebuah kemenangan penjualan. Keuntungannya berkali-kali lipat dari harga jual rendah yang ditetapkannya.

            Sang produsen seakan berbicara dengan para biji kopi, "Kalian adalah biji kopi paling beruntung. Juru masakku akan meramu kalian dalam sentuhan kopi klasik terlezat. Kalian akan menari-nari dalam setiap tegukanku..."

            Beberapa biji kopi menanggapi pernyataan sang produsen dengan mata berbinar-binar.

            "Nasibkku akan berakhir dengan indah!"

            "Akhirnya aku bisa merasakan menjadi biji kopi yang sesungguhnya"

            "Aku sudah tidak sabar ingin berenang dalam balutan krim dan susu..."

            Sang biji kopi mendengar pernyataan-pernyataan polos dari sahabat-sahabatnya dengan gusar. "Apa yang kalian lakukan? Dia bukan orang yang pantas untuk menikmati kalian. Dia telah menyakiti petani kita. Seseorang yang telah merawat kita dengan sedemikian baik. Dia tidak akan suka jika biji-biji kopi hasil terbaiknya dinikmati oleh pria tak berperasaan seperti dia!"

            "Maafkan kami, sahabat. Tapi, kita memang hanya biji kopi. Kami ingin merasakan kehormatan tertinggi untuk menjadi secangkir kopi yang lezat di akhir perjalanan hidup kami"

            Sang biji kopi kecewa dengan jawaban klise itu. "Kalian tidak akan memperoleh kehormatan tertinggi, sahabatku. Aku tidak akan membiarkan hidupku menjadi pecundang dan mengkhianti sang petani1 bagiku itu adalah setingi-tingginya kehormatan!"

            Sang biji kopi menggelindingkan tubuhnya setelah sang juru masak membuka tutup wadahnya. Sang produsen tersentak kaget melihat pemandangan itu. biji kopi teristimewa yang pernah dia saksikan melarikan diri ke luar pintu kamarnya.

            "Tangkap biji kopi itu! apapun yang terjadi, tangkap dia! Aku harus menikmatinya!!!" perintah sang produsen dengan suara bagai gemuruh kilat di langit mendung.

            Sang biji kopi mengumpulkan sisa-sisa energi terakhirnya. Dia menuruni tangga dengan cepat untuk menjauhi jari-jari sang juru masak yang ingin menangkapnya. Dia menghimpun semua keberaniannya, memantul ke luar rumah, mendarat dengan menyakitkan di sebuah jalan beraspal, ban mobil besar melindasnya dan....

            KRAAAKKK...

            Sang biji kopi pecah menjadi serpihan. Akhir hidup yang tragis bagi sebuah biji kopi istimewa. Namun, ini lebih damai baginya. Dia telah berhasil menjadi biji kopi sejati dengan kehormatan tertinggi di pundaknya.

            Kisah-kisah yang terekan di memori masa lalunya telah menjadi bukti. Dia adalah duta biji kopi dan pahlawan fair trade sejati....

***

Oleh : Faris Noviyanti