Ketika

By Astri Soeparyono, Minggu, 23 September 2012 | 16:00 WIB
Ketika (Astri Soeparyono)

Alangkah bangganya saya kala itu. pulang ke Indonesia setelah menyelesaikan S2 Pertanian di Yale University dengan predikat Cum Laude. Saya pun gemar mengangkat dagu tinggi saat ditegur sapa oleh para bawahan. Anehnya, ada seorang pemuda (petani) bernama Pri yang begitu kurang ajar pada saya. Dia menyuruh saya untuk membawakan arit (peralatan bertani) ketika saya berjalan-jalan menyusuri perkebunan dan sawah. Tak cukup sampai di situ, ia pun mengacuhkan saya dan enggan mendengar himbauan saya untuk menaikkan mutu tanaman. Saya rasa ia lebih suka sibuk di sungai setelah membajak sawah. Mencari lumut untuk mengobati demam adik bungsunya. Terus terang saya membencinya, karena tanpa alasan ia pun membenci saya. Dasar miskin! Sudah melarat, tak tahu diri pula. Tak mau menuruti perintah atasan, pantas saja melarat! Begitu umpat saya waktu itu (dan agak keterlaluan).

Selang beberapa lama, kesehatan adiknya bertambah buruk. Bahkan kabar yang saya dengar, adik Pri itu sampai putus sekolah lantaran butuh biaya untuk berobat karena terus terang saja, Puskesmas desa belum juga memadai. Muji adik si Pri itu akhirnya dibawa ke rumah sakit di kota. Sayangnya, karena tak mampu menanggung biaya perawatan, Muji pun meninggal dunia setelah beberapa hari di rawat di rumah. Keterangan yang diberikan oleh rumah sakit, penyakit yang diderita Muji itu disebabkan disentri, karena ia sering memakan gatot (singkong difermentasi dan dikeringkan) sebagai pengganti nasi. Herannya, saya belum juga prihatin.

Begitu terpukul atas kematian adiknya, Pri lalu berbuat nekat. Di suatu sore para petani pulang, ia malah berdiri di atas mimbar Surau selepas Asar dan saat tempat itu telah sepi benar. "KITA HARUS MENEGAKKAN KEADILAN DI DESA INI!!! SAMPAI KAPAN KITA MAU DIPERMAINKAN OLEH TUAN TANAH? DIA DAN TENGKULAK SUDAH LAMA MENINDAS KITA DENGAN UPAH YANG SANGAT KECIL!"

Pekiknya waktu itu melalui pengeras suara. Saya terperanjat! Mengapa Ayah dibawa-bawa, dan ditentang sedemikian rupa oleh seorang petani? Betapa beraninya ia?

"Samsul, si Tuan Tanah tua Bangka itu sangat keterlaluan! Kalau kita tak serempak menuntut hak kita, bukan hanya adik saya yang mati, atau saya dan tuan-tuan saja yang menderita. Tapi keturunan-keturunan kita tak akan pernah mencicipi sedikit kemakmuran di atas tanah yang mereka garap, juga berhektar-hektar kebun yang kita olah dan rawat dengan keringat kita," imbuhnya lagi. Membuat orang satu desa mulai menaruh perhatian. Ayah tentu saja naik pitam dan menyuruh saya untuk menyeret pemberontak itu.

"Kita jangan mau terus menerus dibodohi oleh Samsul. Agar kita mendapatkan apa yang seharusnya setimpal dengan jerih payah kita. Coba tuan-tuan pikir? Apakah masuk akal, sawah dan kebun yang kita rawat bertahun-tahun diimbal dengan upah yang tak mampu membuat perut kita kenyang? Kalau bukan kita sendiri yang melawan, siapa lagi yang mau membantu kita? Apakah ada yang peduli? Otot-otot kita yang hampir kerontang ini saja tak dapat mengangkat derajat kita..."

Serta merta, saya menyibak kerumunan. Lalu menyeret Pri dengan paksa hingga ke rumahnya. Wajah-wajah yang memandang terlihat pias. Seiring mendung yang mendera langit desa.

"JANGAN KURANG AJAR KAMU, PRI!!!" hardik saya waktu itu. Hujan turun deras di luar. Pri menatap saya nanar.

"Kau pikir, siapa yang memberimu makan di desa ini? HAH? Jadilah orang yang tahu diri! Memangnya petani miskin itu salah kami? Kemakmuran apa yang kau maksud?" Pri mengangkat wajahnya dan menukas.

"Kemakmuran bukan hanya perut yang kenyang. Maksudku, kemakmuran adalah apa yang kau dapatkan dan tak pernah kami rasakan. Kemakmuran adalah waktu kami tak ditindas oleh kebodohan, dan saat kami bisa sehat kembali sewaktu sakit juga tempat tinggal dan hidup yang layak. Dan seharusnya itu setimpal dengan kerja keras kami, mengabdi pada tanah milik Bapak Tuan.

Sedihnya, para petani itu selalu menolak untuk memberontak. Padahal, kami semua punya unek-unek yang sama dan hanya mampu kami telan sendiri. Apa Tuan punya usul, apa yang sebaiknya kami perbuat?" ujar Pri lirih. Saya mulai tak mampu menatapnya.

"Sekarang kau tahu sendiri bukan bagaimana penderitaan kami?" Pri menatap saya lekat saat riakan hujan menetes di atas ubun-ubun saya. Petir seakan menyambar ulu hati saya.