Ketika

By Astri Soeparyono, Minggu, 23 September 2012 | 16:00 WIB
Ketika (Astri Soeparyono)

Kepada

Yth. Presiden RI

Susilo Bambang Yudhoyono

Di Tempat

Dengan Hormat,

Saya mungkin telah sangat lancing, menulis surat ini kepada Bank entah sudah yang keberapa puluh kalinya. Namun saya yakin, Bapak sebagai kepala Negara seyogyanya akan menamatkan surat saya kali ini.

Bapak yang terhormat, sungguh ini adalah satu-satunya cara bagi saya untuk 'curhat' mengenai apa yang saya rasakan sebagai rakyat. Rasanya tak sopan, bila saya mengusung replica wajah Bapak lewat sebuah spanduk raksasa yang dipajang di depan kediaman Bapak sambil berteriak tak karuan.

Saya tahu, suara saya pasti serak dan saya hanya akan mendapat sambutan rombongan polisi bersenapan. Sebenarnya kami tak meminta apa-apa, kecuali kemakmuran di atas Ibu Pertiwi kami sendiri. Bukankah Bapak pelindung kami, di mana beban yang kau tanggung di pundakmu adalah atas nama kami? Untuk itu, perkenankanlah saya bercerita sebentar.

Sebenarnya, saya adalah pencari keadilan. Seperti teman yang sering muncul dipermukaan oleh kalangan luas saat ini. Namun, siapa yang mengenal keadilan? Bagaimana bentuknya dan apa warnya. Saya (dan setiap manusia lain) tak tahu menahu adil yang bagaimana rupa. Keadilan itu abu-abu. Bukan hitam, putih juga tidak. Keadilan seperti mengapung dalam atmosfer yang abstrak. Seandainya, manusia dapat menciptakan keadilan atau keadilan itu sendiri benar-benar ada (bagi manusia), pastilah tempat ini tak seberapa memilukan.

Seandainya adil itu ada, semua orang di bumi pernah merasakan dinginnya bilik penjara. Bukankah kita adalah keturunan pembunuh sejak Adam berputrakan Qabyl? Dan sampai sekarang seperti itulah cara kita hidup (tanpa kita sadari). Mengadopsi hukum rimba, siapa yang kuat, dialah yang hidup. Bila perlu kawan sendiri dimangsa, asal dia berkuasa.

Setiap orang pernah melakukan dosa. Lucunya, bila ada yang tertangkap, bisa jadi ia hanya tertimpa sial. Namun bagi saya, tak ada orang jahat di dunia ini. Kenyataannya hanya orang-orang yang tidak mengerti.

Sekali lagi, saya memang terlampau sok filsafat. Karena sepercik cerita saya ini, telah lama membuat saya tak habis pikir. Maukah Bapak membaca secercah kisah saya, yang mungkin saja tertoreh dan seribu, dua ribu atau sejuta orang yang bernasib sama seperti saya?

Sebenarnya, saya hanya orang biasa (menurut saya pribadi). Saya seorang putra Tunggal Tuan Tanah yang merajai beberapa daerah persawahan di pulau Jawa, perkebunan kelapa sawit, bahkan lahan tebu di tanah Papua. Beliau (Ayah saya) hampir renta, dan mengirim saya jauh ke negeri orang untuk menuntut ilmu. Katanya, agar saya kelak dapat memperluas wilayah pertaniannya.