Bukan Tipeku

By Astri Soeparyono, Senin, 7 Mei 2012 | 16:00 WIB
Bukan Tipeku (Astri Soeparyono)

Aku meringis. Tebakan Belinda tepat sasaran, tapi itu hanya karena dia temanku. Seseorang seperti Adam tidak mungkin mengetahuinya. Kukatakan ini pada Belinda, tapi dia cuma melambaikan tangannya, menepis kata-kataku seperti angin.

"Kalau dia benar-benar suka sama kamu, dia pasti sudah cari tahu. Paling tidak, dia sudah cukup lama memperhatikan kamu untuk tahu. Kamu kan baik sama si Peter." Peter adalah satu-satunya cowok di kelasku yang cukup mendekati kriteriaku, namun anehnya aku tidak menyukainya seperti itu. Dia lebih cocok jadi kakak daripada pacar.

Kami terdiam untuk beberapa saat sambil memperhatikan Rachel memasukkan bola untuk ketiga kalinya. Diam-diam aku melirik ke arah Adam yang sedang berdiri di tepi lapangan, menonton teman-temannya. Benarkah dia berusaha berubah untukku? Kenapa dia berusaha begitu keras untuk kusukai? Bukannya masih banyak cewek yang lebih cantik dariku? Kenapa harus aku?

"Kelompok tiga, maju!" suara Bu Tari memotong lamunanku, dan aku langsung berdiri dan melangkah memasuki lapangan. Ini hanya permainan biasa dan bukan penilaian, tapi perutku sempat menegang juga. Aku tidak pandai olahraga, dan aku tidak suka ditonton orang. Ditambah lagi aku cukup ceroboh, aku sudah pernah jatuh dua kali saat pelajaran olahraga, lebih banyak dari siapapun di kelasku. Adanya kubangan-kubangan kecil air hujan juga tidak membantu, karena sangat mungkin aku akan terpeleset di atasnya.

Bola dilempar dan permainan pun dimulai. Aku menarik napas dan mulai berlari. Moga-moga saja aku tidak jatuh lagi.

***

Harapan tinggal harapan. Untuk ketiga kalinya aku jatuh saat jam olahraga. Kali ini karena tersandung kakiku sendiri. Ya, aku memang seceroboh itu. pipiku masih panas rasanya kalau mengingat kejadiannya. Kalau saja bola itu tidak terlepas dari tanganku, aku tidak akan perlu mengejarnya, dan aku tidak akan terjatuh. Sekarang, lututku rasanya berdenyut-denyut karena lukanya dan telapak tanganku perih akibat tersayat semen lapangan basket.

"Tanganmu juga luka?" Aku mengangkat kepala dan menatap Adam.

Dia sedang duduk di kursi di sampingku, memperhatikan telapakku dengan cemas. Dia memaksa menemaniku ke UKS, walaupun sudah aku tolak berulang kali. Anak-anak yang tadinya mencemaskan luka, berubah sikap jadi menyoraki dan menggodaku. Bu Tari juga hanya senyam-senyum dan menyuruhku segera pergi ke UKS. Benar-benar bikin sebal.

"Cuma perih, enggak terlalu sakit," jawabku, kembali meletakkan tangan di pangkuanku.

Kami terdiam, menunggu dokternya datang dengan obat lukanya. Aku menunduk, tidak cukup berani untuk memandang matanya yang menatapku lekat-lekat. Perhatiannya membuatku risih dan malu, tapi anehnya, aku tidak ingin mengusirnya.