"Dalam rangka apa nih, bu? Kok banyak banget masakannya. Biar Laras lulus dengan nilai bagus ya?" tebakku GR.
"Nduk, sebenarnya hari ini tepat seratus hari Mbakyu Ratih meninggal. Jadi semua ini untuk kebaikan almarhumah. Nanti kalo sudah mendekati hari ujian, Ibu janji akan mengadakan selametan seperti ini untukmu. Laras mau bantu Ibu, kan" terang Ibu tetap dengan senyuman khas Jawa-nya.
Bahkan untuk hal-hal remeh seperti ini Ibu sangat peduli. Bukan kali pertama Ibu mengadakan ritual selamatan seperti ini. Tiga hari, tujuh hari, dan empat puluh hari meninggalnya istri tua ayah, Ibu sangat ditail memperhatikan. Pertanyaannya , apa yang ia dapat dari ritual konyol itu jika sampai sekarang suami yang dianggap layaknya malaikat itu tak kunjung datang untuk memperhatikan aku dan Ibu?
"Nduk, kamu enggak usah khawatir soal uang ujianmu. Nanti Ibu akan ambil garapan lebih banyak. Lagipula Ibu masih ada sedikit tabungan. Insya Allah cukup untuk menutupi sisanya. Kamu sabar dulu, ya?"
"sampai kapan Laras harus bersabar, bu? Kenapa sih, Ibu lebih mentingin selamatan enggak penting ini ketimbang kelulusan Laras. Apa yang Ibu dapat dari orang mati itu. APA? Atau selamatan ini sebagai rasa terima kasih Ibu karena sudah dapat merebut suaminya secara utuh, begitu?!"
PLAKK! Satu tamparan telak melandasi pipiku. Panas. Aku bergeming dengan air mata yang mulai mengembun. Ibu diam mematung menyadari yang mendarat di pipiku tadi adalah tangannya. Seperdetik kemudian aku berpaling dari Ibu, lalu berlari keluar rumah. Berlari... berlari hingga terlepas dari beban ini.
Gadis di hadapanku tampak begitu ringkik di kursi rodanya. Senyumnya pias namun cantik. Nina seumuran denganku. Ada sebagian wajahku di parasnya. Bedanya, dia lebih beruntung karena lahir dari rahim bu Ratih, istri pertama. Yah, setelah kejadian tamparan empat hari lalu aku memilih tidak pulang dan nekat bertandang ke rumah ayah. Setelah mengorek informasi dari sejumlah tetangga, akhirnya aku sampai di rumah ini.
Aku belum menjelaskan maksud ke datanganku ke rumahnya . aku hanya memperkenalkan diri sebagai Laras yang hendak menemui ayah . ketika akhirnya aku memperkenalkan diri sebagai anak ayah dari istri kedua, Nina tampak terkejut sebelum akhirnya mencoba tersenyum. Tak ada raut kebencian seperti yang Ibu utarakan padaku tempo lalu.
"Jadi kamu adikku?" sejenak dia menghela napas. "Hhh, ini memang berat. Sebagai anak dari ayah yang telah menceraikan Ibumu sejak kamu masih balita, kami mohon maaf ."
"Ce-cerai?" cecarku.
Nina mengangguk lalu melanjutkan, "Sebenarnya waktu itu kita sama-sama masih kecil, Ibu sudah meminta ayah untuk memilih, Ibuku atau Ibumu. Lambat laun Ibu melunak dan mengizinkan ayah untuk berpoligami. Di luar dugaan ayah dengan tegas memilih untuk menceraikan Ibumu meski tetap wajib menafkahimu." Luapan api mulai berkobar di dadaku.
"Laras, sebelum kamu datang, kami sudah berpikir hal ini akan terjadi. Kamu datang dan menuntut hak-hakmu sebagai anak. Dan itu adalah hal yang wajar. Aku juga akan melakukan hal yang sama jika berada diposisimu. Tapi percayalah, kami akan berusaha memenuhi kebutuhanmu sejak hari ini. Kami tahu sejak bercerai dari Ibumu, ayah jarang menafkahimu dan Ibumu."