Rahasia Ayah

By Astri Soeparyono, Rabu, 21 September 2011 | 16:00 WIB
Rahasia Ayah (Astri Soeparyono)

         Sudah-sudah. Jangan mendebat Ibu..."

         "Dan Ibu juga cukup dengan pekerjaan ini. Ibu harus istirahat. Mulai detik ini Laras yang akan menggantikan pekrjaan Ibu," sahutku dengan napas berat.

         "Tapi ... "

         "Atau Laras enggak akan pernah lagi memanggil dia ayah... "

         Pelan-pelan aku mulai menikmati profesi baruku sebagai buruh pengrajin kerudung. Walaupun begitu, hasil pkerjaan ini tetap belum dapat mencukupi biaya ujian. Obsesiku sekarang hanya dua, duit dan lulus, lain tidak. Mungkin aku harus mendatangi rumah Imam, ups, ayah. Tentu saja tanpa sepengetahuan Ibu. Bisa mati dimutilasi bila niatku ini diketahuinya. Yeah, someday, I'll do it, meminta hakku sebagai anak.

         "Laras, kabar buruk! Mbakyu Ratih meninggal," Ibu tampak tergopoh dan pucat waktu memberitahuku tentang berita duka itu. Siapa itu Mbakyu Ratih? Rasanya Ibu tak punya saudara bernama Ratih.

         "Mbakyu Ratih, istrinya ayahmu. Dia meninggal tadi malam. Ibu baru saja menelpon hendak meminta kekurangan uang ujianmu. Kasihan mbakyu Ratih, padahal sebentar lagi Maya di wisuda. Maya pasti sangat sedih," cerita Ibu dengan mata menerawang. Air matanya menetes pelan. Aku tak tahu apakah harus berduka atau girang tertawa. Setidaknya setelah istri pertamanya meninggal, aku dan Ibu akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Mungkin ayah akan memboyong kami dari rumah kontrakan berdinding papan ini.

         Seolah dapat membaca pikiranku, Ibu langsung mengingatkanku untuk tidak berandai-andai bilakah kami diboyong ke rumah ayah. Kata Ibu lagi, kami juga harus siap menghadapi sikap permusuhan dari anak-anak istri pertama ayah. Bagaimana pun enggak ada anak di dunia ini yang rela posisi Ibunya digantikan oleh orang lain, apalagi oleh istri muda yang selalu dicap  sebagai 'perusak rumah tangga". Oleh karena itu pula Ibu menuruti titah ayah untuk tidak melayat ke sana . ayah takut anak-anaknya bukan merasa terhibur tetapi malah membenci kedatangan Ibu.

         Aku limbung, dilema setelah mendengar semua penjelasan Ibu. Apakah aku juga ikut jadi aib dalam kisah ini?

         "Laras"

         "Ya bu," jawabku sambil berhenti dari kegiatan meronce manik-manik kerudung.

         "Nanti tolong bantu Ibu mengantar makanan ini untuk tetangga, ya".