Bukan Tipeku

By Astri Soeparyono, Senin, 7 Mei 2012 | 16:00 WIB
Bukan Tipeku (Astri Soeparyono)

Seisi kelas langsung sunyi lagi, dan sekilas aku mengira Adam terlihat terpukul. Namun dia dengan cepat tersenyum lagi dan mengangkat bahu.

Karena reaksinya yang sambil lalu seperti itu, aku yakin dia benar-benar mempermainkanku, tapi ekspresinya saat bicara denganku tadi hampir meyakinkanku sebaliknya. Aku memejamkan mataku erat-erat, menyesali untuk kesekian kalinya kenapa aku harus bertemu orang seperti itu.

***

Sejak pertama kali bertemu, aku tahu Adam bukan tipe cowok yang bisa jadi temanku. Sikapnya yang urakan dan nilai-nilainya yang selalu kebakaran cukup untuk membuatku menjauh darinya. Aku sering mengacuhkannya, namun dia tidak pernah berhenti menggangguku. Kadang dia menempati tempat Belinda dan menolak untuk pindah, kadang dia meminjam pensil atau bukuku tanpa bilang, dan kadang dia mengacak-acak rambutku. Yang terakhir itu jarang dilakukan setelah aku marah besar padanya di kelas, tapi dia masih punya cara lain untuk membuatku jengkel.

Teman-teman sekelasku keliru menangkap gangguan Adam padaku sebagai tanda perhatiannya, dan mereka tidak pernah berenti menggodaku tentangnya. Terutama setelah Adam mendadak pindah duduk di bangku sebelah kiriku. Keputusannya untuk pindah dari bangkunya di pojok kelas ke bangku paling depan membuat mereka semakin yakin dia menyukaiku. Aku berusaha keras membantah atau bersikap tidak peduli, tapi Adam seolah-olah malah mengiyakan  gossip-gosip itu dengan sikapnya yang hanya cengar-cengir saat digoda anak-anak sekelas. Aku bukannya tidak sensitive, dan kadang dari ujung mataku aku bisa melihatnya mencuri pandang ke arahku. Saat aku menagkap pandangannya, dia tidak berusaha melengos, tetapi malah melempar senyum andalannya ke arahku.

Kalau mau bersikap positif, Adam sebenarnya cowok yang cakep. Dia punya wajah yang bisa membuat orang menoleh dua kali saat melihat dirinya dan caranya membawa diri mengeluarkan  aura percaya diri yang tidak ada habisnya. Matanya yang lebar selalu terlihat seperti tertawa dan dia jarang menunjukkan wajah cemberut kepada orang lain. Rambutnya yang selalu digaya aneh-aneh tapi rapi dengan hairgel kadang terlihat kontras dengan seragamnya yang dipakai asal-asalan, tapi kurasa itu cocok dengan gayanya. Sungguh, kalau dia tidak begitu menyebalkan dan agak lebih pintar, kurasa aku bisa menyukainya. Paling tidak sebagai teman. Namun aku membutuhkan cowok yang lebih pintar, lebih serius, pokoknya lebih dari dia. He's too disastrous for me.

***

 Sejak itu, Adam berhenti menggangguku. Teman-temannya tidak lagi menggodaku sebagai pacarnya, dia tidak lagi SMS atau telepon ke rumah dengan pertanyaan-pertanyaan konyolnya, dan dia juga sudah kembali ke habitat asalnya di pojok kelas. Beberapa cewek di kelasku sempat mengomentari hal ini sambil bercanda, namun tidak sedikit yang tidak mempedulikan perkembangan baru ini. Untuk beberapa minggu, hidupku terasa tenang.

"Adam belakangan ini ko aneh, ya?" komentar Belinda tiba-tiba. Aku mengalihkan pandanganku dari pertandingan basket kecil-kecilan di depanku untuk menatapnya. Saat itu sedang pelajaran Olahraga. Bu Tari membagi kami, cewek-cewek, dalam beberapa kelompok dan menyuruh kami bergantian main basket. Di lapangan sepak bola, cowok-cowok sedang bergantian berlatih menggiring bola.

"Aneh gimana?" tanyaku bingung.

"Kamu enggak merasa kalau dia jadi agak diam, enggak terlalu cerewet kayak biasanya? Dia sudah enggak mengumpat-ngumpat sembarangan. Dia juga sering buat PR dan nilai ulangannya jadi bagus-bagus. Kalu enggak salah, kemarin ulangan Fisikanya dapat sembilan tiga. Padahal dia kan langganan remedial melulu," tutur Belinda, keheranan tergambar denga jelas di wajahnya. "Masa kamu enggak sadar sih?"

Aku mengangkat bahu. Aku tidak ingin mengaku kalau aku juga memperhatikan semua itu. toh, itu tidak ada hubungannya denganku.