Firasat Maya

By Astri Soeparyono, Minggu, 17 Juni 2012 | 16:00 WIB
Firasat Maya (Astri Soeparyono)

            "Mau pindah ke sini?"

            Keheranan Dimas semakin menjadi ketika tanpa instruksi dari siapa pun, Maya mengatur buku-buku itu di kamar Dimas.

            "Semua ini untukmu. Lebih dari ini akan saya berikan demi ..."

            Kalimat Maya terhenti. Mulutnya terkunci tiba-tiba. Setiap dia hendak berbicara tentang firasat itu, dia selalu kehabisan kalimat. Tak satu pun bahasa yang dapat ia tuturkan. Hanya kesedihan yang menyeruak setiap dia membayangkan tubuh terbujur kaku dan terbungkus kafan. Menunggu sendiri di alam kubur, hingga kiamat tiba. Baguslah jika liang sempit itu ada taman surge dari bekal amal yang dibawanya dari dunia, tapi jika ruang itu adalah gulita sekaligus lubang neraka atas segala dosa dunia. Akh! Maya mendesah dan menggeleng cepat demi membuang bayangan mengerikan itu.

            "Saya pulang dulu," pamit Maya.

            "Kok buru-buru? Entar sorean dikit, saya yang ngantar, soalnya saya juga mau ke Jogja jenguk nenek."

            "Enggak usah repot-repot. Assalamualaikum."

            Dimas terdiam heran. Salam dari Maya pun hanya dibalasnya dalam hati.

            "Kamu enggak balas salamku?"

            "Waalaikumsalam," ulangnya dengan bibirnya," Terima kasih dengan buku-buku itu."

            Entah atas dorongan apa, Dimas mengulurkan tangan dan Maya menjabatnya erat. Bagi Maya, kebiasaan baru Dimas yang selalu berjabat tangan setiap hendak pisah, tak dihiraukannya. Baginya itu tak aneh, malah semakin meyakinkan hatinya jika ajal Dimas semakin dekat.

            Maya melangkah ragu. Ada perasaan yang tak bisa dibahasakan, kini berkecamuk di hatinya. Ada sesal yang menderanya, mengapa dia hanya membalas genggaman  Dimas tadi. Bukan tak mungkin, tadi adalah yang terakhir kalinya dia melihat Dimas. Bukan tak mungkin, perjalanan ke Jogja nanti membawa maut bagi sahabatnya itu. bayangan ngeri itu kembali terlintas.

            Maya menghentikan langkah, ada keinginan untuk membalikkan tubuh demi melihat dan memeluk erat tubuh Dimas. Dan saat keinginan itu memuncak untuk diwujudkan, sebuah ambulance melintas. Meleset cepat dari belakang. Menghempaskan tubuh Maya yang tengah berbalik melangkah kembali menemui Dimas. Samar dilihatnya, Dimas masih berdiri mengawasi kepergiannya di pintu garasi. Setelah itu, gelap sekeliling. Pekat!

            Dimas tersentak. Seperti mimpi dia melihat tubuh Maya terpental ke trotoar. Seluryh berat badannya terasa hilang, ringan kakinya berlari ke arah Maya untuk menolong. Tapi hanya tubuh berlumuran darah yang di dapatkan di sana. Tanpa desah napas. Tanpa detak nadi.

***

            Di depan gundukan tanah merah, Dimas berjongkok dan tertunduk. Tanpa sadar dia mengusap nisan bertuliskan nama Maya, sahabatnya terbaiknya. Perih! Membayangkan semua kebaikan Maya. Dinding hatinya seperti tersulut api rokok. Ada sesal yang mendera. Mengapa sedikit pun dia tak membaca tanda-tanda yang Maya lakonkan di hari terakhirnya? Terkadang menatapnya aneh, mengingatkannya untuk shalat tepat waktu bahkan memberikan semua isi perpustakaan pribadinya, apalagi dia pun sering tak sadar ingin memeluk dan menjabat erat tangan Maya dan merasa dirinya banyak bersalah.

            Dan kini baru disadarinya, semua itu adalah teka-teki dan telah terjawab kini. Kematian. Meskipun pahit, jawaban itu harus diterima. Dimas menggeleng pelan, menyeka air mata yang tiba-tiba turun tanpa dimintanya. Satu yang tak pernah disadarinya. Di akhir hidupnya, Maya justru merasa bahwa Dimas-lah yang akan pergi meninggalkan Maya untuk selamanya.

            Bersama senja yang layu, Dimas beranjak pergi meninggalkan gundukan tanah merah itu.Dengan sebuah janji, tak akan meninggalkan sahabatnya sendiri di alam sana. Ada doa yang akan mengalir untuk Maya, ada amal yang akan terkirim terus untuk Maya dari apa pun yang pernah ia kerjakan di dunia. Dan juga, kepergian Maya baginya menjadi sebuah nasihat bahwa tak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati, juga entah pada detik kapan. 

Oleh: Aisyah Hariadi