***
Seperti yang kuduga sebelumnya juga, orang tuanya memberikan dia memilih jurusan sesuai minatnya. Sampai-sampai dia bingung menentukan jurusannya. Diam-diam aku mmperhatikannya sampai diliputi rasa iri. Dia benar-benar memiliki hidup yang sesungguhnya yang tidak dapat dibeli oleh uang.
Tidak sepertiku yang bagaikan boneka di atas panggung sandiwara bernama kehidupan. Semua yang kulakukan diatur kedua orang tuaku yang semakin lama semakin menikmati peran mereka sebagai dalang. Aku juga sudah muak dengan segala les yang kuikuti. Semuanya adalah keinginan orang tuaku. Aku ingin melakukan apa yang aku suka, yang benar-benar kulakukan tanpa ada paksaan.
"Lia saja!"
Pekikan nyaring Rossa membuatku kembali terhempas kea lam nyata. Aku mengerjapkan mataku. Oh iya, kami masih di rumah Rossa membicarakan mengenai drama kelompok kami untuk pelajaran teater.
"Bagaimana? Dia kan hebat dalam berakting, andalan klub terang Rossa berpaling ke arahku. "Kau mau kan, Li? Jadi peran utamanya, Cinderella."
Euh...Aku paling tidak suka dengan keadaan seperti ini. Teman-temanku selalu saja 'bersekongkol' mendaulatku untuk melakukan yang mereka inginkan. Sama seperti orang tuaku. Masalahnya, aku tidak sampai hati menolak mereka.
"Baiklah! Kalau bgitu sudah diputuskan bahwa Lia yang menjadi Cinderella!" putus Rossa akhirnya karena aku masih terdiam saja.
"Ekh?" Mataku teerbelalak tidak percaya. "Tu-tunggu dulu, Ro-" ucapanku disela oleh teman-tman kelompokku yang lain, mendukung ide Rossa.
Kecuali dia. Kulirik ke arahnya yang masih diam memandang lurus ke depan. Aku merasa bersalah, terlebih setelah hampir setahun aku duduk di seblahnya dan dia baik sekali padaku. Peranku ini peran yang sangat diinginkannya, aku masih ingat sekali saat dia mengungkapkannya padaku.
***
Aku sama sekali tidak mnyangka kalau usahaku untuk menjauhi Eric. Cowok yang ia taksir, malah berujung pada pertengkaran hebatku dengannya. Jawaban atas segala kebingunganku melihat tingkahnya yang menjauhiku.