Kepada
Yth. Presiden RI
Susilo Bambang Yudhoyono
Di Tempat
Dengan Hormat,
Saya mungkin telah sangat lancing, menulis surat ini kepada Bank entah sudah yang keberapa puluh kalinya. Namun saya yakin, Bapak sebagai kepala Negara seyogyanya akan menamatkan surat saya kali ini.
Bapak yang terhormat, sungguh ini adalah satu-satunya cara bagi saya untuk 'curhat' mengenai apa yang saya rasakan sebagai rakyat. Rasanya tak sopan, bila saya mengusung replica wajah Bapak lewat sebuah spanduk raksasa yang dipajang di depan kediaman Bapak sambil berteriak tak karuan.
Saya tahu, suara saya pasti serak dan saya hanya akan mendapat sambutan rombongan polisi bersenapan. Sebenarnya kami tak meminta apa-apa, kecuali kemakmuran di atas Ibu Pertiwi kami sendiri. Bukankah Bapak pelindung kami, di mana beban yang kau tanggung di pundakmu adalah atas nama kami? Untuk itu, perkenankanlah saya bercerita sebentar.
Sebenarnya, saya adalah pencari keadilan. Seperti teman yang sering muncul dipermukaan oleh kalangan luas saat ini. Namun, siapa yang mengenal keadilan? Bagaimana bentuknya dan apa warnya. Saya (dan setiap manusia lain) tak tahu menahu adil yang bagaimana rupa. Keadilan itu abu-abu. Bukan hitam, putih juga tidak. Keadilan seperti mengapung dalam atmosfer yang abstrak. Seandainya, manusia dapat menciptakan keadilan atau keadilan itu sendiri benar-benar ada (bagi manusia), pastilah tempat ini tak seberapa memilukan.
Seandainya adil itu ada, semua orang di bumi pernah merasakan dinginnya bilik penjara. Bukankah kita adalah keturunan pembunuh sejak Adam berputrakan Qabyl? Dan sampai sekarang seperti itulah cara kita hidup (tanpa kita sadari). Mengadopsi hukum rimba, siapa yang kuat, dialah yang hidup. Bila perlu kawan sendiri dimangsa, asal dia berkuasa.
Setiap orang pernah melakukan dosa. Lucunya, bila ada yang tertangkap, bisa jadi ia hanya tertimpa sial. Namun bagi saya, tak ada orang jahat di dunia ini. Kenyataannya hanya orang-orang yang tidak mengerti.
Sekali lagi, saya memang terlampau sok filsafat. Karena sepercik cerita saya ini, telah lama membuat saya tak habis pikir. Maukah Bapak membaca secercah kisah saya, yang mungkin saja tertoreh dan seribu, dua ribu atau sejuta orang yang bernasib sama seperti saya?
Sebenarnya, saya hanya orang biasa (menurut saya pribadi). Saya seorang putra Tunggal Tuan Tanah yang merajai beberapa daerah persawahan di pulau Jawa, perkebunan kelapa sawit, bahkan lahan tebu di tanah Papua. Beliau (Ayah saya) hampir renta, dan mengirim saya jauh ke negeri orang untuk menuntut ilmu. Katanya, agar saya kelak dapat memperluas wilayah pertaniannya.
Alangkah bangganya saya kala itu. pulang ke Indonesia setelah menyelesaikan S2 Pertanian di Yale University dengan predikat Cum Laude. Saya pun gemar mengangkat dagu tinggi saat ditegur sapa oleh para bawahan. Anehnya, ada seorang pemuda (petani) bernama Pri yang begitu kurang ajar pada saya. Dia menyuruh saya untuk membawakan arit (peralatan bertani) ketika saya berjalan-jalan menyusuri perkebunan dan sawah. Tak cukup sampai di situ, ia pun mengacuhkan saya dan enggan mendengar himbauan saya untuk menaikkan mutu tanaman. Saya rasa ia lebih suka sibuk di sungai setelah membajak sawah. Mencari lumut untuk mengobati demam adik bungsunya. Terus terang saya membencinya, karena tanpa alasan ia pun membenci saya. Dasar miskin! Sudah melarat, tak tahu diri pula. Tak mau menuruti perintah atasan, pantas saja melarat! Begitu umpat saya waktu itu (dan agak keterlaluan).
Selang beberapa lama, kesehatan adiknya bertambah buruk. Bahkan kabar yang saya dengar, adik Pri itu sampai putus sekolah lantaran butuh biaya untuk berobat karena terus terang saja, Puskesmas desa belum juga memadai. Muji adik si Pri itu akhirnya dibawa ke rumah sakit di kota. Sayangnya, karena tak mampu menanggung biaya perawatan, Muji pun meninggal dunia setelah beberapa hari di rawat di rumah. Keterangan yang diberikan oleh rumah sakit, penyakit yang diderita Muji itu disebabkan disentri, karena ia sering memakan gatot (singkong difermentasi dan dikeringkan) sebagai pengganti nasi. Herannya, saya belum juga prihatin.
Begitu terpukul atas kematian adiknya, Pri lalu berbuat nekat. Di suatu sore para petani pulang, ia malah berdiri di atas mimbar Surau selepas Asar dan saat tempat itu telah sepi benar. "KITA HARUS MENEGAKKAN KEADILAN DI DESA INI!!! SAMPAI KAPAN KITA MAU DIPERMAINKAN OLEH TUAN TANAH? DIA DAN TENGKULAK SUDAH LAMA MENINDAS KITA DENGAN UPAH YANG SANGAT KECIL!"
Pekiknya waktu itu melalui pengeras suara. Saya terperanjat! Mengapa Ayah dibawa-bawa, dan ditentang sedemikian rupa oleh seorang petani? Betapa beraninya ia?
"Samsul, si Tuan Tanah tua Bangka itu sangat keterlaluan! Kalau kita tak serempak menuntut hak kita, bukan hanya adik saya yang mati, atau saya dan tuan-tuan saja yang menderita. Tapi keturunan-keturunan kita tak akan pernah mencicipi sedikit kemakmuran di atas tanah yang mereka garap, juga berhektar-hektar kebun yang kita olah dan rawat dengan keringat kita," imbuhnya lagi. Membuat orang satu desa mulai menaruh perhatian. Ayah tentu saja naik pitam dan menyuruh saya untuk menyeret pemberontak itu.
"Kita jangan mau terus menerus dibodohi oleh Samsul. Agar kita mendapatkan apa yang seharusnya setimpal dengan jerih payah kita. Coba tuan-tuan pikir? Apakah masuk akal, sawah dan kebun yang kita rawat bertahun-tahun diimbal dengan upah yang tak mampu membuat perut kita kenyang? Kalau bukan kita sendiri yang melawan, siapa lagi yang mau membantu kita? Apakah ada yang peduli? Otot-otot kita yang hampir kerontang ini saja tak dapat mengangkat derajat kita..."
Serta merta, saya menyibak kerumunan. Lalu menyeret Pri dengan paksa hingga ke rumahnya. Wajah-wajah yang memandang terlihat pias. Seiring mendung yang mendera langit desa.
"JANGAN KURANG AJAR KAMU, PRI!!!" hardik saya waktu itu. Hujan turun deras di luar. Pri menatap saya nanar.
"Kau pikir, siapa yang memberimu makan di desa ini? HAH? Jadilah orang yang tahu diri! Memangnya petani miskin itu salah kami? Kemakmuran apa yang kau maksud?" Pri mengangkat wajahnya dan menukas.
"Kemakmuran bukan hanya perut yang kenyang. Maksudku, kemakmuran adalah apa yang kau dapatkan dan tak pernah kami rasakan. Kemakmuran adalah waktu kami tak ditindas oleh kebodohan, dan saat kami bisa sehat kembali sewaktu sakit juga tempat tinggal dan hidup yang layak. Dan seharusnya itu setimpal dengan kerja keras kami, mengabdi pada tanah milik Bapak Tuan.
Sedihnya, para petani itu selalu menolak untuk memberontak. Padahal, kami semua punya unek-unek yang sama dan hanya mampu kami telan sendiri. Apa Tuan punya usul, apa yang sebaiknya kami perbuat?" ujar Pri lirih. Saya mulai tak mampu menatapnya.
"Sekarang kau tahu sendiri bukan bagaimana penderitaan kami?" Pri menatap saya lekat saat riakan hujan menetes di atas ubun-ubun saya. Petir seakan menyambar ulu hati saya.
"Sebentar lagi rumahku ini banjir. Dan tanah yang kau pijak sekarang adalah lantai rumahku yang selalu becek setiap kali musim hujan. Jikalau aku memperbaikinya dengan semen, aku takut tak bisa makan nasi dan akan mati perlahan seperti halnya adikku yang makan gatot saat musim pancklik. Saat ia sekarat, aku nyaris tak mampu berbuat apa-apa karena hanya seorang petani dan hanya mampu mngobatinya dengan lumut di sungai." Waktu itu saya dapat merasakan lutut saya gemetar.
"Aku senang sekali waktu dia sekolah. biarpun miskin dan tak mampu beli buku, tapi Muji adalah anak yang pandai. Aku hawatir bila ia tak dapat melanjutkan sekolah seperti aku dulu. Maka aku berpikir, ada baiknya bila ia tiada. Walaupun aku sendiri takut mau menjawab apa pada Emak sepulangnya beliau dari Arab.
Seandainya, Bapak Tuan itu mau sedikit berlaku adil, adikku tak kan mati, Emakku tak berangkat ke Arab, dan mungkin aku pun tak menjadi petani. Aku heran pada Tuan. Ilmu apa yang kau dapatkan sehingga kau diam saja melihat kami menderita? Bukankah orang pandai selalu mencari kebenaran? Itulah yang membuatku sama sekali tak berempati pada Tuan," suara Pri yang parau seperti bersatu dengan derasnya hujan. Tapi jelas pada telinga saya.
"Bapakku petani, bahkan bapaknya Bapakku juga petani. Tapi begini-begini saja kehidupanku. Andaikata pejabat, pasti sudah kaya raya. Padahal belum tentu juga mereka bekerja dengan baik seperti kami yang menjaga padi agar tak terserang hama. Seandainya keberanianku melebihi penderitaanku sebagai seorang petani, pasti aku akan membuat seluruh petani di desa ini untuk melawan Ayah tuan. Tanpa kami, apa yang bisa ia perbuat dengan lahan-lahannya? Apakah tuan sebagai orang terpelajar akan membuat tanah-tanah itu subur dengan sendirinya?"
Saya pulang dengan kepala tertunduk malam itu. Kata-kata Pri lebih hebat daripada Profesor yang menulis buku. Sebuah pelajaran yang belum pernah saya temui di buku tesis manapun. Benar apa yang Pri bilang, sudah seharusnya petani menerima keuntungan yang sama rata, apalagi mereka lah yang menghasilkan barang. Apa yang terjadi bila ini terus berlanjut? Berapa juta petani yang menderita dan berapa juta TKI yang berangkat ke Timur Tengah? Karena di negeri sendiri mereka sering tak memakan apa yang mereka tanam.
***
Tujuh hari berselang, desa ricuh. Para petani gelisah karena peralatan bertani mereka raib secara perlahan. Desas-desus pemberontakan mulai menyebar.
"Kurang ajar! Siapa yang mengancam petani untuk menentangku?" tandas Ayah. Napasnya tersengal menahan amarah.
"Ini pasti ulah bocah tak tahu diuntung itu. sebelumnya tak ada yang berani melawanku!"
Menurut saya, itulah cara terakhir sang pelaku untuk membujuk petani agar mau memberontak dan agar mereka tak bekerja supaya panen gagal. Saat itu juga. Ayah memerintahkan seluruh orang desa berkumpul. Rumah mereka digeledah. Dan pencarian selama beberapa jam itu berakhir setelah ditemukannya sebuah lubang yang besar dan dalam di dekat sungai untuk memendam hasil curian berupa cangkul, golok, arit, dan perkakas bertani lainnya. Sangat mencengangkan!
Satu kompi polisi didatangkan untuk menangkap pelaku. Dan yang disinyalir sebagai otak pencurian adalah Pri. Tentu saja karena ialah petani yang paling vocal untuk membangkang pada Tuan Tanah. Saat itu saya melihatnya di balik punggung warga. Setiap warga dipaksa untuk mengaku dan meyerahkan diri. Dan nyaris semua yang hadir menuduh Pri.
Polisi menyebar. Beberapa menit kemudian, si pelaku diarak menuju mobil polisi diiringi tatapan warga desa yang tak percaya. Tangannya diborgol sambil memandang Tuan Tanah dengan mata yang seolah berteriak, "Selalu ada harga yang setimpal untuk sebuah keadilan."
Sang pelaku berjalan tanpa memiliki bersalah. Sepertinya puas dngan apa yang ia lakukan.
Pri tercekat, ia berdiri terpaku.
Ayah takjub, begitu juga dengan saya yang tak pernah melihatnya semarah itu sebelumnya. Raut kekecewaan juga rasa penasaran yang selama ini menggerayanginya akhirnya berkahir sudah. Semoga ayah sadar, bahwa tujuan si pelaku adalah memberikan peringatan yang begitu tegas. Bahwa warisan paling berharga agar tanahnya semakin kaya adalah petani, bukan siapa-siapa.
Melalui kejadian tiga tahun lalu itu, saya belajar banyak dari petani. Dan karena itu pula, saya memberanikan diri menulis surat ini kepada Bapak sebagai salah seorang kepala negara Agraris agar mau mencermati kondisi aset perdagangan yang selama ini dinomor sekiankan. Mereka adalah petani, sumber daya manusia yang stakeholder dalam mengembangkan ilmunya. Untuk itu betapa sedihnya saya, bila banyak istri, atau kerabat petani yang berangkat ke negeri seberang berharap kemakmuran keluarganya dan pulang membawa oleh-oleh peti jenazah. Tanggung jawab siapakah ini? Tuan tanah kah, atau tengkulak? Dan menurut saya, Pri hanya segemetir petani yang menyeruak sisi keadilan yang begitu samarnya dari sekian juta petani di seluruh dunia. Dan pada akhirnya, bukan semata petani yang paling dominan dalam perdagangan, tapi juga seluruh kelompok yang menghasilkan barang dasar, yang lebih sering terlantar. Mereka patut disamaratakan dalam menerima keuntungan.
Untuk itu, maukah bapak membalas surat saya ini? Yaitu dengan harapan, bila Bapak Presiden yang terhormat suatu saat nanti (kalau bisa secepatnya) berada di tengah-tengah Kofi Anan, ketua FAO Dr. Jacques Diouf, para wakilnya Romualdo Bettini, Abubakar Al Mansouri juga seluruh pihak yang merasa peduli untuk menemukan pencerahan bagi petani masa depan sebagai pelaku perdagangan internasional. Oh ya, Pak, rasanya saya hampir menemukan makna keadilan. Bukan seperti kubus, atas-bawah, depan-belakang, samping kanan-kiri. Melainkan bulat menyeluruh.
Seharusnya seperti bumi ciptaan Tuhan bukan? Itulah mengapa keadilan mutlak hanya milik Tuhan.
Hormat Saya
Anggoro Prayoga
Rutan Salemba
***
Oleh: Rosa Elvira