Kriiiiing!
Matanya yang susah terpejam, kini semakin melek dengan deringan telepon yang seolah telah parau karena kelamaan tidak diangkat.
"Waalaikumsalam," jawab Maya sopan ketika disadari bahwa suara dari horn telepon adalah suara papa Dimas.
Sejenak dadanya berdetak kencang. Sesak. Seolah seluruh napasnya hendak keluar serempak tapi tertahan di tnggorokan. Apa yang telah terjadi dengan Dimas hingga Papanya tumben menelpon? Batinnya.
"Nak Maya, Dimas ada di situ?"
"Dia sudah pulang sejam yang lalu."
Pikiran Maya menerawang jauh. Bahkan telepon yang ditutup dari seberang pun tak disadarinya. Bukankah perjalanan pulang ke rumahnya hanya butuh waktu lima belas menit? Yang ada di kepalanya adalah bayangan Honda Civik milik Dimas terjerumus ke jurang, atau tertabrak mobil kanvas, dan entah bayangan ngeri apa lagi yang kini silih berganti menghantui pikirannya.
Bayangan ngeri itu seolah semakin menjadi kenyataan ketika balasan dari HP Dimas adalah nada tidak aktif. Dia merasa firasatnya selama ini tentang Dimas, terbukti. Berbaring gelisah, duduk pun tak tenang. Dia berjalan mengitari kamar sempitnya, seperti menginjak bara. Di sela kepanikannya itu, satu sisi di ruang hatinya masih sempat melantunkan doa untuk sahabatnya itu. barulah setelah sepuluh menit kemudian, kegelisahan itu terjawab. Membuatnya bisa tersenyum bahkan terlelap setelah membaca SMS dari Dimas. Kamu abis miscalled, ya. Sori, saya baru keluar masjid untuk shalat Isya.
***
Di sekolah. saat jam istirahat, seperti biasanya Maya langsung mengajak Dimas kabur masuk kantin. Masih dengan sifat khas Dimas yang dulu, seolah tak ada Maya di sampingnya, diam menikmati bakso pesanannya.
"Oh iya! Pulang sekolah kita mampir ke Gramedia, yuk!" Maya memulai pembicaraan.
"Oke! Kebetulan saya juga mau beli buku komik."