Rahasia Ayah

By Astri Soeparyono, Rabu, 21 September 2011 | 16:00 WIB
Rahasia Ayah (Astri Soeparyono)

"Bu, mulai bulan ini Laras harus nyicil uang Ujian Nasional."

         "Ya, nanti Ibu akan telepon ayahmu. Semoga dia dapat membantu. Oh ya, nak, beras kita habis. Sepulang sekolah mampirlah ke warung mbak Beti."

         "Ngutang lagi?"

         Ibu hanya menghela napas.

         Aku berharap hidup tak selamanya begini. Bertahan di rumah papan kontrakan dengan pekerjaan Ibu sebagai buruh pengrajin manik-manik kerudung yang bergaji tak seberapa.

         Apa boleh buat, aku harus mendapatkan hak asasiku sebagai anak sepenuhnya. Aku enggak tahan selama 15 tahun selalu hidup dalam kekurangan dan buaian kasih sayang seorang ayah fiktif. Konon, aku bukanlah anak yang diinginkan. Aku adalah 'kecelakaan kecil'. Meski begitu, aku bukanlah anak haram. Aku lahir dalam ikatan pernikahan kedua.

         Yeah, Ibuku adalah istri muda dari lelaki tak brtanggung jawab karena harus tetap mendapingi istrinya yang sakit-sakitan. Aku dan Ibu harus bersabar menunggu giliran untuk mendapatkan kasih sayangnya. Anaknya dari pernikahan pertama ada dua. Cewek semua. Berprestasi.

         Aku pernah bertanya pada Ibu, apakah suami yang menelantarkan anak-istri karena alasan istri tuanya sakit-sakitan akan mendapatkan surga, tapi Ibu malah membentakku. Katanya itu bukan urusan kita. Yang penting, laki-laki itu masih membiayai kehidupan kami dan biaya pendidikanku, meski tak pantas disebut layak. Akibatnya, Ibu harus mencari biaya tambahan untuk menghidupi kami. Ah, andai Ibu mau menuntut haknya lebih dari ini...

         "Ibu sebaiknya istirahat. Enggak baik memaksakan diri kayak gitu. Nati Ibu sakit, lho. " Kutepuk punggung Ibu halus. Sudah dua minggu ini asmanya kambuh. Tapi Ibu tetap saja nekat merangkai manik dan mote-mote itu. Pekerjaan yang sejak awal tak pernah menarik buatku.

         'Ibu enggak apa-apa. Bentar lagi juga klar. Ibu sengaja ambil banyak order supaya biaya Ujian Akhirmu segera terlunasi".

         "Lho, Ibu bilang akan menelepon Imam untuk membayar uang..."

         "Laras, panggil dia ayah. Enggak sopan kamu." Spontan ibu marah karena aku memanggil nama lelaki itu, Imam, toh, kenyataan dia enggak dia enggak becus menjadi Imam untuk Ibu dan Laras, kan?"kataku ketus.

         Sudah-sudah. Jangan mendebat Ibu..."

         "Dan Ibu juga cukup dengan pekerjaan ini. Ibu harus istirahat. Mulai detik ini Laras yang akan menggantikan pekrjaan Ibu," sahutku dengan napas berat.

         "Tapi ... "

         "Atau Laras enggak akan pernah lagi memanggil dia ayah... "

         Pelan-pelan aku mulai menikmati profesi baruku sebagai buruh pengrajin kerudung. Walaupun begitu, hasil pkerjaan ini tetap belum dapat mencukupi biaya ujian. Obsesiku sekarang hanya dua, duit dan lulus, lain tidak. Mungkin aku harus mendatangi rumah Imam, ups, ayah. Tentu saja tanpa sepengetahuan Ibu. Bisa mati dimutilasi bila niatku ini diketahuinya. Yeah, someday, I'll do it, meminta hakku sebagai anak.

         "Laras, kabar buruk! Mbakyu Ratih meninggal," Ibu tampak tergopoh dan pucat waktu memberitahuku tentang berita duka itu. Siapa itu Mbakyu Ratih? Rasanya Ibu tak punya saudara bernama Ratih.

         "Mbakyu Ratih, istrinya ayahmu. Dia meninggal tadi malam. Ibu baru saja menelpon hendak meminta kekurangan uang ujianmu. Kasihan mbakyu Ratih, padahal sebentar lagi Maya di wisuda. Maya pasti sangat sedih," cerita Ibu dengan mata menerawang. Air matanya menetes pelan. Aku tak tahu apakah harus berduka atau girang tertawa. Setidaknya setelah istri pertamanya meninggal, aku dan Ibu akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Mungkin ayah akan memboyong kami dari rumah kontrakan berdinding papan ini.

         Seolah dapat membaca pikiranku, Ibu langsung mengingatkanku untuk tidak berandai-andai bilakah kami diboyong ke rumah ayah. Kata Ibu lagi, kami juga harus siap menghadapi sikap permusuhan dari anak-anak istri pertama ayah. Bagaimana pun enggak ada anak di dunia ini yang rela posisi Ibunya digantikan oleh orang lain, apalagi oleh istri muda yang selalu dicap  sebagai 'perusak rumah tangga". Oleh karena itu pula Ibu menuruti titah ayah untuk tidak melayat ke sana . ayah takut anak-anaknya bukan merasa terhibur tetapi malah membenci kedatangan Ibu.

         Aku limbung, dilema setelah mendengar semua penjelasan Ibu. Apakah aku juga ikut jadi aib dalam kisah ini?

         "Laras"

         "Ya bu," jawabku sambil berhenti dari kegiatan meronce manik-manik kerudung.

         "Nanti tolong bantu Ibu mengantar makanan ini untuk tetangga, ya".

         "Dalam rangka apa nih, bu? Kok banyak banget masakannya. Biar Laras lulus dengan nilai bagus ya?" tebakku GR.

         "Nduk, sebenarnya hari ini tepat seratus hari Mbakyu Ratih meninggal. Jadi semua ini untuk kebaikan almarhumah. Nanti kalo sudah mendekati hari ujian, Ibu janji akan mengadakan selametan seperti ini untukmu. Laras mau bantu Ibu, kan" terang Ibu tetap dengan senyuman khas Jawa-nya.

         Bahkan untuk hal-hal remeh seperti ini Ibu sangat peduli. Bukan kali pertama Ibu mengadakan ritual selamatan seperti ini. Tiga hari, tujuh hari, dan empat puluh hari meninggalnya istri tua ayah, Ibu sangat ditail memperhatikan. Pertanyaannya , apa yang ia dapat dari ritual konyol itu jika sampai sekarang suami yang dianggap layaknya malaikat itu tak kunjung datang untuk memperhatikan aku  dan Ibu?

         "Nduk, kamu enggak usah khawatir soal uang ujianmu. Nanti Ibu akan ambil garapan lebih banyak. Lagipula Ibu masih ada sedikit tabungan. Insya Allah cukup untuk menutupi sisanya. Kamu sabar dulu, ya?"

         "sampai kapan Laras harus bersabar, bu? Kenapa sih, Ibu lebih mentingin selamatan enggak penting ini ketimbang kelulusan Laras. Apa yang Ibu dapat dari orang mati itu. APA? Atau selamatan ini sebagai rasa terima kasih Ibu karena sudah dapat merebut suaminya secara utuh, begitu?!"

         PLAKK! Satu tamparan telak melandasi pipiku. Panas. Aku bergeming dengan air mata yang mulai mengembun. Ibu diam mematung menyadari yang mendarat di pipiku tadi adalah tangannya. Seperdetik kemudian aku berpaling dari Ibu, lalu berlari keluar rumah. Berlari... berlari hingga terlepas dari beban ini.

         Gadis di hadapanku tampak begitu ringkik di kursi rodanya. Senyumnya pias namun cantik. Nina seumuran denganku. Ada sebagian wajahku  di parasnya. Bedanya, dia lebih beruntung karena lahir dari rahim bu Ratih, istri pertama. Yah, setelah kejadian tamparan empat hari lalu aku memilih tidak pulang dan nekat bertandang ke rumah ayah. Setelah mengorek informasi dari sejumlah tetangga, akhirnya aku sampai di rumah ini.

         Aku belum menjelaskan maksud ke datanganku ke rumahnya . aku hanya memperkenalkan diri sebagai Laras yang hendak menemui ayah . ketika akhirnya aku memperkenalkan diri sebagai anak ayah dari istri kedua, Nina tampak terkejut sebelum akhirnya mencoba tersenyum. Tak ada raut kebencian seperti yang Ibu utarakan padaku tempo lalu.

         "Jadi kamu adikku?" sejenak dia menghela napas. "Hhh, ini memang berat. Sebagai anak dari ayah yang telah menceraikan Ibumu sejak kamu masih balita, kami mohon maaf ."

         "Ce-cerai?" cecarku.

         Nina mengangguk lalu melanjutkan, "Sebenarnya waktu itu kita sama-sama masih kecil, Ibu sudah meminta ayah untuk memilih, Ibuku atau Ibumu. Lambat laun Ibu melunak dan mengizinkan ayah untuk berpoligami. Di luar dugaan ayah dengan tegas memilih untuk menceraikan Ibumu meski tetap wajib menafkahimu." Luapan api mulai berkobar di dadaku.

         "Laras, sebelum kamu datang, kami sudah berpikir hal ini akan terjadi. Kamu datang dan menuntut hak-hakmu sebagai anak. Dan itu adalah hal yang wajar. Aku juga akan melakukan hal yang sama jika berada diposisimu. Tapi percayalah, kami akan berusaha memenuhi kebutuhanmu sejak hari ini. Kami tahu sejak bercerai dari Ibumu, ayah jarang menafkahimu dan Ibumu."

         "Nina, STOP! Aku enggak ngerti dengan kata cerai yang kamu maksud. Ayahmu kerap datang ke rumahku dan Ibuku tetap melayaninya sebagai suami berhati malaikat. Meraka tak pernah bercerai..."

         "Tapi..."

         "Aku pun datang ke sini bukan hendak menuntut banyak. Tapi sejak Ibumu meninggal, ayahmu tak pernah lagi member nafkah Ibuku. Setiap hari kami makan dari hasil Ibu mengrajin kerudung. Aku ke sini hanya ingin ayahmu bertanggung jawab membayarkan uang  Ujian Akhirku, itu saja. Aku iri ketika tahu Mbak Maya akan diwisuda, atau ketika Ibu bercerita kalau kamu selalu meraih peringkat pertama," eranku menumpahkan kekesalan dan kekecewaanku.

         Wajah Nina semakin pucat. Antara kaget, shock, dan juga marah. Air matanya mulai jatuh dalam diam. Aku tak tahu apa yang berkecamuk di otaknya. Saat ini yang ingin kudapatkan hanyalah tanggung jawab ayah kemudian secepatnya lari dari rumah ini. Dalam hati aku berjanji tak akan pernah mengusik ketenangan keluarga meraka lagi karena jelas sudah, ayah telah berbohong pada seluruh keluarga besarnya.

         Sejurus kemudian Nina masuk ke dalam rumah. Mendorong paksa roda kursi dengan tangan kurusnya. Beberapa menit kemudian dia muncul kembali. Matanya masih sembab.

         "Laras, gunakan uang dalam tabungan ini. Lunasi semua biaya ujian dan biaya-biaya sekolah yang belum terlunasi."

         "Tapi yang kuinginkan uang ayahmu Nin.Bukan uangmu,"biskiku dalam hati .

         Ambilah, kamu enggak perlu minta  pada ayah. Aku sudah gak peduli  cerita versi mana yang benar. Sebelum ibu meninggal, beliau hanya bercerita  kalau ayah punya seorang anak  yang lahir pada hari yang sama ketika aku dilahirkn, dan hari itu ayah menunggui detik kelahiranmu, bukan kelahiranku.Ibu berpesan padaku  dan Mbak Maya agar tidak membenci ayah dan harus berusaha menerima jika sewaktu-waktu kamu datang bersama ibumu untuk menuntut hak. Ibu enggak pernah membahas kalau ayah belum berscerai karena sepengetahuan Ibu, ayah telah memilih beliau seebagai satu-satunya istri. Kurasa uang dalam tabungan ini cukup."

         Kulirik nominal saldo dalam tabungan itu. Deretan enam angka nol dan dua digit angka sebelumnya membuatku terbelalak menyadari betapa banyak uang yang disiapkan ayah untuk Nina dan Mbak Maya.

         "Ayah menjatah uang kalian sebanyak ini?" Tanyaku sinis. Nina tersenyum tak kalah sinis.

         "Ini tabunganku dan Mbak Maya. Kami menabung sejak ayah mulai uring-uringan karena tak sanggup membiayai sekolahku, kuliah Mbak Maya dan pengobatan Ibu. Sejak itu Mbak maya mulai bekerja sampingan, mulai dari loper Koran, agen majalah sampai kerja paruh waktu di sebuah mini market. Aku hanya dapat menjalankan bisnis prakarya yang kujual di antara teman sekolah. Alhamdulilah, baru-baru ini ada seorang manager toko aksesoris yang berniat memborong hasil karyaku. Aku juga menulis cerpen di majalah atau tabloid remaja. Sisanya uang saku dari ayah dan Ibu semasa hidup. Oleh karena itu  aku sangat mengerti kondisimu karena sebenarnya kita sama-sama mengalami kesulitan ekonomi."

         "Ambil lah. Bagaimana pun kamu adalah saudaraku. Mbak Maya enggak akan  keberatan, kok." Gadis itu menangkupkan kedua tangannya di antara tanganku dan tabungan hasil jerih payahnya. Perasaanku tak karuan. Hari ini aku melihat ketulusan sosok Nina yang awalnya sudah berniat untuk kubenci. Ibu, Nina, Bu Ratih dan Mbak Maya adalah orang-orang yang rela berkorban untuk kepentingnku. Mereka bahkan telah jauh-jauh hari menyiapkan mental untuk menerima kedatanganku, anak dari istri kedua ayahnya. Mengapa aku tak dapat melakukan tindakan mulia seperti Nina dan Mbak Maya? Mungkin ini yang membuat Ibu sangat menghormati Bu Ratih. Beliau membesarkan anak-anak hebat yang patut dibanggakan.

         "Laras," bisiknya lirih.

         "Eh, iya..." gagapku.

         "Apa yang kamu pikirkan?"

         "Ti-tidak, aku enggak bisa terima ini."

         "Kamu harus menerimanya. Kalau tidak, itu berarti kamu hendak memutuskan hubungan darah kita."

         "Ta...piii... aku adalah anak tiri dari istri kedua yang bisa saja menjadi penyebab sakitnya Ibumu."

         "Cukup! Ibuku meninggal karena memang telah ditakdirkan Tuhan." Nina membentakku. Kali ini suaranya  mirip lengkingan.

         "Tapi ini jerih payahnu dan kakakmu, Nin."

         "LARAS! Jangan sampai aku membencimu!"

         "Aku ke sini bukan minta uangmu. Aku meminta pertanggung jawaban ayahmu, Nina!" Aku tak kuat lagi. Terlalu banyak kejutan yang kuterima. Aku benci karena telah menuduh Ibu lalu pergi meninggalkannya sendiri. Aku benci Nina yang gigih mempertahankan haknya dengan mencari uang sendiri. Aku benci kekeras-kepalaannya karena memaksaku menerima tabungannya.

         "Jadi, kamu benar-benar ingin tahu mengapa sedari tadi kamu tak menemukan ayah? Ini! Ayah mengirim SMS ini tepat empat puluh hari setelah  kematian Ibu," Nina menunjukkan  sebuah SMS dari HP-nya.

         "Nak, maaf jika ayah harus mengatakan  ini. Maaf jika untuk beberapa bulan ke depan  ayah tak dapat menjenguk kalian. Kebutuhan hidup kalian  bisa kalian penuhi sendiri bukan? Jangan cari ayah karena saat ini ayah tengah menunggu kelahiran anak lelaki ayah, jagoan ayah dari rahim Azizah, istri ayah."

         Sender: Ayah

         0857 09888xx

         Sebuah tangan hitam besar seolah meremas jantungku. Lututku bergetar. Aku tahu sesaat setelah membacanya, Nina menggenggam tanganku kemudian merengkuhku di dadanya. Lalu aku mendengar jeritan  nyalang yang terdengar seperti suaraku. Tapi nyatanya mulutku tertutup diam dan penglihatanku gelap.