"Sebentar lagi rumahku ini banjir. Dan tanah yang kau pijak sekarang adalah lantai rumahku yang selalu becek setiap kali musim hujan. Jikalau aku memperbaikinya dengan semen, aku takut tak bisa makan nasi dan akan mati perlahan seperti halnya adikku yang makan gatot saat musim pancklik. Saat ia sekarat, aku nyaris tak mampu berbuat apa-apa karena hanya seorang petani dan hanya mampu mngobatinya dengan lumut di sungai." Waktu itu saya dapat merasakan lutut saya gemetar.
"Aku senang sekali waktu dia sekolah. biarpun miskin dan tak mampu beli buku, tapi Muji adalah anak yang pandai. Aku hawatir bila ia tak dapat melanjutkan sekolah seperti aku dulu. Maka aku berpikir, ada baiknya bila ia tiada. Walaupun aku sendiri takut mau menjawab apa pada Emak sepulangnya beliau dari Arab.
Seandainya, Bapak Tuan itu mau sedikit berlaku adil, adikku tak kan mati, Emakku tak berangkat ke Arab, dan mungkin aku pun tak menjadi petani. Aku heran pada Tuan. Ilmu apa yang kau dapatkan sehingga kau diam saja melihat kami menderita? Bukankah orang pandai selalu mencari kebenaran? Itulah yang membuatku sama sekali tak berempati pada Tuan," suara Pri yang parau seperti bersatu dengan derasnya hujan. Tapi jelas pada telinga saya.
"Bapakku petani, bahkan bapaknya Bapakku juga petani. Tapi begini-begini saja kehidupanku. Andaikata pejabat, pasti sudah kaya raya. Padahal belum tentu juga mereka bekerja dengan baik seperti kami yang menjaga padi agar tak terserang hama. Seandainya keberanianku melebihi penderitaanku sebagai seorang petani, pasti aku akan membuat seluruh petani di desa ini untuk melawan Ayah tuan. Tanpa kami, apa yang bisa ia perbuat dengan lahan-lahannya? Apakah tuan sebagai orang terpelajar akan membuat tanah-tanah itu subur dengan sendirinya?"
Saya pulang dengan kepala tertunduk malam itu. Kata-kata Pri lebih hebat daripada Profesor yang menulis buku. Sebuah pelajaran yang belum pernah saya temui di buku tesis manapun. Benar apa yang Pri bilang, sudah seharusnya petani menerima keuntungan yang sama rata, apalagi mereka lah yang menghasilkan barang. Apa yang terjadi bila ini terus berlanjut? Berapa juta petani yang menderita dan berapa juta TKI yang berangkat ke Timur Tengah? Karena di negeri sendiri mereka sering tak memakan apa yang mereka tanam.
***
Tujuh hari berselang, desa ricuh. Para petani gelisah karena peralatan bertani mereka raib secara perlahan. Desas-desus pemberontakan mulai menyebar.
"Kurang ajar! Siapa yang mengancam petani untuk menentangku?" tandas Ayah. Napasnya tersengal menahan amarah.
"Ini pasti ulah bocah tak tahu diuntung itu. sebelumnya tak ada yang berani melawanku!"
Menurut saya, itulah cara terakhir sang pelaku untuk membujuk petani agar mau memberontak dan agar mereka tak bekerja supaya panen gagal. Saat itu juga. Ayah memerintahkan seluruh orang desa berkumpul. Rumah mereka digeledah. Dan pencarian selama beberapa jam itu berakhir setelah ditemukannya sebuah lubang yang besar dan dalam di dekat sungai untuk memendam hasil curian berupa cangkul, golok, arit, dan perkakas bertani lainnya. Sangat mencengangkan!
Satu kompi polisi didatangkan untuk menangkap pelaku. Dan yang disinyalir sebagai otak pencurian adalah Pri. Tentu saja karena ialah petani yang paling vocal untuk membangkang pada Tuan Tanah. Saat itu saya melihatnya di balik punggung warga. Setiap warga dipaksa untuk mengaku dan meyerahkan diri. Dan nyaris semua yang hadir menuduh Pri.
Polisi menyebar. Beberapa menit kemudian, si pelaku diarak menuju mobil polisi diiringi tatapan warga desa yang tak percaya. Tangannya diborgol sambil memandang Tuan Tanah dengan mata yang seolah berteriak, "Selalu ada harga yang setimpal untuk sebuah keadilan."
Sang pelaku berjalan tanpa memiliki bersalah. Sepertinya puas dngan apa yang ia lakukan.
Pri tercekat, ia berdiri terpaku.
Ayah takjub, begitu juga dengan saya yang tak pernah melihatnya semarah itu sebelumnya. Raut kekecewaan juga rasa penasaran yang selama ini menggerayanginya akhirnya berkahir sudah. Semoga ayah sadar, bahwa tujuan si pelaku adalah memberikan peringatan yang begitu tegas. Bahwa warisan paling berharga agar tanahnya semakin kaya adalah petani, bukan siapa-siapa.
Melalui kejadian tiga tahun lalu itu, saya belajar banyak dari petani. Dan karena itu pula, saya memberanikan diri menulis surat ini kepada Bapak sebagai salah seorang kepala negara Agraris agar mau mencermati kondisi aset perdagangan yang selama ini dinomor sekiankan. Mereka adalah petani, sumber daya manusia yang stakeholder dalam mengembangkan ilmunya. Untuk itu betapa sedihnya saya, bila banyak istri, atau kerabat petani yang berangkat ke negeri seberang berharap kemakmuran keluarganya dan pulang membawa oleh-oleh peti jenazah. Tanggung jawab siapakah ini? Tuan tanah kah, atau tengkulak? Dan menurut saya, Pri hanya segemetir petani yang menyeruak sisi keadilan yang begitu samarnya dari sekian juta petani di seluruh dunia. Dan pada akhirnya, bukan semata petani yang paling dominan dalam perdagangan, tapi juga seluruh kelompok yang menghasilkan barang dasar, yang lebih sering terlantar. Mereka patut disamaratakan dalam menerima keuntungan.
Untuk itu, maukah bapak membalas surat saya ini? Yaitu dengan harapan, bila Bapak Presiden yang terhormat suatu saat nanti (kalau bisa secepatnya) berada di tengah-tengah Kofi Anan, ketua FAO Dr. Jacques Diouf, para wakilnya Romualdo Bettini, Abubakar Al Mansouri juga seluruh pihak yang merasa peduli untuk menemukan pencerahan bagi petani masa depan sebagai pelaku perdagangan internasional. Oh ya, Pak, rasanya saya hampir menemukan makna keadilan. Bukan seperti kubus, atas-bawah, depan-belakang, samping kanan-kiri. Melainkan bulat menyeluruh.
Seharusnya seperti bumi ciptaan Tuhan bukan? Itulah mengapa keadilan mutlak hanya milik Tuhan.
Hormat Saya
Anggoro Prayoga
Rutan Salemba
***
Oleh: Rosa Elvira