Choco

By Astri Soeparyono, Rabu, 6 Juni 2012 | 16:00 WIB
Choco (Astri Soeparyono)

            "Lha? Gue bacanya kapan? Entar zodiaknya sudah enggak ampuh lagi Nun," sambung Galih cepat.

            "Lo baca majalah flora fauna saja dulu, atau majalah feng shui, kali-kali aja entar lo jadi dokter hewan atau ahli feng shui, kan gue juga yang bakal bangga punya temen ahli feng shui kayak lo," godaku langsung cabut.

            "Sialan lo, Nun!"

***

Sampai juga depan rumah. Setelah perjalanan yang sangat melelahkan naik motor dari sekolah. rumah sama sekolah, dari ujung ke ujung. Mana hari panas banget lagi. Entar si Mama ngomel, bilang gini ;'Tuh, sudah Mama bilang kan, pulang sekolah naik bajaj saja biar enggak hitam. Enggak kena panas begini. Biarpun kamu sudah pakai jaket, tapi telapak tangan kamu kan jadi belang. Sudah suka makan cokelat, jigongnya sampai ikutan cokelat begitu, sekarang nambah lagi warna kulitnya kayak cokelat, ampun Mama."

Ya ogah naek bajaj! Bukan bajaj banyak goyangnya, asyik sih banyak goyang serasa lagi dugem. Tapi, naik motor lebih asyik, anginnya lebih kerasa mantep aja. Lagian anaknya sehitam apa sih? Perasaan enggak hitam ah! Putih malah! Emang cuman tangannya saja yang perlu dikasih body lotion. Pakai tiap hari juga entar warna kulitnya balik semula.

Kok rumah sepi-sepi saja? Biasanya ada tetangga sebelah lagi curhat-curhat di sini sama Mama. Atau enggak ada tukang ojek lagi ngapelin Mbak Siti didepan rumah. Cuti ngapel kali ya?

'Dok! Dok!" ketukku ke pintu rumah. Tok! Tok!' ulangku mengetuk pintu. Enggak ada orang apa ya di rumah? Belanja? Jam segini belanja? Haduh, ngapain ya enaknya? Baca majalahnya si Fahmi saja deh!

Aku duduk di lantai teras rumah. Melepas satu persatu kets putihku. Dan melepas kaos kaki lalu menaruhnya ke dalam sepatu. Aku mengeluarkan majalah Fahmi dari dalam tas dan menyandarkan punggungku ke tiang rumah sambil selonjoran. Sudah pe-we nih. "Cokelat: pemecah masalah," aku mulai membaca halaman pertama artikel setelah membaca artikel sampai selesai, aku mulai tahu, kalau ternyata cokelat itu bisa ngilangin strees. selain itu, ternyata, petani-petani cokelat, yang sudah dengan senang hati memanen cokelat buat kita makan selama ini, hidupnya enggak sejahtera.

Cokelat mereka enggak dihargai pantas sama para produsen, padahal kan produsen ngambil untung gede. Dia beli cokelat sama petani Cuma dengan harga berapa, tapi setelah dia olah, terus dijual ke swalayan-swalayan, dia jual pakai harga tinggi. Kan untungnya banyak banget! Petaninya segitu-gitu aja. Prihatin nih sama nasib petani. Gimana dunia mau bebas dari kemiskinan kalau begini caranya?

Tapi sekarang sudah ada yang namanya fair trade. Gerakan yang ingin menciptakan keadilan dalam perdagangan secara internasional buat semua orang. Jadi pengin gabung lewat websitenya nih. Yah, paling enggak, aku enggak Cuma bisa makan cokelat saja tiap hari, tapi juga bisa ikut ngebantu petani-petani buat dapat keadilan!

Boleh juga nih, gue jadi super hero pembasmi orang-orang yang punya maksud jelek dengan memanfaatkan cokelat secara semena-mena! Namanya 'CHOCOLADY". Jelek amat namanya. Enggak komersil. Daya khayalku juga enggak hilang-hilang dari zaman TK sampai sekarang. Haduh. Haduh.