Sepenggal Hidup, Dua Cerita

By Astri Soeparyono, Kamis, 3 November 2011 | 16:00 WIB
Sepenggal Hidup, Dua Cerita (Astri Soeparyono)

Kalau kau dapat menukar hidupmu, dengan siapa kau akan bertukar?

       Memang, walaupun sebal, aku harus mngakui kalau semua orang pasti akan melirik ke arahnya. Maksudku, siapa sih yang tidak akan tertarik dengan cewek pintar, kaya, cantik dengan garis wajah campuran Manado-Jawa, ekspresif, jago acting, berbakat di bidang musik, aktif menjuarai berbagai lomba, dan hal-hal spektakuler lainnya yang tidak sanggup kuungkapan secara gambling.

       Intinya, bila disandarkan dengannya aku ini pecundang. Total.

***

       "Niken Sarasyla."

       Panggilan Mama membuatku terhenyak pelan. Oh iya, aku sedang berbicara dengan Mama di meja makan. Aku merutuki diriku yang melamun saat-saat keputusan terpenting dalam hidupku akan keluar dari mulut Mama.

       Mama menyodorkan selembar kertas. Angket  jurusan perguruan tinggi milikku. "Berapa usiamu sekarang, Niken?"

       Aku menyernyit. Usiaku? Memang ada hubungannya angket jurusan yang aku serahkan tadi? Aku melirik sekilas ke angket jurusan yang sekarang berada di genggamanku. Tetap kosong seperti semula."Tujuh belas,"jawabku heran.

       Mengapa tersenyum kecil."Kalau begitu kau sudah dapat menentukan apa yang menurutmu baik untuk hidupmu. Pilihlah jurusan yang kau cintai, apapun itu Mama akan mendukungnya."

       "Haaah?" Aku jadi bingung sendiri. Aku sengaja berkonsultasi dengan mama untuk soal yang satu ini dan berharapa Mama dapat menentukannya untukku. Sekarang beliau malah menyuruhku memilih sendiri. Bagaimana ini?

***

       Air. Itu kata pertama yang terlintas di benakku untuk mendinginkan otakku yang mendidih karena semua plajaran hari ini mengadakan tes. Jadi di sinilah aku saat ini, berenang di kolam renang sekolah.

       Aku memang mencintai berenang sejak kecil. Selain ikut ekskul berenang di sekolah, aku juga aktif di salah satu club renang. Untungnya orang tuaku mendukung untuk hal yang satu ini.

       "Jelek sekali gaya renangmu!" ejek seorang cowok dari pinggiran kolam renang, cowok yang paling aku BENCI seumur hidup. Ares.

       "Bukan urusanmu!" balasku ketus, berteriak dari ujung kolam yang berlawanan.

       "Akan kutunjukkan cara renang yang benar!" serunya lalu membuka kaos yang dikenakannya lalu melompat masuk ke kolam renang dan berenang.

       Sebal, tapi harus kuakui kalau Ars memang pantas menjadi andalan ekskul renang sekolah dan club renangku. Tidak lama kemudian dia sudah sampai di sampingku dengan stamina yang masih penuh, kurasa.

       "Bagaimana?" tanyanya. "Harus seperti ini kalau mau menjadi peraih medali emas di olimpiade," ujarnya lagi, mengingatkan akan cita-citaku sewaktu kecil.

       Aku mencibir kesal kea rah Ares lalu melengos.

***

       Belum pernah dalam hidup, aku merasa seemarah ini. Kukira dia benar-benar sahabatku atau paling tidak teman yang seharusnya tidak akan menuskku dari belakang. Ternyata aku salah besar! Dia tidak lebih dari seorang pengkhianat!

       Memang, mulanya aku tidak percaya dengan apa yang kudengar dari teman-teman sahabatku bahwa dia sering jalan bersama cowok gebetanku. Tapi kejadian kemarin telah mruntuhkan kepercayaanku kepadanya.

       Secara tidak sengaja, aku melihatnya brjalan berduaan dengan cowok. Tentu saja aku brani brtaruh kalau dia tahu dan sadar cowok yang berjalan di sampingnya itu cowok yang kutaksir sejak kelas satu SMA. Seeorang sahabat harusnya tidak melakukan pengkhianatan seperti rekannya sesame penjahat!

       Setelah semalaman aku berpikir (sambil menangis tersedu-sedu, tentu saja), aku memutuskan untuk menjauhinya. Aku pindah k samping tempat duduk Tyas yang selama ini memang duduk sendiri. Aku jamin tidak aka nada yang protes.

       Jangankan protes, spertinya malah tidak ada yang peduli. Teman-temanku yang laki-laki sibuk memperebutkan tempat di sampingnya, yang baru saja kutinggalkan. Sementara yang perempuan memang bertanya-tanya padaku. Tapi aku yakin itu hanya sekedar basa-basi. Buktinya, setelah seulas senyum tipis terpaksa mengembang di wajahku, mereka tidak bertanya lebih lanjut.

***

       Aku brusaha memakan nasi goreng di hadapanku secepat mungkin mengingat aku belum menyontek tugas matematika. Tapi apa daya, kalau soal makan aku memang lambat. Tanganku berhenti menyuap saat ekor mataku menangkap siapa yang baru memasuki kantin.

       Nafsu makanku langsung hilang seketika. Dia tetap menjadi pusat perhatian di mana pun dia berada, termasuk kantin. Entah berapa banyak anak, terutama kaum adam, yang mengerumuninya dan berusaha mengajak ngobrol.

       Aku langsung melangkah keluar kantin, meninggalkan piringku yang masih penuh. Sial aku harus berpapasan dengannya di pintu kantin, yang merupakan satu-satunya jalan keluar masuk kantin.

       "Hei! Tunggu!" Dia mencekal pergelangan tanganku dan menarikku menjauhi kerumunan orang-orang di kantin yang menatap kami bingung.

       "Oke, aku minta penjelasanmu. Mengapa akhir-akhir ini kau menjauhiku? Bukankah kita sahabat? Mengapa kau tidak mau terbuka?"

       Aku tertawa kecil, sinis. "Sahabat? Aku kira hanya musuh yang menyerang dari belakang. Ternyata sahabat juga ya?" Dia menatapku heran.

       "Apa sih salahku sampai kau tega berbuat seperti itu? Merebut gebetanku! Jalan berdua dengannya!" ungkapku, penuh emosi. "Selama ini aku berusaha tidak terpengaruh gossip-gosip di kelas mngenai dirimu. Aku selalu meyakinkan diriku bahwa kau tidak seperti yang mereka bicarakan. Tapi ternyata aku salah besar! Kau bahkan lebih buruk dari yang mereka bicarakan!"

       "Ini tidak sep-"

       "Kau sudah punya segalanya. Kau pintar, kaya, cantik, berbakat di banyak hal, dipuja-puja banyak cowok. Apa sih yang kau inginkan dariku? Hingga satu-satunya kebahagianku, cowok yang kusukai, juga kau renggut!" ssudah menyentaknya seperti itu aku berlari meninggalkannya.

       Mungkin hidupku tidak akan menyedihkan seperti ini seandainya aku dapat bertukar hidup dengannya...

***  

 

       Boleh kau tanyakan pada semua orang dan aku jamin mereka akan menjawab aku jauh leebih cantik daripada dia. Soal otak? Hmm, aku rasa aku sama pintar dengannya. Dia itu pendiam, bicaranya lembut, tipe cewek yang selalu memendam perasaannya; bertolak belakang denganku. Dia juga berasal dari keluarga yang biasa saja, tidak 'wah' sepertiku yang selalu memakai barang-barang kualitas nomor satu.

       Lalu kenapa aku iri? Sederhana saja, dia mempunyai apa yang tidak aku punya. Kebebasan.

***

       "Delianasya Putri."

       Panggilan Bu Lani, guru Biologi, membuatku sedikit tersentak dari lamunanku. Kulihat beliau sudah berdiri di dekat pintu, hendak keluar kelas.

       "Spulang sekolah, jangan lupa ke kantor Ibu ya. Ada yang Ibu mau bicarakan." Setelah aku mengangguk sekilas, Bu Lani pergi meninggalkan kelas.

       Baru saja aku hendak berdiri, Nana mnyodorkan selembar kertas yang mengurungkan niatku. "Apa ini, Na? tanyaku seraya meraih kertas itu. Begitu mataku membaca judulnya, aku langsung mengerang pelan.

       "Angket penjurusan," jawab Nana seraya duduk di depanku. "Kita kan sudah kelas tiga, tidak ada salahnya menentukan jurusan dari sekarang."

       "Tapi ini baru awal semester!" protesku kesal. "Benar-benar masalah."

       Nana tertawa kecil. "Kau tinggal tunjuk saja jurusan apa yang kau mau. Nilaimu bagus, tidak seeperti nilaiku yang selalu pas-pasan. Soal dana, pasti tidak jadi masalah untuk orang tuamu. Benar kan? Lalu dimana masalahnya, Li?"

       Di mana masalahnya? Di orang tuaku! Jeritku frustasi dalam hati.

***

       Benar saja, apa yang kutakutkan teerjadi. Begitu melihat angket penjurusan untuk perguruan tinggi, orang tuaku langsung menentukan jurusan apa yang harus kuambil tanpa bertanya sepatah katapun padaku.

       "Boleh memilih jurusan desain, tapi itu jadi pilihan kedua. Pertama tetap kedokteran!" tegas Papa.

       Lama-lama aku kesal juga menjadi 'boneka' orang tuaku. Aku sudah tujuh belas tahun, berhak menentukan hidupku!

       Aku mengikuti Papa yang berjalan mnuju carport, tempat papa dan supir sudah bersiap. Langkahku terhenti di teras rumah, di samping carport. "Kalau begitu aku tidak akan lulus seleksi fakultas kedokteran.

       Sesaat kukira 'senjata'-ku itu ampuh, karena Papa yang hendak naik ke mobilnya menuju tempat praktek langsung terdiam dan berbalik menghadapku. Tapi ternyata aku salah. Papa punya 'senjata' yang paling mutakhir.

       "Tidak ada fakultas kedokteran, tidak ada uang saku!"

       Glek!

***

       Seperti yang kuduga sebelumnya juga, orang tuanya memberikan dia memilih jurusan sesuai minatnya. Sampai-sampai dia bingung menentukan jurusannya. Diam-diam aku mmperhatikannya sampai diliputi rasa iri. Dia benar-benar memiliki hidup yang sesungguhnya yang tidak dapat dibeli oleh uang.

       Tidak sepertiku yang bagaikan boneka di atas panggung sandiwara bernama kehidupan. Semua yang kulakukan diatur kedua orang tuaku yang semakin lama semakin menikmati peran mereka sebagai dalang. Aku juga sudah muak dengan segala les yang kuikuti. Semuanya adalah keinginan orang tuaku. Aku ingin melakukan apa yang aku suka, yang benar-benar kulakukan tanpa ada paksaan.

       "Lia saja!"

       Pekikan nyaring Rossa membuatku kembali terhempas kea lam nyata. Aku mengerjapkan mataku. Oh iya, kami masih di rumah Rossa membicarakan mengenai drama kelompok kami untuk pelajaran teater.

       "Bagaimana? Dia kan hebat dalam berakting, andalan klub terang Rossa berpaling ke arahku. "Kau mau kan, Li? Jadi peran utamanya, Cinderella."

       Euh...Aku paling tidak suka dengan keadaan seperti ini. Teman-temanku selalu saja 'bersekongkol' mendaulatku untuk melakukan yang mereka inginkan. Sama seperti orang tuaku. Masalahnya, aku tidak sampai hati menolak mereka.

       "Baiklah! Kalau bgitu sudah diputuskan bahwa Lia yang menjadi Cinderella!" putus Rossa akhirnya karena aku masih terdiam saja.

       "Ekh?" Mataku teerbelalak tidak percaya. "Tu-tunggu dulu, Ro-" ucapanku disela oleh teman-tman kelompokku yang lain, mendukung ide Rossa.

       Kecuali dia. Kulirik ke arahnya yang masih diam memandang lurus ke depan. Aku merasa bersalah, terlebih setelah hampir setahun aku duduk di seblahnya dan dia baik sekali padaku. Peranku ini peran yang sangat diinginkannya, aku masih ingat sekali saat dia mengungkapkannya padaku.

***

       Aku sama sekali tidak mnyangka kalau usahaku untuk menjauhi Eric. Cowok yang ia taksir, malah berujung pada pertengkaran hebatku dengannya. Jawaban atas segala kebingunganku melihat tingkahnya yang menjauhiku.

       Eric memang sudah lama menyukaiku. Aku menolaknya tentu saja, mengingat aku tidak mau mngkhianati dia yang sudah kuanggap sahabatku. Tapi Eric bukanlah tipe cowok yang langsung menyerah. Akhirnya aku membuat kesepakatan; aku bersedia menjadi pacarnya selama sebulan tapi setelah itu Eric harus menjauhiku.

       Pacaran, menurut definisi Eric, juga termasuk nge-date di mal setiap ada waktu luang. Entah kapan, dia memergokiku sedang jalan bersama Eric. Sudah aku bosan setengah mati mendegar celotehan cowok sombong itu, aku harus juga bertengkar hebat dengannya, sahabatku! Benar-benar buah simalakama.

       "Apa sih yang kau inginkan dariku?"

       Pertanyaan yang tadi ia lontarkan dengan air mata menggenang di pelupuk matanya, masih terngiang jelas di telingaku. Aku duduk sambil mnghela napas panjang di salah satu bangku taman belakang skolah setelah pertengkaran yang menyakitkan dan melelahkan itu.

       Andai saja aku berani menjawab saat itu.

       Aku ingin memiliki hidup sepertimu, bertukar hidup denganmu...

***

 

       Jumat (20/10) - Dunia renang Indonesia tampaknya telah terbangun dari tidur panjangnya. Hal ini dibuktikan dengan pencapaian salah seorang Srikandi Indonesia yang berhasil menyumbang medali emas di nomor 100m gaya bebas, Niken Sarasyla.

       Dalam usianya yang masih tergolong belia, 22 tahun, gadis ini mampu mencetak banyak prestasi termasuk mengharumkan nama Indonesia di mata Internasional.

       Nampaknya kesuksesan Niken tidak terlepas dari dukungan kedua orang tuanya. Terlebih sang ibunda, Ny. Delianasya Putri, yang selalu setia menemani dan memberikan semangat pada putrinya setiap kali perlombaan.

       "Bagi saya, Mama adalah sosok yang paling berperan sehingga saya dapat menjadi seperti ini. Beliau membebaskan saya menentukan arah hidup saya," ujar Niken semangat.

       Setali tiga uang dengan Niken. Kekasihnya, Ares Galang, yang juga merupakan salah satu atlet renang yang memang andalan Indonesia ini, juga turut menyumbangkan medali emas bagi Indonesia di nomor 400 m gaya bebas. Beberapa saat setelah medali emas pertama diraih oleh Niken.

       Jadi, rasanya layak apabila pasangan ini disebut sebagai Dynamic Duo Sea Games karna prestasi mereka. Kita doakan saja agar cita-cita mereka untuk menaklukkan dunia di ajang Olimpiade dapat tercapai.

***