Bukan Tipeku

By Astri Soeparyono, Senin, 7 Mei 2012 | 16:00 WIB
Bukan Tipeku (Astri Soeparyono)

"Di, tunggu!" aku tetap berjalan, berpura-pura tidak mendengar suaranya. Kenapa sih orang ini biasanya ganggu aku terus? Pipiku memanas saat mengingat insiden barusan. Ya Tuhan, kenapa aku harus kenal dia sih?

"Adia!" panggilnya lagi, kali ini panggilnya diikuti cengkeraman tangannya di pergelangan tanganku. Aku menyentakkan tanganku dan berusaha mengacuhkannya, tapi dia sudah berdiri tepat di hadapanku, siap menghalangi setiap langkahku.

"Minggir," perintahku dingin, menolak menatap matanya.

Dia tetap bergeming. Aku berusaha melangkah ke kanan, tapi dia ikut ke kanan. Begitu pula saat aku mencoba ke kiri. Aku mengangkat kepala untuk memelototinya, kejengkelanku semakin memuncak  saat aku melihat cengiran tololnya masih menempel di wajahnya."Enggak lihat orang mau jalan, ya? Minggir." Aku berusaha untuk tidak membentaknya, karena aku tidak ingin menarik perhatian orang. Sekarang saja orang-orang sudah menatap kami dengan penasaran .

"Kamu marah, ya?"tanyanya.

Aku memutar bola mataku.

"Masih perlu tanya?" tanyaku balik sambil melipat kedua tanganku di depan dada. Aku tidak tahu kenapa aku bgitu marah, padahal aku biasanya bisa mengacuhkan segala macam gangguan dengan mudah. Namun Adam bukan Cuma gangguan biasa. Dia itu seperti nyamuk yang selalu mendengung di telingamu. Kau menghibas-ngibaskan tanganmu untuk mengusirnya, dan kadang dia akan pergi, tetapi dijamin dia akan kembali lagi dalam hitungan menit, bahkan detik. 

"Maaf deh, Di, tapi aku enggak tahu kenapa kamu marah. Aku kan serius," ujarnya sambil berlagak kebingungan. Ingin rasanya aku melemparkan tas di tanganku ke kepalanya, tapi mengingat kami berada di lapangan parkir sekolah dan aku bisa kena masalah besar kalau melukai sesama murid, aku hanya melototinya.

"Kalau itu caramu serius, aku benar-benar enggak mau tahu cara bercandamu kayak apa. Lagipula, kamu enggak perlu susah-susah minta maaf. Aku engak bakal pernah maafin kamu," kataku setenang yang aku bisa.

"Kalau aku ulangi lagi sekarang, kamu bakal percaya enggak?" tannyanya. 

Aku enggak bisa mengerti kenapa dia enggak menyerah saja. Biarpun aku percaya dia serius, itu enggak akan mempengaruhi jawaban akhirku.

"Mungkin aku bakal percaya, tapi jawabannya tetap enggak," jawabku. Seskali lagi aku mencoba melewatinya, tapi dia sekali lagi mencengkeram lenganku. Genggamannya cukup kuat untuk menghentikan langkahku, tapi tidak cukup kasar untuk melukaiku. Dari pojok mataku, aku bisa melihat beberapa orang yang terang-terangan menonton kami. Usahaku untuk melepaskan diri sia-sia saja dan aku nyaris membentaknya, tapi kata-kataku terhenti saat aku melihat ekspresi di wajahnya. Matanya yang hitam legam menatap langsung ke dalam mataku, tawa yang ada di dalamya lenyap. Cengiran konyol itu juga sudah terhapus dari wajahnya.

"Kenapa enggak?" tanyanya. Suaranya rendah dan dia terlihat... kecewa? Mungkinkah dia kecewa karena aku? Itu terlalu tidak masuk akal.

"Karena, Adam, kamu bukan tipeku," jawabku singkat sambil menarik lenganku. Aku membalikan badan dan langsung meninggalkannya tanpa menoleh lagi. Betapa leganya aku saat melihat mobilku terparkir di dekat pintu keluar. Supirku datang dengan sigap aku langsung masuk ke dalam mobil. Satu lirikan ke dalam kaca spion memberitahuku bahwa Adam sudah pergi. Aku menyandarkan kepalaku di punggung kursi, kelelahan. Aku berusaha untuk tidak memikirkan Adam dan apa yang dia lakukan tadi siang, tapi memori itu terus terulang di kepalaku seperti film rusak.

***

Jam pelajaran Fisika pagi ini kosong karena Bu Anna sedang sakit. Beberapa anak, termasuk aku, memilih untuk mengerjakan tugas yang ditinggalkan Bu Anna. Beberapa anak lain, termasuk Adam, memilih untuk bercanda dan mengobrol sendiri, terutama karena tidak ada guru pengganti. Adam dan gerombolannya duduk di pojok, tertawa dan bicara keras-keras. Sesekali kata-kata umpatan meluncur dengan mudahnya dari mulut mereka. Kurasa itu salah satu hal yang membuatku memandang rendah Adam dan kronisnya. Mereka mengucapkan kata-kata kotor semuda mereka mengganyang makanan enak.

Kegaduhan mereka sejenak meredah, namun tawa mereka langsung meledak lagi. Samar-samar aku mendengar mereka berbisik-bisik diselingi tawa, namun pada saat itu aku tidak mempedulikan tingkah mereka itu. tentu saja, waktu itu aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tiba-tiba saja johan, salah satu teman Adam, berseru, "Oi teman-teman, tenang dulu ya. Adam punya pengumuman penting, nih!" teman-temannya bertepuk tangan dengan penuh semangat sambil tertawa-tawa. Anak-anak yang lain saling bertukar pandang dan mengangkat bahu, tidak bisa menebak apa yang akan dilakukannya, dan bersiap-siap mendapat tontonan gratis. Aku dengan keras kepala menolak memperhatikan, walaupun Belinda sudah menyikut tanganku.

"Di, dia ke sini!" bisik Belinda.

Aku mengerutkan kening padanya, lalu menoleh ke arah Adam. Firasatku langsung tidak enak saat matanya bertemu mataku, dan langkah kakinya benar-benar mengarah ke mejaku. Kelasku mendadak sunyi, dan badanku menegang. Apapun yang akan dilakukan Adam bukan sesuatu yang akan kusukai.

Dia dengan segera sudah berdiri di depan mejaku. Aku menaikkan satu alis kepada Belinda, bertanya-tanya. Belinda mengangkat bahu, namun sebuah senyum kecil terbentuk di bibirnya seolah-olah dia sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan Adam. Adam menunduk untuk menatapku, dan aku membalas tatapannya. Di lubuk hatiku, aku bisa menebak apa yang akan dia katakan, namun aku menolak mempercayainya.

Tidak ada ekspresi ragu-ragu atau malu saat dia mulai bicara. Suaranya lantang, memastikan seluruh kelas bisa mendengar kata-katanya." Adia, aku sayang kamu. Mau enggak jadi pacarku?"

Seisi kelas langsung riuh rendah sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, yang cowok bersuit-suit dan bertepuk tangan sementara yang cewek cekikikan dan ikut menyoraki Adam. Aku? Aku merasa disiram es. Aku Cuma bisa menatapnya dengan shock tanpa sanggup membentuk kata-kata penolakan. Rasa kaget itu segera digantikan kemarahan saat Adam nyengir lebar pada teman-temannya.

Dia tidak serius, semua ini hanya main-main. Dia hanya melakukan tantangan dari temannya. Segera setelah aku jawab, iya aku tidak, dia akan kembali pada teman-temannya denga puas karena sudah berhasil melakukan tantangan itu. adam tidak mungkin menyukai aku, dan sudah jelas aku tidak menyukainya.

Aku menatapnya lurus-lurus sebelum berkata dengan suara rendah namun jelas. "Enggak."

Seisi kelas langsung sunyi lagi, dan sekilas aku mengira Adam terlihat terpukul. Namun dia dengan cepat tersenyum lagi dan mengangkat bahu.

Karena reaksinya yang sambil lalu seperti itu, aku yakin dia benar-benar mempermainkanku, tapi ekspresinya saat bicara denganku tadi hampir meyakinkanku sebaliknya. Aku memejamkan mataku erat-erat, menyesali untuk kesekian kalinya kenapa aku harus bertemu orang seperti itu.

***

Sejak pertama kali bertemu, aku tahu Adam bukan tipe cowok yang bisa jadi temanku. Sikapnya yang urakan dan nilai-nilainya yang selalu kebakaran cukup untuk membuatku menjauh darinya. Aku sering mengacuhkannya, namun dia tidak pernah berhenti menggangguku. Kadang dia menempati tempat Belinda dan menolak untuk pindah, kadang dia meminjam pensil atau bukuku tanpa bilang, dan kadang dia mengacak-acak rambutku. Yang terakhir itu jarang dilakukan setelah aku marah besar padanya di kelas, tapi dia masih punya cara lain untuk membuatku jengkel.

Teman-teman sekelasku keliru menangkap gangguan Adam padaku sebagai tanda perhatiannya, dan mereka tidak pernah berenti menggodaku tentangnya. Terutama setelah Adam mendadak pindah duduk di bangku sebelah kiriku. Keputusannya untuk pindah dari bangkunya di pojok kelas ke bangku paling depan membuat mereka semakin yakin dia menyukaiku. Aku berusaha keras membantah atau bersikap tidak peduli, tapi Adam seolah-olah malah mengiyakan  gossip-gosip itu dengan sikapnya yang hanya cengar-cengir saat digoda anak-anak sekelas. Aku bukannya tidak sensitive, dan kadang dari ujung mataku aku bisa melihatnya mencuri pandang ke arahku. Saat aku menagkap pandangannya, dia tidak berusaha melengos, tetapi malah melempar senyum andalannya ke arahku.

Kalau mau bersikap positif, Adam sebenarnya cowok yang cakep. Dia punya wajah yang bisa membuat orang menoleh dua kali saat melihat dirinya dan caranya membawa diri mengeluarkan  aura percaya diri yang tidak ada habisnya. Matanya yang lebar selalu terlihat seperti tertawa dan dia jarang menunjukkan wajah cemberut kepada orang lain. Rambutnya yang selalu digaya aneh-aneh tapi rapi dengan hairgel kadang terlihat kontras dengan seragamnya yang dipakai asal-asalan, tapi kurasa itu cocok dengan gayanya. Sungguh, kalau dia tidak begitu menyebalkan dan agak lebih pintar, kurasa aku bisa menyukainya. Paling tidak sebagai teman. Namun aku membutuhkan cowok yang lebih pintar, lebih serius, pokoknya lebih dari dia. He's too disastrous for me.

***

 Sejak itu, Adam berhenti menggangguku. Teman-temannya tidak lagi menggodaku sebagai pacarnya, dia tidak lagi SMS atau telepon ke rumah dengan pertanyaan-pertanyaan konyolnya, dan dia juga sudah kembali ke habitat asalnya di pojok kelas. Beberapa cewek di kelasku sempat mengomentari hal ini sambil bercanda, namun tidak sedikit yang tidak mempedulikan perkembangan baru ini. Untuk beberapa minggu, hidupku terasa tenang.

"Adam belakangan ini ko aneh, ya?" komentar Belinda tiba-tiba. Aku mengalihkan pandanganku dari pertandingan basket kecil-kecilan di depanku untuk menatapnya. Saat itu sedang pelajaran Olahraga. Bu Tari membagi kami, cewek-cewek, dalam beberapa kelompok dan menyuruh kami bergantian main basket. Di lapangan sepak bola, cowok-cowok sedang bergantian berlatih menggiring bola.

"Aneh gimana?" tanyaku bingung.

"Kamu enggak merasa kalau dia jadi agak diam, enggak terlalu cerewet kayak biasanya? Dia sudah enggak mengumpat-ngumpat sembarangan. Dia juga sering buat PR dan nilai ulangannya jadi bagus-bagus. Kalu enggak salah, kemarin ulangan Fisikanya dapat sembilan tiga. Padahal dia kan langganan remedial melulu," tutur Belinda, keheranan tergambar denga jelas di wajahnya. "Masa kamu enggak sadar sih?"

Aku mengangkat bahu. Aku tidak ingin mengaku kalau aku juga memperhatikan semua itu. toh, itu tidak ada hubungannya denganku.

"Ini gara-gara kamu, kan?"

Aku mengerutkan kening.

"Aku? Rasanya enggak deh," jawabku.

"Masak? Dia mulai berusaha sejak kamu nolak dia, lho. Kamu bilang sesuatu yang bisa bikin dia sakit hati, enggak?" tanya Belinda lagi.

Kerut-kerut di keningku bertambah dalam saat aku memutar otak.

"Sakit hati kurasa sih enggak, tapi aku sempat bilang dia bukan tipeku."

Belinda memutar bola matanya.

"Ya berarti memang kamu gara-garanya," katanya agak tidak sabar."Adam ingin jadi pacarmu, jadi dia berusaha berubah menjadi cowok tipemu."

Aku mengangkat alis.

"Memangnya dia tahu tipe cowokku kayak apa?" tanyaku.

Belinda sekali lagi memutar bola matanya.

"Itu kan enggak susah ditebak, Di. Kamu itu suka orang yang pintar, serius, romantis, pokoknya kebalikannya Adam semua. Iya enggak?"

Aku meringis. Tebakan Belinda tepat sasaran, tapi itu hanya karena dia temanku. Seseorang seperti Adam tidak mungkin mengetahuinya. Kukatakan ini pada Belinda, tapi dia cuma melambaikan tangannya, menepis kata-kataku seperti angin.

"Kalau dia benar-benar suka sama kamu, dia pasti sudah cari tahu. Paling tidak, dia sudah cukup lama memperhatikan kamu untuk tahu. Kamu kan baik sama si Peter." Peter adalah satu-satunya cowok di kelasku yang cukup mendekati kriteriaku, namun anehnya aku tidak menyukainya seperti itu. Dia lebih cocok jadi kakak daripada pacar.

Kami terdiam untuk beberapa saat sambil memperhatikan Rachel memasukkan bola untuk ketiga kalinya. Diam-diam aku melirik ke arah Adam yang sedang berdiri di tepi lapangan, menonton teman-temannya. Benarkah dia berusaha berubah untukku? Kenapa dia berusaha begitu keras untuk kusukai? Bukannya masih banyak cewek yang lebih cantik dariku? Kenapa harus aku?

"Kelompok tiga, maju!" suara Bu Tari memotong lamunanku, dan aku langsung berdiri dan melangkah memasuki lapangan. Ini hanya permainan biasa dan bukan penilaian, tapi perutku sempat menegang juga. Aku tidak pandai olahraga, dan aku tidak suka ditonton orang. Ditambah lagi aku cukup ceroboh, aku sudah pernah jatuh dua kali saat pelajaran olahraga, lebih banyak dari siapapun di kelasku. Adanya kubangan-kubangan kecil air hujan juga tidak membantu, karena sangat mungkin aku akan terpeleset di atasnya.

Bola dilempar dan permainan pun dimulai. Aku menarik napas dan mulai berlari. Moga-moga saja aku tidak jatuh lagi.

***

Harapan tinggal harapan. Untuk ketiga kalinya aku jatuh saat jam olahraga. Kali ini karena tersandung kakiku sendiri. Ya, aku memang seceroboh itu. pipiku masih panas rasanya kalau mengingat kejadiannya. Kalau saja bola itu tidak terlepas dari tanganku, aku tidak akan perlu mengejarnya, dan aku tidak akan terjatuh. Sekarang, lututku rasanya berdenyut-denyut karena lukanya dan telapak tanganku perih akibat tersayat semen lapangan basket.

"Tanganmu juga luka?" Aku mengangkat kepala dan menatap Adam.

Dia sedang duduk di kursi di sampingku, memperhatikan telapakku dengan cemas. Dia memaksa menemaniku ke UKS, walaupun sudah aku tolak berulang kali. Anak-anak yang tadinya mencemaskan luka, berubah sikap jadi menyoraki dan menggodaku. Bu Tari juga hanya senyam-senyum dan menyuruhku segera pergi ke UKS. Benar-benar bikin sebal.

"Cuma perih, enggak terlalu sakit," jawabku, kembali meletakkan tangan di pangkuanku.

Kami terdiam, menunggu dokternya datang dengan obat lukanya. Aku menunduk, tidak cukup berani untuk memandang matanya yang menatapku lekat-lekat. Perhatiannya membuatku risih dan malu, tapi anehnya, aku tidak ingin mengusirnya.

Mengobati lukaku tidak makan waktu lama, dan setelah selesai kami disuruh kembali ke lapangan. Adam meletakkan tangannya di siku kananku saat dia melihatku meringis pelan ketika mencoba berjalan.

"Pelan-pelan saja, sebentar lagi kan bel," katanya.

Aku mengangguk.

"Makasih, tapi aku bisa jalan sendiri sekarang," ujarku, menepis sentuhannya. Tetapi dia tidak melepaskan tangannya.

"Jangan keras kepala, Adia, aku Cuma mau Bantu kamu," tegurnya." Masak kamu sebegitu bencinya sama aku sampai dibantu saja enggak mau?" Suaranya penuh dengan rasa sakit hati, dan mendadak aku merasa bersalah.

"Aku enggak benci sama kamu, tapi..."

"Tapi kamu enggak mau memberi harapan, begitu kan?" potongnya, kali ini denga sukarela melepaskan lenganku untuk melipat tangannya di depan dada." Kamu enggak usah khawatir tentang itu, aku tahu kamu enggak suka aku. Aku bukan cowok yang kamu, engga peduli seberapa kerasnya aku mencoba."

Kali ini aku tidak tahu bagaimana membalasnya.saat aku mengira dia hanya main-main, mudah saja untuk menolak dan mengusirnya jauh-jauh. Namun sekarang, aku hanya bisa diam.

"Kamu enggak perlu berubah untukku," kataku pelan-pelan, mencoba menyusun kata-kata yang benar." Paling enggak, jangan berubah secara dratis. Belakangan ini, kamu terlihat tertekan sekali. Aku lebih suka kamu yang biasanya."

Ujung bibirnya langsung terangkat, membentuk senyum penuh harap.

"Jangan mikir aneh-aneh," tambahku cepat-cepat.

"Aku masih enggak mau jadi pacarmu, tapi kurasa kita bisa berteman." Dia mengerutkan keningnya, seolah-olah berpikir keras. Kemudian dia tersenyum lebar dan mengangguk.

"Oke, kita berteman. Lama-lama kamu pasti suka padaku."

Aku tersenyum dan mengangkat bahu.

"Lihat saja nanti."

Adam tidak akan pernah menjadi persis seperti tipeku, tapi dia berusaha. Dan mungkin nanti, aku bisa menyukai dirinya sebagai lebih dari teman. Mungkin.